KATADATA - Setelah sempat terpuruk dalam pada medio Februari lalu, harga minyak dunia terus merangkak naik pada awal bulan ini hingga mendekati level US$ 40 per barel. Menggeliatnya harga minyak tersebut didukung oleh dua faktor.

Pada Senin ini (7/3), harga kontrak berjangka minyak mentah Brent mencapai US$ 39,2 per barel atau naik hampir satu persen dari akhir pekan lalu. Harga ini lebih tinggi sekitar 33 persen dibandingkan pertengahan Februari lalu, ketika harga minyak berada di posisi terendah sejak 2003 silam. Sementara  itu, harga minyak jenis West Texas Intermediate (WTI) sebesar US$ 36,4 per barel, atau naik 44 sen dolar Amerika Serikat (AS) dari Jumat pekan lalu.

Kenaikan harga minyak belakangan ini terkait dengan berkurangnya pasokan minyak di pasar. Analis ANZ Bank melihat para produsen minyak serpih di AS menghentikan produksi untuk mengamankan investasinya. Selama 11 pekan berturut-turut, mereka telah mamangkas jumlah kilang minyak yang dioperasikan lantaran anjloknya harga minyak. 

Contohnya, perusahaan jasa pengeboran minyak, Baker Hughes, menarik delapan rig minyak pada 4 Maret lalu. Jadi, jumlah rig yang tersisa sebanyak 392 unit. “Para produsen memilih fokus pada sumur yang belum selesai digarap, di tengah melemahnya harga minyak," kata ANZ Bank, seperti dikutip dari Reuters.

(Baca: Februari, Harga Minyak Indonesia Mulai Merangkak Naik)

Kondisi seretnya pasokan minyak tersebut turut mempengaruhi sentimen para investor kontrak berjangka terhadap harga minyak di masa depan. Para pedagang minyak juga berhenti bertaruh bahwa harga minyak akan terus melorot. Alhasil, harga minyak perlahan-lahan mampu merangkak naik. “Pasar kredit yang ketat akan mempersulit produsen gas shale di Amerika Serikat untuk membiayai kembali utang di masa depan. Kita juga akan melihat penurunan secara bertahap untuk produksi minyak Amerika Serikat pada 2016-2017,” kata ANZ.

Faktor lain pendukung kenaikan harga minyak adalah mulai tumbuhnya optimisme terhadap perbaikan ekonomi dunia. Para pelaku pasar pun menjadi lebih percaya diri menghadapi pasokan yang berkurang sementara permintaan minyak mulai meningkat. Setidaknya ada empat negara, termasuk Rusia, Arab Saudi dan Iran, yang berkomitmen tidak akan mendongkrak produksinya agar tetap stagnan seperti periode Januari lalu. Menteri perminyakan Nigeria menyebut, para pejabat dari negara-negara produsen utama minyak dunia akan mengadakan pertemuan di Moskow, Rusia, pada 20 Maret nanti, untuk membahas kesepakatan tersebut.

(Baca: Harga Minyak Anjlok, Industri Penunjang Migas Beralih ke Nonmigas)

Di sisi lain, prospek permintaan minyak dunia menemui titik cerah. Februari lalu, jumlah pekerja AS di sektor nonpertanian meningkat sebesar 242 ribu orang. Dua bulan sebelumnya, jumlah tersebut meningkat 300 ribu orang. Kenaikan angka pekerja ini bisa menambah permintaan terhadap minyak karena peningkatan pengguna kendaraan yang bepergian ke tempat kerja.

Sementara itu, Perdana Menteri Cina Li Keqiang menetapkan target pertumbuhan Cina minimal 6,5 persen dalam lima tahun mendatang. Target tersebut menumbuhkan optimisme bahwa tren perlambatan ekonomi Cina bakal terhenti sehingga tidak mengganggu perekonomian global. “Impor minyak Cina akan tetap kuat, karena produksi minyak mentah domestik turun dan permintaan minyak luar negeri dari kilang independen meningkat,” kata Gao Jian, analis energi dari SCI International di Shandong, Cina, seperti dikutip Wall Street Journal.

Namun, kenaikan harga minyak lebih lanjut masih menjadi tanda tanya. Pelaku pasar sedang menunggu data perdagangan Cina periode Februari 2016, yang akan dirilis Selasa besok (8/3). Sedangkan aporan mingguan persediaan dan produksi minyak mentah Amerika Serikat akan dikeluarkan Rabu nanti (9/3). “Data ekonomi yang dirilis di Cina pada pekan ini, akan menentukan keberlanjutan pulihnya harga minyak,” kata analis ANZ.

(Baca: Ketahanan Energi Terancam Akibat Rendahnya Harga Minyak)

BMI Research, anak lembaga pemeringkat Fitch Group, memprediksi empat hingga enam pekan mendatang akan menentukan nasib harga minyak. Membengkaknya persediaan minyak mentah dan melemahnya permintaan musiman masih berpotensi menggerus harga minyak dunia.

Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro melihat, kenaikan harga minyak yang terjadi saat ini bersifat sementara. "Penguatan itu hanya harian, jangka pendek," ujarnya kepada Katadata, Senin (7/3). Ia memprediksi harga minyak bisa kembali di bawah US$ 40 per barel dalam beberapa hari ke depan. Pasalnya, para pelaku pasar memang menginginkan kenaikan harga. "Kenaikan harga yang bersifat sementara ini biasanya diciptakan para pelaku pasar atau spekulan. Biasa, seperti di pasar saham." 

Padahal, secara fundamental, tidak ada alasan yang cukup kuat untuk kenaikan harga karena pasokan minyak masih berlebih. Ia menuturkan, jika ada keinginan memperkuat dan mempertahankan harga minyak, maka produksi harus dijaga. Namun, tentu saja negara-negara penghasil minyak seperti Arab, Iran, Amerika Serikat dan Brazil tidak mau menahan produksi. Apabila negara-negara tersebut menahan produksi, penerimaan negaranya akan berkurang. Selama langkah tersebut tidak dilakukan, harga minyak akan terus rendah sepanjang tahun ini.

Menurut Komaidi, ini saat yang tepat bagi pemerintah mengimpor minyak. Apalagi, Presiden Joko Widodo sudah menginstruksikan pemanfaatan momentum rendahnya harga minyak untuk membentuk cadangan minyak nasional. Yang menjadi masalah, Indonesia tidak memiliki tempat penyimpanan yang memadai. Pembelian bisa dilakukan jika Indonesia memiliki storage di luar negeri.

Reporter: Maria Yuniar Ardhiati, Miftah Ardhian