Empat Manipulasi Pesan untuk Menyetir Suara Jelang Pemilu

Katadata
Penulis: Doddy Rosadi - Tim Publikasi Katadata
4/2/2024, 17.04 WIB

Jakarta, 3 Januari 2024 - Dalam situasi demokrasi politik memanas seperti saat ini, masyarakat harus semakin proaktif menentukan arah demokrasi negara. Ketika upaya mengarahkan sentimen dan manipulasi pesan semakin kuat, kekuatan publik melalui suara warga yang melaporkan pelanggaran pemilu akan menjadi kunci keberlangsungan demokrasi di Indonesia.

Sosiolog dan sastrawan Okky Madasari dalam diskusi bertajuk “Kode, Gestur dan Blunder Tata Negara 2024” yang digelar oleh Jaga Pemilu menyoroti empat metode manipulasi pesan yang telah dilakukan untuk menyetir suara menjelang hari pencoblosan 14 Februari 2024.

Pertama, manipulasi melalui survei yang menciptakan kesan bahwa sudah ada pemenang dalam satu putaran. Manipulasi ini berbasis pada teori psikoanalisa dimana orang yang belum memutuskan cenderung mengekor kepada pihak pemenang atau suara mayoritas.

Kedua, manipulasi informasi tentang anggaran pemilu untuk satu putaran dengan dalih penghematan uang negara. Padahal, anggaran pemilu telah dipersiapkan dan diantisipasi untuk dua putaran.

Ketiga, manipulasi dengan menggunakan kata kunci ibadah yang menciptakan kesan bahwa satu putaran pemilu memungkinkan warga untuk beribadah dengan tenang selama bulan Ramadhan.

Keempat, pemihakan penyelenggara negara melalui pernyataan bahwa mereka boleh berpihak, yang disampaikan dengan menggunakan simbol-simbol negara.

Karena itu, Okky mengajak seluruh lapisan masyarakat untuk aktif dalam proses demokrasi, memilih dengan bijak, dan mengawasi jalannya pemilu. Partisipasi aktif warga negara adalah kunci untuk mewujudkan pemilu yang bersih, adil, dan mewakili suara rakyat.

“Dengan bersatu, kita dapat menjaga integritas demokrasi dan menegakkan keadilan,” kata Okky di Jakarta, Sabtu (3/2/2024)..


Program Manager Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia Violla Reininda, menegaskan bahwa apa yang terjadi bukanlah sekadar blunder tata negara, melainkan sebuah rencana yang telah dirancang jauh sebelum putusan Mahkamah Konstitusi pada 16 Oktober 2023 yang memberi jalan Gibran Rakabuming Raka menjadi calon wakil presiden.

"Jadi sudah ada prakondisi sebelumnya," kata Violla.

Karena itu, tambahnya, Pemilu 2024 sudah terbebani sejak awal, tidak adil, dan melanggar etika dengan jelas bahkan sebelum dimulainya kampanye. “Pemikiran ini tidak salah karena banyak guru besar dari berbagai universitas telah bersuara, menyatakan adanya ketidakadilan dan ketidakberesan dalam negara dan pemilu ini,” kata Violla.

Menghadapi situasi ini, Violla mendorong publik sebagai warga negara untuk menggunakan hak pilih dan mengawasi pemilu semaksimal mungkin di lingkungan kita sendiri agar berlangsung jujur dan adil.

“Ekspresi pendapat warga negara dilindungi oleh undang-undang,” kata Violla.