Kisah Nasionalisasi Lima Perusahaan Besar Era VOC

ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/tom.
Wisatawan berlibur di kawasan Taman Fatahillah, kompleks Kota Tua, Jakarta, Selasa (6/9/2022).
23/12/2022, 15.36 WIB

Pemerintah Belanda meminta maaf secara resmi atas perbudakan yang dilakukan dari abad ke-17 hingga ke-19. Perdana Menteri Mark Rutte mengakui bahwa penjajahan di koloni luar Eropa, seperti Suriname, Aruba, dan Indonesia, tidak bisa dibenarkan. 

“Hari ini, atas nama pemerintah Belanda, saya meminta maaf atas tindakan negara ini di masa lalu,” ujar Rutte dalam konferensi pers di Den Haag, Senin (19/12).

Di Indonesia, Belanda menggunakan Persatuan Perusahaan Hindia Timur alias VOC untuk memonopoli aktivitas perdagangan di Asia sejak 1602. Meski VOC telah bubar pada akhir 1799, peninggalan perusahaan bekas Belanda ini masih terlihat di beberapa kota, bahkan melebur dalam beberapa Badan Usaha Milik Negara alias BUMN.

Nasionalisasi Perusahaan Belanda 

Setelah perundingan pascakemerdekaan, pemerintah Indonesia akhirnya memutuskan untuk menasionalisasi perusahaan Belanda yang ada di Tanah Air. Adapun beleid terkait nasionalisasi ini adalah UU No 86/1958 yang diundangkan pada 31 Desember 1958. Dalam peraturan ini juga tertulis langkah nasionalisasi kala itu diambil untuk memperjuangkan pembatalan hasil Konferensi Meja Bundar alias KMB dan pembebasan Irian Barat. 

“Sudah tiba waktunya untuk mengeluarkan ketegasan terhadap perusahaan-perusahaan milik Belanda yang berada di dalam wilayah Republik Indonesia berupa nasionalisasi dari perusahaan-perusahaan milik Belanda untuk dijadikan milik Negara,” tulis peraturan itu.

Untuk melancarkan program nasionalisasi ini, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 1959 tentang Pembentukan Badan Nasionalisasi Perusahaan Belanda (Banas). Dalam peraturan ini, ada 14 badan atau panitia penampung perusahaan Belanda yang dikenakan nasionalisasi. Mulai dari bidang perkebunan, farmasi, industri, tambang, hingga asuransi. 

The Big Five Menjadi Satu BUMN Niaga

Bidang perdagangan pun tidak luput dari nasionalisasi. Sekitar 30 perusahaan dagang Belanda serta cabangnya kemudian dilebur dalam PT Negara yang dibentuk oleh Badan Urusan Dagang (BUD). Dari 30 perusahaan tersebut, ada lima perusahaan besar yang dikenal dengan nama The Big Five. Mereka ialah Borsumij, Internatio, Jacobson van Den Berg, Lindeteves Stokvis, dan Geo Wehry. 

Melansir Historia, PT Negara yang menaungi seluruh perusahaan ini kemudian dibagi menjadi sembilan Bhakti, yakni:

  1. Budi Bhakti (Borsumij), 
  2. Aneka Bhakti (Internatio), 
  3. Fadjar Bhakti (Jacobson van Den Berg), 
  4. Tulus Bhakti (Lindeteves),
  5. Marga Bhakti (Geo Wehry), 
  6. Djaja Bhakti (Usindo, Jasa Negara, dan N.V. Everard & Co.), 
  7. Tri Bhakti (Central Trading Company), 
  8. Sedjati Bhakti (Jajasan Bahan Penting),
  9. Sinar Bhakti (Java Steel Stokvis)

Adapun The Big Five itu digabung ke dalam tiga BUMN Niaga, yakni Tjipta Niaga, Dharma Niaga, dan Pantja Niaga. Pada Juni 2003, pemerintah memutuskan untuk menggabung ketiga BUMN Niaga ini menjadi apa yang dikenal sekarang dengan nama Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) alias Indonesia Trading Company (ITC). PPI adalah satu-satunya BUMN perdagangan yang bergerak di bidang ekspor, impor, dan distribusi. 

Toko Merah, VOC, dan PPI

Salah satu peninggalan The Big Five yang masih bisa disambangi adalah Toko Merah di Jalan Kali Besar Barat, Jakarta Barat. Berusia hampir tiga abad, gedung ini nampak mencolok di antara bangunan lainnya di daerah tersebut. 

Awalnya, gedung ini adalah tempat tinggal Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Gustaaf Willem Baron van Imhoff. Ia juga lah yang membangun gedung ini pada 1730, sebelum menjabat sebagai Gubernur Jendral dari 1743 hingga 1750. 

Kala itu, Toko Merah terletak di posisi strategis: dekat dengan balaikota sebagai pusat pemerintahan sekaligus Kali Besar yang adalah pusat bisnis. Namun karena keunggulan itu, Toko Merah sempat digunakan sebagai akademi maritim pada 1734 hingga 1755. 

Meski nama Toko Merah diambil dari cat merah yang menutupi batu bata bangunan, warna ini justru baru muncul pada 1923. Sejarawan Adolf Heuken dalam bukunya Historical Site of Jakarta menuturkan, awalnya batu bata yang tak diplester itu dicat putih. Barulah pada 1923, direksi Bank voor Indie mengubah warnanya menjadi merah. 

Pandangan serupa juga disampaikan Thomas B. Ataladjar dalam Toko Merah. Namun ia berpendapat gedung tersebut mulai dicat merah sejak dibeli seorang Tionghoa bernama Oey Liauw Kong pada 1851. Oey Liauw Kong menggunakan bangunan tersebut sebagai sebuah toko, bahkan dilanjutkan oleh anaknya, Oey Hok Tjiang dan Oey Kim Tjiang hingga 1895.

“Hal ini memungkinan populernya nama Toko Merah sejak pertengahan abad ke-19, jauh sebelum dipugar oleh Bank voor Indie pada 1923,” tulis Ataladjar. 

Tidak hanya Bank voor Indie, salah satu The Big Five, yakni NV Jacobson van Den Berg pernah menggunakan gedung ini sebagai kantor sejak 1934. Pada masa pendudukan Jepang, pimpinan dan pejabat Jacob Berg tercatat dibantai oleh tentara Nippon. Toko Merah tersebut akhirnya dialihfungsi sebagai gedung dinas kesehatan tentara. Dalam catatan Historia, ketika Jepang menyerah pada Sekutu gedung ini sempat digunakan oleh NV Nigeo Export. Jacob Berg kembali menempati gedung ini pada 1946.

Namun tidak berlangsung lama, ketika nasionalisasi perusahaan Belanda terjadi pada akhir 1950-an, Serikat Buruh Jacob Berg mengambil alih perusahaan tersebut dan mengibarkan bendera merah putih di Toko Merah.

Pasca nasionalisasi, Toko Merah menjadi milik Indonesia di bawah PPI. Sejak 1993, Toko Merah pun sudah ditetapkan sebagai Cagar Budaya. Oleh sebab itu, PPI pun merenovasi Toko Merah bersama dengan Dinas Museum dan Pemugaran DKI Jakarta. 

Adapun PPI sempat beroperasi di bangunan bersejarah tersebut, sebelum pindah ke Jalan Abdul Muis, Jakarta Pusat pada 2003. Kini, gedung ikonik tersebut digunakan sebagai gedung sewa atau gedung pertemuan. 

Reporter: Amelia Yesidora