KATADATA ? Para pengusaha di bidang pertambangan menolak tarif bea keluar untuk ekspor mineral yang ditetapkan Kementerian Keuangan. Alasannya, penetapan besaran tarif 20-60 persen secara bertahap dalam kurun waktu 2014-2016 itu tidak melibatkan pengusaha sebagai stakeholders.
Asosiasi Pengusaha Mineral Indonesia (Apemindo) bahkan akan mengajukan judicial review ke Mahkamah Agung terkait aturan itu. "Menteri Keuangan seharusnya mengajak pengusaha bicara. Luar biasa angka-angka itu," kata Direktur Eksekutif Apemindo Ladjiman Damanik ketika dihubungi KataData, Rabu (15/1).
Ladjiman mengatakan pengajuan judicial review itu sudah disiapkan, dan diusahakan masuk ke MA hari ini. Hal itu dilakukan karena pihaknya telah mengajukan usulan kepada pemerintah namun ditolak.
Menurut Ladjiman, tingginya bea keluar untuk ekspor mineral itu dirasa tak adil bagi pengusaha tambang. Sebab, untuk membangun smelter membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Belum lagi, fasilitas yang belum tersedia, seperti listrik, memaksa pengusaha untuk membangun pembangkit listrik sendiri.
Hal ini membuat banyak pemegang izin usaha pertambangan (IUP) yang dirugikan, dan dapat beralih usaha ke komoditas lain. Selain itu, aturan itu juga tidak adanya pertimbangan harga komoditas dan proses pemurnian masing-masing bijih mineral yang seharusnya berbeda-beda.
Ladjiman mengungkapkan, kerugian paling besar akan diterima pengusaha bauksit dan nikel. Karena untuk kedua mineral tersebut, baik yang telah diolah (konsentrat) tetap tidak dapat diekspor. ?Pasir besi harganya kan memang tinggi, nggak masalah. Tapi nikel dan bauksit harusnya bisa dengan kadar 45 persen di ekspor,? tuturnya.
Senada dengan Apemindo, Asosiasi Tembaga Emas Indonesia (ATEI) juga menolak keputusan Menteri Keuangan tentang Bea Keluar tembaga sebesar 25 persen pada 2014, 35 persen pada 2015 dan 50-60 persen pada 2016. Keputusan itu dinilai kurang tepat dan dilakukan secara sepihak.
Ketua ATEI Natsir Mansyur menyayangkan langkah Menkeu yang menetapkan BK secara sepihak tanpa mengajak bicara pengusaha tambang tembaga, asosiasi, dan Kadin. ?Konsentrat yang diolah kadar minimumnya 15 persen, berarti sudah ada nilai tambah dari 0,5 - 15 persen sebesar 30 persen, ini kan sudah melalui proses industri, sudah menggunakan biaya produksi dan investasi tentu ada hitungan industrinya,? ujar dia.
Natsir khawatir kebijakan tersebut bisa merusak bisnis tambang ke depan. Menurutnya, jika mineral masih mentah (ore) boleh dikenakan setinggi-tingginya, namun bila sudah menjadi konsentrat tembaga 15 persen artinya sudah mineral olahan.
Kebijakan bea keluar ini ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 6PMK.011/2014 tanggal 11 Januari 2014 tentang Perubahan Kedua Atas PMK No 75/PMK.011/2012 tentang Penetapan Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar.
Tarif bea keluar tersebut ditetapkan naik 20 persen atau 25 persen sampai 60 persen secara bertahap setiap semester sampai dengan 31 Desember 2016 untuk mendorong pelaku usaha segera melakukan kegiatan pengolahan dan pemurnian mineral dengan membangun pabrik smelter. Dengan kebijakan tarif gradual itu, pemerintah dapat memantau perkembangan pembangunan smelter secara periodik.
Tarif bea keluar ini merupakan tindak lanjut dari Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 tanggal 11 Januari 2014 dan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No 1 tahun 2014 terkait larangan ekspor bijih mineral. Dalam aturan tersebut, pemerintah memberikan ijin ekspor produk mineral yang sudah memenuhi batasan minimum pengolahan namun belum dilakukan kegiatan pemurnian.
Berikut susunan tarif bea keluar atas ekspor produk mineral yang sudah memenuhi batasan pengolahan: