Jalan Panjang Divestasi Freeport

Arief Kamaludin | KATADATA
www.ptfi.co.id
Penulis:
Editor: Arsip
6/2/2014, 00.00 WIB

KATADATA ? Upaya pihak nasional mendapatkan porsi saham lebih besar di PT Freeport Indonesia sudah berlangsung sejak lama. Jika tak ada halangan berarti, Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Susilo Siswoutomo menyatakan, proses renegosiasi Kontrak Karya dengan Freeport akan rampung bulan ini. (Baca: Divestasi Freeport Diputuskan Akhir Bulan Ini)

Upaya mendapatkan tambahan porsi saham tersebut berawal dari ketika dilakukan perpanjangan Kontrak Karya pada 1991. Saat itu, berhasil dimasukkan pasal dalam Kontrak Karya yang menegaskan bahwa Freeport wajib melakukan divestasi saham dalam dua tahap, sampai kepemilikan nasional mencapai 51 persen.

Sebelum Kontrak Karya perpanjangan itu ditandatangani, sebanyak 90,64 persen saham PT Freeport Indonesia dimiliki oleh Freeport McMoran Copper & Golden Inc.  Sedangkan sisanya sebesar 9,36 persen dimiliki oleh pemerintah Indonesia, yang didapat sejak Kontrak Karya (KK) generasi pertama ditandatangani pada 1967.

Dalam pasal 24 Kontrak Karya Perpanjangan disebutkan bahwa di tahap pertama Freeport wajib melepas saham ke pihak nasional sebesar 9,36 persen dalam 10 tahun pertama, sejak 1991. Sedangkan di tahap kedua, mulai 2001, Freeport harus melepaskan saham dua persen setiap tahun, sampai kepemilikan nasional mencapai 51 persen.

Freeport sudah menjalankan divestasi tahap pertama dengan menjual 9,36 persen sahamnya kepada PT Indocopper milik perusahaan swasta nasional Bakrie Brothers. Namun, kepemilikan saham ini beralih, setelah pada 1997 Indocopper dibeli oleh PT Nusamba Mineral Industri milik Bob Hasan. Belakangan, saham yang dimiliki Indocopper ini dibeli kembali oleh Freeport McMoran.

Adapun divestasi tahap kedua, hingga kini tidak pernah terealisasi. Divestasi lanjutan ini tidak jadi dilaksanakan, setelah muncul Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1994 tentang kepemilikan saham dalam perusahaan yang didirikan dalam rangka penanaman modal asing. Dalam Peraturan itu disebutkan bahwa kepemilikan saham asing pada anak perusahaannya di Indonesia diperbolehkan hingga 100 persen.

Munculnya peraturan pemerintah ini otomatis menggugurkan kewajiban divestasi tahap kedua oleh Freeport. Ini karena dalam Kontrak Karya disebutkan, bila ada aturan hukum yang meringankan, Freeport boleh mengikuti aturan tersebut.

Itu sebabnya pula, ketika kemudian muncul  Peraturan Pemerintah baru yang mewajibkan divestasi saham lebih besar, Freeport menolak mengikuti. Dalam PP Nomor 23 Tahun 2010 umpamanya, perusahaan tambang asing diwajibkan melakukan divestasi saham sampai 20 persen.  Peraturan ini kemudian diperbaharui dengan PP 24 Tahun 2012 yang mewajibkan divestasi secara bertahap sampai mencapai 51 persen.

Pada April 2012, Chief Executive Officer Freeport McMoran Richard Adkerson menyatakan, dalam menjalankan operasinya Freeport mendasarkan pada Kontrak Karya 1991. ?Kami dilindungi Kontrak Karya, bukan hukum pertambangan yang baru,? kata Richard. CEO Freeport ini juga menegaskan tidak akan mengikuti peraturan pemerintah yang mewajibkan perusahaan tambang asing melakukan divestasi saham ke pihak nasional.

Untuk menyiasati buntunya upaya divestasi, pemerintah kemudian melakukan renegosiasi kontrak karya Freeport yang berakhir pada 2021. Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa pernah menyatakan, pemerintah meminta Freeport mau mendivestasikan 51 persen saham. Tapi, hingga kini tak kunjung jelas, berapa besar saham yang akhirnya akan bersedia dilepas oleh Freeport.

Reporter: