Komisi Informasi Pusat dan Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) menandatangani Nota Kesepahaman Bersama (Memory of Understanding/ MoU) terkait peran media siber dalam mendorong keterbukaan informasi publik. Kerja sama ini untuk menguatkan tata kelola informasi publik di Indonesia.
Kerja sama dua lembaga ini berdasarkan pemahaman bersama bahwa keterbukaan informasi publik merupakan sarana dalam mengoptimalkan pengawasan publik terhadap penyelenggaraan negara, serta sebagai upaya dalam mengembangkan masyarakat informasi (information society).
Ketua Umum AMSI Wenseslaus Manggut menyampaikan MoU ini untuk memaksimalkan partisipasi publik dalam pengelolaan negara. Terutama dalam mengawasi jalannya program pemerintah dengan informasi yang memadai bagi publik.
“Menyediakan informasi yang memadai itu adalah tanggung jawab media massa. Tapi informasi yang memadai bisa disajikan, mengandaikan media memiliki akses kepada sumber informasi. Informasi yang memadai itu menyangkut apa saja, termasuk data,” kata Wenseslaus dalam siaran pers yang diterima Katadata.co.id, Jumat (26/3).
Lebih lanjut Wens mengatakan akses terhadap data tidak saja mengembalikan jurnalisme menjadi berkualitas, “Tapi juga membuka kesempatan bagi publik untuk memahami jalannya negara dalam data dan angka.”
Kerja sama yang ditandatangani pada Kamis (25/3) ini merupakan upaya pemenuhan hak informasi publik dan hak atas akses informasi publik yang dijamin UUD 1945 dan diatur Undang-Undang Nomor 14 tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP).
Ketua Komisi Informasi Publik Gede Narayana menyampaikan kerjasama ini dapat mendukung keterbukaan informasi publik. “Sehingga pelaksanaan keterbukaan informasi publik bisa tersiar serta diinformasikan kepada masyarakat luas,” kata Gede Narayana.
Penandatanganan kesepahaman dilanjutkan dengan rangkaian “Dengar Pendapat Publik Perbaikan Sengketa Informasi Publik” Wilayah Indonesia Timur melibatkan AMSI Papua. Diskusi ini dihadiri 29 perwakilan media anggota AMSI dari Indonesia Timur, akademisi dan NGO.
AMSI Aceh juga sebelumnya menggelar dengar pendapat dengan mengundang peserta dari wilayah Indonesia Barat pada 23 Maret 2021 lalu dan dihadiri 59 peserta. Rangkaian kegiatan ini merupakan kerja sama AMSI dan Komisi Informasi dengan dukungan UNESCO.
Selain menyelenggarakan diskusi publik, AMSI juga melakukan review kebijakan terhadap draft Revisi Peraturan Komisi Informasi (Perki) Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Prosedur Penyelesaian Sengketa Informasi Publik. Prosedur ini merupakan faktor penting yang menentukan kualitas performa penyelesaian sengketa informasi. Dua pakar yang dilibatkan adalah Dessy Eko Prayitno dan Astrid Deborah.
Arif Kuswardono, Komisioner Komisi Informasi saat sesi Dengar Pendapat Publik Wilayah Timur menyampaikan upaya perbaikan prosedur sengketa informasi sedang dilakukan agar ke depan tidak terjadi penumpukan kasus. “Sengketa adalah satu bagian saja sedang di hulunya adalah perbaikan layanan agar publik dan jurnalis mendapatkan informasi publik yang berkualitas,” katanya.
Terkait sengketa publik, Badan Publik juga perlu didorong agar terus lebih cepat membuka informasi publik. Dessy Eko Prayitno menyampaikan saat ini masih ada masalah pada Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik karena masih memberikan ruang 100 hari kerja bagi badan publik untuk membuka data.
“Untuk penyelesaian sengketa, Komisi Informasi mempunyai peran untuk mendesain aturan agar proses sengketa bisa lebih cepat,” ujar Eko. Ia menambahkan ketika informasi dapat diperoleh dengan cepat, sumber terpercaya, “Harapannya dapat membantu pemberantasan hoaks.”