Kementerian Pertahanan tengah menjajaki kerja sama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan agar para mahasiswa yang duduk di bangku perkuliahan dapat mengikuti program bela negara. Setelah universitas, program itu akan masuk pula ke sekolah.
“Kami turunkan lagi ke level SMA (sekolah menengah atas), kemudian SMP (sekolah menengah pertama), kemudian sekolah dasar, dan nanti ke usia dini,” kata Wakil Menteri Pertahanan Sakti Wahyu Trenggono, dikutip dari Kompas.com, Rabu (19/8).
Implementasinya masih dalam tahap pembahasan dengan Kemendikbud. Bentuk program bukan pendidikan militer dan tak hanya ditujukan bagi para mahasiswa. “Semua milenial, termasuk yang dewasa pun harus punya jiwa bela negara,” ucapnya.
Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbud Nizam, melansir dari BBC, mengatakan pendidikan bela negara rencananya masuk melalui skema Kampus Merdeka yang telah berjalan sejak Januari lalu. Dalam skema itu, mahasiswa diberikan waktu hingga dua semester untuk menjalani mata kuliah di luar program studi. Hasil pendidikannya akan masuk dalam satuan kredit semester atau SKS mahasiswa.
Targetnya, pada tahun depan program ini mulai dapat menjadi pilihan mahasiswa. Kemendikbud memastikan perkulihannya tidak akan sia-sia dalam pencapaian gelar. “Menurut Pak Menhan (Menteri Pertahanan Prabowo Subianto) dan Pak Wamenhan, nanti mahasiswa yang mengikuti program komponen cadangan selama 10 bulan saat lulus sarjana sekaligus mendapatkan pangkat perwira cadangan,” kata Nizam.
Kritik terhadap Program Bela Negara di Kampus
Rencana ini mendapat penolakan dari berbagai pihak. Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Fatia Maulidiyanti menyebut pendidikan militerisme dalam ranah pendidikan formal sangat bahaya. Pemerintah seolah memelihara kultur kekerasan.
Selain itu, Fatia juga melihat ada upaya pemerintah meredam sikap kritis mahasiswa terhadap negara. “Upaya-upaya kritis, dari anak muda khususnya, itu mulai dibungkam secara perlahan lewat wajib militer ini," katanya, dikutip dari BBC.
Anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Sukamta mengatakan, penyelenggaraan program bela negara di perguruan tinggi memang diperlukan, tapi bukan berbentuk pendidikan militer. "Untuk mendaftar menjadi komponen cadangan sifatnya harus sukarela. Pemaksaan di sini bisa berpotensi melanggar hak asasi manusia," ujarnya.
Konstitusi Indonesia mengamanatkan bela negara merupakan hak dan kewajiban bagi setiap warga. Negara harus memfasilitasi warganya yang ingin turut serta dalam usaha pembelaan negara. Namun, bentuknya dapat berupa pendidikan kewarganegaraan, pelatihan dasar militer sebagai calon komponen cadangan, pengabdian sebagai anggota TNI, atau pengabdian sesuai profesi.
Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara (PSDN) diatur soal komponen pendukung dan komponen cadangan. Pada Pasal 17 aturan itu disebutkan komponen pendukung itu bersifat sukarela. Lalu, pada Pasal 28 mengatur komponen cadangan juga bersifat sukarela.
"Artinya, tidak ada wajib militer, bagi perguruan tinggi dipersilakan untuk menyelenggarakan PKBN (P endidikan Kesadaran Bela Negara) atau tidak," ujar Sukamta.
Dari Bela Negara Sampai Menwa
Beberapa kampus sebenarnya telah menerapkan program bela negara. Universitas Siliwangi, Jawa Barat, misalnya, pada awal tahun ini menyelengarakan program tersebut untuk mahasiswa tingkat satu. Mengutip dari situs Pikiran Rakyat, kegiatan ini bertujuan untuk penguatan jati diri dan rasa bela negara mahasiswa.
Kegiatannya diikuti oleh lebih 2.800 mahasiswa selama lima hari. Turut terlibat di dalam program pendidikan ini adalah Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas), Kodim 0612 Tasikmalaya, Polresta Kota Tasikmalaya, Lanud Wiriadiata Tasikmalaya, Brigif 13 Galuh/Tasikmalaha, dan Palang Merah Indonesia (PMI) Kota Tasikmalaya.
Beberapa kampus juga memiliki unit kegiatan mahasiswa atau UKM yang mendapat pelatihan militer, yaitu Resimen Mahasiswa alias Menwa. Resimen ini merupakan komponen cadangan pertahanan negara yang diberikan pelatihan ilmu militer, termasuk penggunaan senjata, taktik pertempuran dan survival, terjun payung, navigasi, sampai bela diri.
Bedanya dengan UKM lain adalah Menwa berada langsung di bawah rektorat. Selain itu, karena dibentuk sebagai komponen cadangan pertahanan negara, maka pelatih anggota Menwa adalah Tentara Nasional Indonesia alias TNI.
Melansir dari situs Universitas Airlangga, Menwa pertama kali dibentuk oleh Jenderal AH Nasution. Pada 13 Juni sampai 14 September 1959, TNI mengadakan wajib latih para mahasiswa di Jawa Barat. Mereka dididik oleh Kodam VI Siliwangi.