Unsur Kerugian Negara Akibat FPJP Dipertanyakan

KATADATA | Arief Kamaludin
KATADATA | Agung Samosir
Penulis:
Editor: Arsip
13/3/2014, 00.00 WIB

KATADATA ? Mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia Budi Mulya yang menjadi terdakwa dalam kasus dugaan korupsi Bank Century mempertanyakan unsur kerugian negara yang dituduhkan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).  

Mengutip pasal 1 butir 22 Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Luhut Pangaribuan, pengacara Budi Mulya, mengatakan kerugian negara seharusnya nyata dan pasti jumlahnya, serta merupakan akibat perbuatan melawan hukum.  

Menurutnya, hal itu diabaikan oleh jaksa penuntut umum yang memotong fakta dan tidak menjelaskan dengan lengkap bahwa FPJP itu telah dibayarkan kembali oleh Bank Century. Pelunasan FPJP tersebut telah dilakukan pada 11 Februari 2009, yakni sebesar Rp 689,39 miliar untuk pelunasan pokok dan Rp 16,8 miliar untuk bunga..  

?Dengan telah dilunasinya FPJP maka tidak terdapat uang negara yang berkurang, dan negara tidak dirugikan dalam pemberian bantuan FPJP oleh BI kepada Bank Century,? ujar Luhut dalam persidangan kasus Bank Century di Pengadilan Tipikor, Kamis (13/3).   Dalam dakwaannya, jaksa KPK menuduh Budi Mulya bersama-sama Dewan Gubernur Bank Indonesia telah merugikan negara senilai Rp 7,45 triliun. Jumlah itu berasal dari Rp 689,39 miliar dari pemberian FPJP, dan Rp 6,76 triliun dalam dalam proses penetapan Bank Century sebagai bank gagal yang berdampak sistemik.  

Luhut mengatakan, dana penyertaan modal sementara kepada Bank Century masih berada di bank yang sekarang bernama Bank Mutiara itu. Alhasil, sampai saat ini belum dapat dipastikan berapa perhitungan kerugian negara yang nyata dan pasti. ?Jaksa Penuntut Umum tidak cermat dan tidak lengkap merumuskan unsur kerugian negara,? katanya.  

Pengacara juga mempersoalkan perhitungan kerugian negara ini didasarkan pada laporan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), namun hasil audit tersebut tidak dilampirkan dalam berkas perkara.   

Di sisi lain, pengacara juga mempertanyakan langkah jaksa yang tidak mempertimbangkan kondisi krisis ekonomi dalam surat dakwaannya. Padahal, situasi saat itulah yang mendorong BI memberikan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) Bank Century dan kemudian menetapkannya sebagai bank gagal yang berdampak sistemik.  

?Krisis ini sama sekali tidak dijadikan sebagai bagian pengambilan keputusan RDG (Rapat Dewan Gubernur) di dalam surat dakwaan,? kata Luhut.  

Lebih lanjut Luhut mengatakan, kebijakan pemberian FPJP merupakan kebijakan institusi, bukan perbuatan Budi Mulya secara pribadi. Hal ini merupakan kewenangan BI secara keseluruhan, bukan kewenangan Budi Mulya sebagai Deputi Gubernur bidang Pengelolaan Moneter dan Devisa.  

Eksepsi tersebut menyebutkan, kewenangan Budi yang diuraikan KPK merupakan bagian pengawasan bank. ?Terdakwa sebagai Deputi Gubernur bidang pengelolaan Moneter dan Devisa sama sekali tidak bersinggungan dengan individual bank seperti Bank Century. Karena itu keliru jika hal itu dinyatakan dalam surat dakwaan sebagai tindak pidana,? kata Luhut.  

Pengacara juga menilai dakwaan jaksa kabur karena tidak menguraikan dengan jelas dan lengkap perbuatan yang dianggap sebagai tindak pidana. ?Dimanakah kehendak konspiratif itu dilakukan dengan masing-masing telah menyadarinya dan siapa yang telah melakukan permulaan,? katanya. 

Reporter: Nur Farida Ahniar