Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I) menilai jangkauan pemasaran tidak lagi menjadi satu-satunya penentu sebuah perusahaan memasang iklan. Di era digital, keputusan mengiklankan produk juga mempertimbangkan keamanan merek atau brand safety.
Ketua P3I Janoe Arijanto mengatakan, faktor brand safety utamanya terkait dengan dampak sosial dari pemasangan iklan. Artinya, kualitas media tempat perusahaan memasang iklan produknya menjadi faktor krusial untuk dipertimbangkan.
“Akan ada pemilihan media untuk pemasaran produk, yang melibatkan persoalan moral dan etik dalam media planning,” kata Janoe dalam diskusi virtual, Kamis (9/7).
Ia menjelaskan, tren ini sudah berkembang di berbagai belahan dunia. Contoh nyatanya adalah, gerakan #StopHateforProfit yang tengah gencar disuarakan di Amerika Serikat (AS).
Lewat gerakan tersebut, beberapa perusahaan besar, seperti Adidas, Ford, Puma, Pareon, Hinda, Lego, Unilever, Microsoft, hingga Starbucks menghentikan iklannya di Facebook. Alasannya, perusahaan-perusahaan tersebut beranggapan Facebook mengizikan beredarnya pesan hasutan dari media bias nasionalis kulit putih untuk menyerang para aktivis keadilan rasial.
"Ada embrio yang menarik ketika kawan-kawan brand telah mengucapkan responsible media, yang notabene adalah persoalan etika," kata Janoe.
Dengan berkembangnya tren tersebut, Janoe menilai para pengiklan ke depannya akan semakin menghindari pemasaran produk di media yang memiliki konten negatif. Hal tersebut, akan berdampak pada peningkatan kualitas konten dari berbagai media massa.
(Baca: Dewan Pers Imbau Profesionalisme Media soal Putusan Blokir Internet)
Sebab, media massa akan semakin mempertimbangkan penyajian konten yang bagus demi bisa menggaet iklan lebih banyak. Jika tidak, media akan kesulitan mendapatkan keuntungan yang lazimnya bersumber dari iklan.
Adapun, Presiden Direktur OVO Karaniya Dharmasaputra tak percaya bahwa gerakan moral semata mampu untuk mengubah ekosistem media massa menjadi lebih baik.
Alasannya, banyak pengiklan yang masih mengacu kepada arus lalu lintas (traffic) lamanweb yang tinggi ketika ingin memasarkan produknya di suatu media massa. Sementara, konten media massa yang bagus saat ini justru tak memiliki traffic lamanweb yang tinggi.
"Realitanya kita lihat bahwa media dipaksa membuat konten populer, mungkin harus korbankan kualitas," kata Karaniya.
Atas dasar itu, ia menilai peningkatan kualitas produk jurnalistik harus dimulai dari perbaikan inti model bisnis dari media massa itu sendiri. Jika hal tersebut tak dilakukan, maka momentum berkembangnya konsep keamanan merek pada saat ini hanya akan jadi angin lalu.
"Kalau media hanya jadi industri receh, tidak bergerak ke premium seperti yang dilakukan oleh digital economy atau financial technology, saya kira momentum ini akan terus lewat," ujarnya.
(Baca: Kenaikan Jumlah Penonton saat Pandemi Tak Dorong Kinerja Perusahaan TV)