KATADATA - Musim gugur karyawan minyak dan gas bumi (migas) di seluruh dunia terus berlanjut. Royal Dutch Shell Plc. menyusul langkah Seven Sisters alias raksasa minyak dunia, melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) ribuan karyawannya di tengah terus melorotnya harga minyak.
Chief Executive Officer Royal Dutch Shell Plc. Ben Van Beurden menyatakan, perusahaan telah melakukan sejumlah perubahan penting dalam roda bisnisnya. Perubahan itu antara lain berupa reorganisasi kegiatan hulu migas, pemangkasan biaya serta belanja modal. Kebijakan ini ditempuh karena harga minyak merosot. Sejak tahun lalu, perusahaan asal Belanda ini menekan investasi dan merancang solusi pengembangan berbiaya rendah.
Shell memutuskan keluar dari proyek gas asam di Abu Dhabi serta menunda keputusan investasi akhir untuk LNG Canada dan Bonga South West di sumur lepas pantai Nigeria. Perusahaan pun memotong biaya operasi dan investasi modal sebesar US$12,5 miliar.
(Baca: Banyak Perusahaan Tutup Jika Harga Minyak di Bawah US$ 30)
Kebijakan tersebut berdampak terhadap nasib ribuan karyawannya di seluruh dunia. “Seperti yang sudah kami sampaikan, hal ini termasuk pengurangan 10 ribu karyawan dan pekerja kontrak langsung sepanjang 2015-2016,” kata Van Beurden dalam siaran persnya yang dipublikasikan di situs resmi Shell, Kamis (4/2). Pemangkasan serupa masih akan berlanjut selama tahun ini.
Sebelumnya, Shell mengumumkan laba bersih perusahaan pada kuartal IV 2015 mencapai US$ 1,8 miliar. Angka ini merosot 44 persen dari periode sama tahun 2014. Adapun arus kas dari kegiatan operasional pada kuartal terakhir tahun lalu sekitar US$ 5 miliar. Sedangkan sepanjang 2015, laba bersih Shell mencapai US$ 3,84 miliar. Jumlah ini turun 80 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Meski begitu, Shell yakin pemasukan dari sektor hilir mampu mendongkrak kinerja keuangannya. Sementara itu, pamasukan di sektor hulu terpukul oleh anjloknya harga minyak dan gas bumi. Pemasukan dari lapangan gas terpadu yang paling tergerus. “Ini masa sulit bagi industri, dan kami sudah mengambil langkah cepat dan pasti,” ujar Van Beurden.
(Ekonografik: Musim PHK Pekerja Migas)
Bulan lalu, BP juga mengumumkan rencana pemangkasan jumlah karyawannya. Perusahaan asal Inggris ini berencana memangkas sekitar 4 ribu karyawan dan pekerja kontraknya di sektor hulu tahun ini. Di level hilir, pemangkasan karyawannya mencapai 3 ribu orang hingga akhir 2017.
Kebijakan tersebut tak bisa dilepaskan dari memburuknya kinerja keuangan BP. Laba bersih perusahaan ini pada tahun lalu mencapai US$ 5,9 miliar atau anjlok 51 persen dari tahun sebelumnya.
Sementara itu, pada Oktober tahun lalu, manajemen Chevron Corporation juga melansir kabar rencana PHK sekitar 6 ribu hingga 7 ribu karyawannya terkait melempemnya kinerja perusahaan di tengah anjloknya harga minyak. Pada rilis yang diterbitkan Jumat lalu (29/1), Chevron mengumumkan laba tahun 2015 sebesar US$ 4,6 miliar atau anjlok hampir lima kali lipat dari tahun 2014.
“Pemasukan kami sepanjang 2015 anjlok tajam karena penurunan harga minyak mentah year-on-year,” ujar Chairman dan Chief Executive Officer Chevron John Watson. Demi mendongkrak pendapatan dan arus kas di tengah melemahnya harga minyak, Chevron memotong pengeluaran operasional dan modal hingga US$ 9 miliar. Kebijakan ini masih akan terus berlangsung tahun ini.
(Baca: Chevron PHK Ribuan Karyawan di Indonesia)
Kebijakan global perusahaan migas asal Amerika Serikat tersebut juga sudah menjalar ke Indonesia. Seperti diberitakan Katadata, PT Chevron Pacific Indonesia berencana melakukan PHK terhadap sekitar 1.500 karyawan atau 25 persen dari jumlah karyawan mulai Maret mendatang. Kebijakan ini ditempuh karena penggabungan operasional Chevron di Kalimantan dan Suamtera.
Sementara itu, nasib karyawan ExxonMobil masih lebih baik setidaknya sampai saat ini. Secara global perusahaan migas asal Amerika Serikat ini belum pernah melansir rencana PHK karyawannya. Meski begitu, seperti para sejawatnya, kinerja ExxonMobil dalam setahun terakhir juga melorot.
Chief Executive Officer ExxonMobil Rex W. Tillerson menyatakan kondisi keuangan perusahaan memang sedang diuji. “Meski kinerja keuangan perusahaan menunjukkan adanya situasi yang menantang, kami tetap fokus pada fundamental bisnis, termasuk mengeksekusi proyek dan manajemen biaya yang efektif,” ujarnya. Namun, dia optimistis arus kas yang ada saat ini mampu menunjang investasi ExxonMobil.
Sepanjang 2015, laba ExxonMobil terpuruk hingga 50 persen menjadi US$ 16,2 miliar. Pengeluaran perusahaan untuk eksplorasi dan belanja modal juga turun 19 persen menjadi US$ 31,1 miliar. Tahun ini, ExxonMobil juga memotong alokasi belanja modal dan eksplorasi 25 persen menjadi US$ 23,2 miliar.
Mengutip data S&P Capital IQ, beberapa perusahaan raksasa migas multinasional melakukan efisiensi sejak tahun lalu lantaran anjloknya harga minyak. Jika dibandingkan dengan ExxonMobil, BP dan Shell, Chevron tercatat paling getol melakukan efisiensi.
Indikatornya adalah, biaya operasional Chevron dibandingkan belanja modalnya hanya 67 persen. Berbeda dengan BP dan ExxonMobil yang persentase biaya operasionalnya masih besar, yaitu masing-masing 98 persen dan 127 persen. Bahkan, Shell memiliki persentase biaya operasional terhadap belanja modal sebesar 139 persen.