Antraks, Momok Industri Peternakan Sejak Kolonial Belanda

Freepik
Ilustrasi bakteri antraks.
Penulis: Dini Pramita
11/7/2023, 08.27 WIB

Kementerian Kesehatan (Kemenkes) meminta masyarakat mewaspadai empat tipe penyakit antraks yang bisa menular kepada manusia melalui luka pada tubuh atau hewan pemakan tanaman (herbivora).

Ia mengatakan antraks merupakan penyakit zoonosis yang disebabkan bakteri Bacillus Anthracis. "Ada empat tipe yang perlu diwaspadai, terutama antraks kulit (cutaneous),” kata Imran Pambudi Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kemenkes RI dilansir Antara, Senin (10/7).

Sebelumnya tiga warga di Kecamatan Semanu, Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, meninggal akibat tertular antraks atau penyakit sapi gila. Menurut Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi, dari hasil tes serologi, terdapat 93 warga yang positif tertular antraks.

Nadia mengatakan kasus antraks di Gunung Kidul itu merupakan kasus pertama di 2023, sementara tahun lalu nihil laporan kasus penularan ke manusia. "Sebagian pasien ada yang masih dirawat dan sebagian sudah dinyatakan sembuh," kata dia, Selasa (4/7).

Geger penularan antraks ini terjadi beriringan dengan Hari Raya Idul Adha. Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Kabupaten Gunungkidul Wibawanti Wulandari mengatakan berdasarkan hasil pemeriksaan, terdapat 12 ekor ternak yang tertular antraks, terdiri dari enam kambing dan enam sapi.

Pengambilan sampel darah kasus Antraks Gunungkidul (ANTARA FOTO/Hendra Nurdiyansyah/foc.)

Kronologi Antraks Tewaskan Tiga Warga Semanu

Sejak pertengahan April 2023, pemerintah daerah mendapatkan laporan ada seekor sapi betina dan seekor kambing yang mati mendadak dan diduga tertular antraks. Usai dikubur, masyarakat menggali kuburan sapi itu lalu dijual dengan harga murah dan dikonsumsi bersama.

Menginjak Mei hingga Juni 2023, jumlah sapi dan kambing yang mati mendadak dan diduga tertular antraks bertambah. Pada Juni itu, seorang warga Semanu yang ikut menyembelih dan mengkonsumsi bangkai sapi itu meninggal karena tertular antraks.

Saat itu, Dinas Kesehatan Gunung Kidul turun untuk menelusuri seluruh sampel masyarakat yang melakukan kontak dengan bangkai sapi. Menurut laporan Dinas Kesehatan Gunung Kidul, ada 125 orang yang dilaporkan memiliki riwayat kontak langsung dengan bangkai sapi, 85 di antaranya positif terpapar, 18 di antaranya menunjukkan gejala khas penularan antraks pada manusia.

Sementara itu menurut Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan (DPKH) Gunung Kidul, bangkai 12 ekor ternak yang diduga terpapar antraks tak lagi dapat ditemukan. Sehingga, besar kemungkinan ternak-ternak yang mati itu dibagi habis untuk dikonsumsi dan dijual murah kepada warga di sekitar Semanu.

Kondisi ini diketahui setelah DPKH turun ke lapangan untuk mengambil sampel bangkai yang sudah mati dan mengujinya di laboratorium. "Akhirnya kami hanya menguji sampel tanah," kata Kepala Bidang Kesehatan DPKH Gunung Kidul Retno Widyastuti, Rabu (5/7).

Apa Itu Antraks atau Penyakit Sapi Gila?

Antraks berasal dari kata anthrax (ἄνθραξ), kata bahasa Yunani untuk arang. Istilah ini digunakan karena kemunculan lesi kulit berwarna hitam seperti arang pada kulit yang terinfeksi.

Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), penyakit antraks merupakan infeksi yang disebabkan oleh bakteri pembentuk spora yang disebut Bacillus anthracis. Bakteri ini menghasilkan racun yang sangat kuat yang bertanggung jawab menyebabkan kematian pada hewan dan manusia yang tertular melalui produk hewan yang terkontaminasi.

Spora antraks dapat bertahan di tanah selama 40-80 tahun dalam kondisi tidak aktif (dorman). Tetapi, akan berpotensi menyebabkan penularan ketika terjadi banjir, hujan lebat, tanah longsor yang menyebabkan spora muncul ke lapisan tanah paling atas yang akan aktif kembali ketika spora di dalam tanah itu tertelan atau terhirup oleh hewan ternak.

Ketika spora antraks tertelan atau terhirup masuk ke dalam tubuh, mereka dapat berkecambah, membelah diri, berkembang biak, menghasilkan racun dan menyebarkan racun ke seluruh tubuh.

Penyakit ini dapat menyerang kulit, paru-paru, dan saluran pencernaan. Kematian terjadi akibat racun yang disebarkan oleh spora di dalam tubuh menghancurkan sel-sel di dalam organ-organ vital di tubuh.

Bagaimana Mencegah Penularan Antraks dan Mengendalikan Penularannya?

Antraks biasanya tidak menular dari hewan ke hewan (antar hewan), atau dari manusia ke manusia secara langsung. Namun, menurut WHO, serangga dapat menjadi media penularan yang menyebarkan bakteri antar hewan. Salah satunya melalui serangga yang menggigit kulit.

