Presiden Joko Widodo telah resmi melarang mudik lebaran 2020. Larangan ini berlaku mulai Jumat (24/4) hingga hari kedua lebaran atau tanggal 2 Syahwal 1441 Hijriah. Daerah yang menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) atau termasuk zona merah penyebar virus corona wajib melaksanakannya.
Tak hanya larangan, pemerintah juga menyiapkan sanksi bagi masyarakat yang nekat melakukan mudik selama masa berlaku larangan itu. “Untuk penerapan sanksi yang sudah disiapkan akan efektif ditegakkan mulai 7 Mei 2020,” kata Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, di Jakarta, Selasa (21/4).
Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan Budi Setiyadi mengatakan, sanksi yang dikenakan mengacu pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. “(Karena) Ini bukan pelanggaran lalu lintas,” ucapnya dalam acara Webinar Katadata “Siapa Mudik di Tengah Pandemi” pada Senin lalu.
Menurut Pasal 93 undang-undang itu, setiap orang yang tidak mematuhi atau menghalang-halangi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan dan menyebabkan kedaruratan kesehatan masyarakat bisa dipenjara maksimal satu tahun atau denda Rp 100 juta.
(Baca: Kadin: Konsumsi Masyarakat Jakarta Turun Karena Larangan Mudik Lebaran)
Namun, pemerintah juga menyiapkan sanksi ringan. Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Hubungan Masyarakat Markas Besar Polri Kombes Asep Adi Saputra menyebut hukuman itu adalah penghentian perjalanan. Pemudik nantinya akan diminta kembali ke daerah asal.
Sanksi terberat akan menyasar pada pengemudi yang mengangkut pemudik dari zona merah Covid-19. Sebab, menurut Pasal 35 ayat 1 huruf (a) dari aturan itu, pengemudi kendaraan darat yang berasal dari wilayah terjangkit wajib tetap berada dalam wilayah karantina.
Bagi yang melanggar, sanksinya adalah hukuman pindana penjara paling lama 10 tahun atau dengan maksimal Rp 15 miliar. Ketentuan ini juga tercantum dalam Pasal 92 pada undang-undang yang sama.
Juru bicara Kementerian Perhubungan Adita Irawati mengatakan, larangan mudik berlaku pula untuk angkutan umum penumpang. Pasal 94 ayat 1 dan 2 mencantumkan sanksi pidana atau denda juga bisa diberikan bagi perusahaan yang melanggar. Menurut ayat 4 pada pasal yang sama, sanksi bagi perusahaan dapat ditambah dengan dua per tiga pemberatan.
(Baca: Kemenhub Siapkan Peraturan Larangan Mudik Hingga Hari Kedua Lebaran)
Larangan Mudik, Akses Lalu Lintas Antar Kota Dibatasi
Sebagai tindak lanjut larangan mudik, pemerintah telah menyiapkan skenario berupa pembatasan lalu lintas jalan pada akses masuk atau keluar wilayah. Di setiap akses itu akan ada check point atau tempat pemeriksaan orang hendak keluar atau masuk, terutama di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangeran, dan Bekasi (Jabodetabek).
Yang boleh melakukan perjalanan lintas wilayah adalah kendaraan pengangkut barang dan logistik. Sementara, kendaraan penumpang hanya bisa melakukan aglomerasi atau berlalu lintas dari dalam wilayah masing-masing. Untuk pekerja yang masih harus melintasi Jabodetabek, seperti petugas kesehatan serta tenaga medis, bisa memakai Kereta Commuter Line (KRL).
Untuk meringankan beban masyarakat yang terkena dampak Covid-19, pemerintah telah menyalurkan bantuan sosial di wilayah Jabodetabek berupa sembako senilai Rp 600 ribu per bulan. Menteri Sosial Juliari Batara memastikan pemberian bansos ini akan berlangsung hingga tiga bulan ke depan.
(Baca: Mudik Dilarang, Pemerintah Diminta Penuhi Kebutuhan Masyarakat)
Upaya pemerintah tersebut sejalan dengan UU Kekarantinaan Kesehatan. Di dalam Pasal 8 menyebut setiap orang yang terlibat dalam penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan memiliki hak memperoleh bantuan pangan dan kebutuhan sehari-hari lainnya.
Jakarta merupakan pusat penyebaran virus corona di Indonesia. Jumlah kasusnya yang terbanyak dibandingkan kota lainnya. Per hari ini pukul 15.30 WIB, menurut situs covid19.go.id, total pasien positif mencapai 3.260 orang, dengan total kesembuhan 286 orang dan meninggal 298 orang. Kondisi ini berdampak ke kota-kota penyangga di sekitarnya, yaitu Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi.
Penulis: Nobertus Mario Baskoro (Magang)