KATADATA ? Organisasi negara-negara pengekspor minyak (OPEC) memangkas proyeksi produksi minyak negara-negara non-OPEC tahun depan seiring dengan penurunan harga minyak dunia. Sebaliknya, OPEC akan memacu produksi untuk memenuhi tren permintaan minyak yang diperkirakan mulai naik pada akhir 2016. Ini menunjukkan ?perang? harga minyak telah memukul Amerika Serikat (AS), yang mengandalkan minyak serpih (shale oil), melawan OPEC yang dimotori Arab Saudi.

Dalam laporan pasar bulanan yang dipublikasikan Sekretariat OPEC di Wina, Austria, Senin (14/9), OPEC memangkas proyeksi produksi minyak non-OPEC tahun 2016 sebesar 110 ribu barel per hari (bph). Produksi minyak dari negara-negara non-OPEC, seperti AS, Kanada, Rusia dan Brasil, akan naik 160 ribu bph menjadi 57,6 juta bph pada 2016. Padahal, bulan lalu, OPEC memperkirakan produksi non-OPEC tahun depan meningkat 270 ribu bph.

Sementara itu, proyeksi produksi minyak AS tahun depan dipangkas 103 ribu bph menjadi 13,97 juta bph. ?Ada tanda-tanda AS mengurangi investasi dan aktivitas produksinya,? kata OPEC dalam laporannya seperti dikutip Bloomberg.

Ramalan lebih suram dibuat oleh International Energy Agency (IEA). Dalam laporan Oil Market Report edisi September 2015 yang dipublikasikan akhir pekan lalu, badan independen yang bermarkas di Paris, Perancis, ini memproyeksikan penurunan produksi minyak AS sebesar 400 ribu bph pada 2016. Ini merupakan penurunan produksi terbesar sejak tahun 1992.

Tanda-tanda penurunan produksi minyak AS sudah terlihat pada kuartal III tahun ini. IEA mencatat, produksi minyak AS pada Juli 2015 turun 90 ribu bph, bahkan pada Agustus lalu anjlok hampir 200 ribu bph. Penurunan produksi terjadi pada tujuh lapangan minyak serpih terbesar AS. Alhasil, proyeksi produksi minyak pada akhir tahun nanti di atas 13 juta bph bakal meleset menjadi sekitar 12,3 juta bph.

Pangkal soalnya adalah booming minyak serpih produksi AS dalam empat tahun terakhir yang memporakporandakan pasar dan harga minyak dunia. Dengan biaya produksi lebih rendah dari rata-rata biaya produksi minyak konvensional, AS memompa produksi minyak serpih hingga mendongkrak total produksi minyaknya ke level tertinggi dalam empat dekade terakhir. Tahun lalu, produksi minyak AS naik 2,1 juta bph dari tahun sebelumnya menjadi 12,9 juta bph.

Alih-alih mengurangi pasokannya untuk menahan penurunan harga minyak dunia, OPEC tetap mempertahankan produksi minyaknya. Bahkan, pada Agustus lalu, produksi OPEC mencapai 31,6 juta bph atau lebih tinggi dari target sebesar 30 juta bph. ?Perang? di antara para raksasa produsen minyak dunia ini menyebabkan harga minyak terjun ke level terendah di kisaran US$ 40 per barel. Senin (14/9), harga minyak jenis West Texas Intermediate (WTI) diperdagangkan sebesar US$ 45 per barel.

IEA menilai produksi minyak AS menanggung beban penurunan harga minyak. Margin keuntungan minyak serpih yang semakin mengecil pun memaksa AS menurunkan produksi minyak. "Untuk tumbuh atau bahkan mempertahankan tingkat produksi itu membutuhkan investasi yang berkelanjutan," kata IEA.

Sebaliknya, OPEC menaikkan proyeksi produksi minyak tahun depan sebesar 200 ribu bph jadi 30,3 juta bph. Dari jumlah tersebut, produksi minyak Arab Saudi mencapai sepertiganya atau sekitar 10,26 juta bph. Apa yang menyebabkan kontradiksi produksi minyak tersebut?

Morgan Stanley menghitung produksi minyak terendah berada di Timur Tengah. Biaya produksi minyak per barel sebesar US$ 27. Jadi, dengan mempertahankan produksinya, negara-negara di Timur Tengah yang merupakan anggota OPEC, masih meraup keuntungan meskipun menipis di saat rendahnya harga minyak. ?Jika cuma ada satu hal yang diketahui orang (Arab) Saudi, itu adalah minyak,? kata Leonid Bershidky, kolumnis BloombergView, Jumat lalu (11/9).

Kebijakan mempertahankan produksi minyak itu bukannya tanpa pengorbanan. Dalam setahun terakhir, cadangan devisa Arab Saudi berkurang hampir 11 persen menjadi US$ 669 miliar. Bershidky menyatakan, Arab Saudi dan negara-negara OPEC rela menderita penurunan cadangan devisa dan penerimaan negara demi memukul AS dalam persaingan menguasai pasar minyak dunia.

?Saudi telah mendikte pasar, mereka akan memasok minyak pada setiap tingkat harga. Mereka juga bisa merusak model ekonomi yang didasarkan keputusan investasi dengan mendorong harga lebih rendah,? katanya. Bershidky menambahkan, laporan terbaru IEA tersebut telah menunjukkan bahwa Arab Saudi memenangkan perang harga minyak melawan AS meskipun harus membayar ?ongkos? yang mahal.

Sedangkan OPEC melihat, perlambatan produksi minyak non-OPEC yang dikombinasikan dengan tanda-tanda penguatan permintaan minyak bakal bisa mengurangi ketidakseimbangan fundamental harga minyak di pasar. Apakah tercapainya kestabilan tersebut ditandai oleh kembali naiknya harga minyak?

Reporter: Manal Musytaqo, Yura Syahrul