AirBnB Mulai Mengancam Bisnis Hotel di Indonesia

AirBnB
Caravan trailer di AirBnB
12/10/2017, 04.57 WIB

Disrupsi inovasi teknologi terus terjadi di semua sektor. Setelah angkutan konvensional terpukul oleh layanan transportasi berbasis aplikasi online, kini giliran industri hotel di Tanah Air yang tersaingi dengan kehadiran situs layanan penginapan, AirBnB.

AirBnB, singkatan dari air bed and breakfast atau kasur angin dan sarapan pagi, adalah pionir marketplace akomodasi adal Amerika Serikat (AS) yang berdiri sejak 2008. Model bisnisnya mirip seperti Uber, AirBnB menawarkan fungsi broker bagi pemilik hunian yang ingin menyewakan kamar, rumah, apartemen, losmen, atau tempat menginap lainnya dalam jangka waktu tertentu.

Sejak awal, kehadiran AirBnB menghadirkan tantangan bagi bisnis hotel. Meski belum secara resmi hadir di Indonesia, sudah banyak pemilik properti yang menawarkan penyewaan huniannya lewat AirBnB, terutama di darah wisata seperti Yogyakarta dan Bali. Industri hotel pun sudah mulai merasakan pukulan disruptor marketplace penginapan ini.

Natour Hotel misalnya, mengaku sudah merasakan penurunan pendapatan sejak AirBnB mulai menawarkan akomodasi di kota-kota di Indonesia. Menurut catatan Kontan, rata-rata okupansi 43 hotel dalam jaringan Natour Hotel di semester I-2017 sekitar 61%. Menurut Direktur Utama Hotel Indonesia Natour Iswandi Said, ini merupakan imbas dari kehadiran AirBnB.

Menurut Corporate Secretary PT Pudjiadi and Sons Tbk (PNSE) Ariyo Tejo, masuknya AirBnB menghadirkan tantangan bagi hotel-hotel yang dioperasikan perusahaan. Kehadiran AirBnB ikut menekan okupansi hotel karena industri hotel di Indonesia sendiri masih mengalami oversupply atau kelebihan pasokan.

Ketua Umum Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Hariyadi Sukamdani sependapat, kehadiran AirBnB mulai menggerogoti bisnis hotel di Tanah Air. Sebab, layanan penginapan AirBnB memiliki keunggulan yang sulit dilawan industri hotel, yakni dari aspek harga yang jauh lebih murah.

AirBnB merugikan pelaku usaha perhotelan karena bisnisnya tidak masuk dalam sistem bisnis akomodasi yang legal dan tidak membayar pajak. Yang dilakukan AirBnB juga hanya menawarkan penginapan saja, tanpa memperhatikan aspek keamanan dan layanan, yang justru menjadi perhatian penting jasa hotel.

Pasar AirBnB banyak menjangkau pelancong yang hanya singgah beberapa hari dan tidak terlalu mementingkan fasilitas kamar hotel yang bagus. Dari aspek suplai, AirBnB juga tidak kesulitan karena banyak pemilik hunian yang bersedia menawarkan penyewaan tempatnya untuk mendapatkan penghasilan.

Karena itu, Hariyadi menilai seharusnya pemerintah melarang keberadaan AirBnB. Kalau ingin menjalankan bisnis di Indonesia, perusahaan yang berpusat di San Fransisco tersebut harus mengikuti ketentuan yang ada di Indonesia, seperti membayar pajak dan membuka kantor perwakilan di Indonesia.

AirBnB sendiri didirikan oleh tiga sahabat Joe Gebbia, Brian Chesky, dan Nathan Blecharczyk. Mereka membangun AirBnB dengan menawarkan sarapan pagi sereal dan kasur angin yang diletakkan di ruang tamu. Startup mereka lantas mendapat pendanaan dari Y Incubator, inkubator bisnis rintisan elit.

Sekarang AirBnB sudah menawarkan akomodasi di 34.000 kota dan 191 negara. Yang ditawarkan sekarang tidak hanya kamar tidur, rumah, atau apartemen semata, tetapi juga menawarkan layanan bermalam di perahu yacht, kastil, pulau pribadi, iglo, mobil, tempat kerja bersama, rumah pohon, rumah mikro, galeri seni, dan hingga tenda di alam terbuka.