Pakan ternak dapat terkontaminasi antraks jika mengandung tepung tulang hewan yang terinfeksi. Penularan ke manusia juga dapat terjadi melalui kontak langsung ketika menyembelih hewan yang terinfeksi, bersentuhan langsung dengan bagian tubuh hewan yang terinfeksi (darah, kulit, tulang, daging), dan dapat tertular melalui kecelakaan di laboratorium.

Menurut situs resmi Kementerian Pertanian, spora antraks tahan terhadap kondisi lingkungan yang panas dan tahan terhadap bahan kimia serta desinfektan.

Sebab itu, hewan yang diduga mati karena terjangkit antraks mesti dikubur sangat dalam dengan kedalaman minimal 2 meter atau dibakar. Sebelum dikubur, hewan dapat dilumuri dengan formalin agar bakteri di permukaan ternak dapat sedikit dikendalikan.

Setelah itu, bagian atas kuburan dibubuhi kapur. Kapur sekaligus menjadi penanda agar hewan ternak dijauhkan dari lokasi penguburan. Selain itu dilarang keras untuk menggali kembali kuburan itu dan memotong hewan yang sudah terjangkit antraks.

Menurut Kementerian Pertanian, hewan yang diduga terjangkit antraks harus diisolasi dari ternak lainnya. Isolasi harus dilakukan di kandang hewan itu ditemukan sakit dan tidak boleh dipindahkan ke tempat lain.

Antraks dapat diobati dengan dengan melakukan pemberian antibiotik seperti penicillin, streptomycin, oxytetracycline, dan sulfonamide. Pencegahan Antraks dapat dilakukan dengan vaksinasi setiap tahun pada daerah yang tidak bebas Antraks.

Sementara itu, pada daerah yang dinyatakan sudah terbebas dari antraks, tindakan pencegahan dilakukan berdasarkan pengawasan dan pengendalian masuk keluarnya ternak dan disertai dengan surveilans.

Jika seorang individu memiliki risiko paparan tinggi terhadap antraks, maka wajib mendapatkan vaksin antraks.

Mengenal Empat Jenis Antraks dan Gejalanya pada Manusia

Berdasarkan cara penyebarannya, penyebab antraks dibedakan menjadi beberapa jenis, yaitu:

1. Antraks kulit
Penularan ini terjadi melalui luka terbuka pada permukaan kulit. Bakteri yang berasal dari hewan yang terpapar masuk melalui luka tersebut. Gejala baru berkembang antara 1-7 hari setelah terpapar. Gejala yang terlihat antara lain demam, lemas, mual, ruam yang diikuti dengan benjolan kemerahan yang disertai rasa perih dan gatal, di bagian tengah benjolan terdapat luka berwarna kehitaman.

2. Antraks pencernaan
Bakteri akan memasuki saluran pencernaan dan menginfeksi saluran cerna ketika seseorang mengonsumsi daging hewan yang telah terinfeksi. Gejala akan berkembang 1-7 hari setelah paparan terjadi dengan ciri-ciri mual, muntah, diare yang terkadang disertai dengan darah, nyeri perut, demam, dan lemas.

3. Antraks pernapasan
Penularan akan terjadi ketika seseorang menghirup spora yang berasal dari banteri antraks. Infeksi biasanya berkembang setelah 7 hari sampai 2 bulan setelah terpapar dengan gejala demam, batuk, sesak napas, lemas, nyeri dada hingga kegagalan napas dan syok yang dapat menyebabkan kematian dalam waktu singkat.

4. Antraks meningitis
Ini adalah jenis antraks yang langka tetapi memiliki tingkat kematian sangat tinggi. Antraks meningitis terjadi ketika spora dari bakteri antraks menyebar hingga ke otak dan menyebabkan peradangan pada selaput otak (meningitis). Gejala yang spesifik mulai dari demam hingga radang selaput otak.

Sejarah Panjang Antraks dan Kerugian yang Ditimbulkan

Antraks merupakan salah satu penyakit tertua di dunia dan pernah disebutkab dalam Alkitab. Para peneliti meyakini antraks merupakan penyakit purba yang terus ada hingga zaman modern.

Penyakit ini diyakini berasal dari daerah Mesopotamia dan kerap menjadi wabah hingga sekitar Mesir. Sementara itu dalam peradaban Yunani Kuno, penyakit antraks kerap dinyatakan dalam catatan para filsuf dan cendekiawan di masa itu.

Di Indonesia, penyakit antraks diduga telah menjangkiti sejak 1832 dengan catatan pertama muncul di Kolaka, Sulawesi Tenggara. Pada 1884 ada catatan penularan antraks pada kerbau di Teluk Betung, Lampung.

Sejak itu, kemunculan wabah antraks terdeteksi di beberapa daerah yang hampir menyebar merata di seluruh Indonesia. Catatan korban meninggal pertama kali akibat antraks ada pada 1969 di Kolaka, Sulawesi Tenggara, yang merenggut 36 nyawa.

Setelah itu wabah antraks silih berganti muncul di beberapa daerah di Indonesia yang kerap menimbulkan korban jiwa. Pada 2003, Kementerian Pertanian menerbitkan Keputusan Menteri Pertanian yang menyatakan Provinsi Papua bebas dari antraks.