Platform media sosial dan digital dituduh menghalangi penyebaran informasi tentang perang di Gaza. Keterlibatan digital yang intens dari kalangan muda Palestina membuat Israel menargetkan tokoh-tokoh media sosial, pemilik saluran YouTube, dan jurnalis yang melakukan siaran langsung dari Gaza.
"Beberapa negara, terutama Prancis dan Jerman, awalnya memberlakukan semacam pembatasan digital, tetapi terpaksa mengurungkan niatnya karena peningkatan dukungan publik untuk Palestina," kata Abdoulhakim Ahmine, pakar media dan komunikasi asal Maroko saat berbicara kepada Anadolu, dikutip Sabtu (5/10).
Ia mencatat adanya "tekanan komunikasi" terhadap kaum muda yang mengekspresikan diri mereka di platform-platform tersebut.
Hassan Kharjouj, seorang peneliti teknologi, mengatakan: "Algoritma platform digital secara ketat menyensor konten Palestina dan membatasi penyebarannya."
Ia menambahkan bahwa para pengguna telah mengembangkan teknik untuk menghindari penghapusan konten.
Sada Social, sebuah pusat penelitian yang berbasis di Palestina, mendokumentasikan lebih dari 5.450 pelanggaran terhadap konten digital yang berkaitan dengan Palestina dalam empat bulan pertama tahun 2024, sebagaimana tertulis dalam sebuah laporan pada Mei 2023.
Laporan tersebut menemukan bahwa Instagram menyumbang 32 persen dari pelanggaran, Facebook 26 persen, WhatsApp 16 persen, TikTok 14 persen, dan X (sebelumnya Twitter) 12 persen.
Meskipun menghadapi tantangan ini, media sosial tetap menjadi alat penting untuk menyebarkan informasi tentang tindakan genosida Israel di wilayah tersebut.
Selama setahun terakhir, warga Palestina telah memanfaatkan konten digital untuk menyampaikan peristiwa di Gaza kepada khalayak luas di dunia Arab, Islam dan Barat yang memicu aksi dukungan di seluruh dunia.