Pesatnya teknologi dan persebaran informasi saat ini membuat pembuat kebijakan dan pelaku usaha menjadi sulit memprediksi perilaku konsumen. Kondisi tersebut berbeda dengan kondisi 20 tahun lalu ketika informasi berasal dari satu sistem yang sama.
Ketua Dewan Komisioner LPS Halim Alamsyah menyatakan fenomena ini menyebabkan informasi tidak lagi eksklusif atau hanya dimiliki oleh otoritas atau lembaga resmi tempat data tersebut dibuat, tetapi juga dapat disebarluaskan oleh masyarakat luas melalui alat-alat dan teknologi komunikasi.
"Data dan informasi kini menjadi inklusif, dapat diakses secara real time dan multi arah, tidak lagi two ways. Cara bekerja lembaga-lembaga pemerintah dan sosial ekonomi juga menjadi lebih transparan dan makin dipahami oleh masyarakat," ujarnya dalam LPS Research Fair 2018.
Oleh karena itu, persepsi dan respons pelaku ekonomi menjadi mudah berubah akibat diserbu data dan infromasi yang bisa mereka dapatkan dari berbagai tersebu. Hal tersebut berisiko meningkatkan ketidakpastian dalam pergerakan pasar.
"Kita memahami terjadi gejolak yang besar yang sebetulnya sedikit banyak sudah bisa kita prediksi ketika uang yang begitu besar mengalir dari AS, Jepang, dan Eropa, sekarang secara perlahan arus modal itu kembali ke masing-masing. Ini menarik bagi kita melakukan pengamatan dan respons seperti apa yang pas," imbuhnya.
Untuk itu, riset diperlukan untuk mulai memetakan dan memprediksi perilaku para pelaku pasar melalui economic behaviour research. Hasil riset tersebut dapat dimanfaatkan sebagai dasar atau acuan para pemangku kebijakan untuk merespons atau mengambil keputusan.
Hal yang senada disampaikan oleh Ekonom Iwan Jaya Aziz. Dia pun menekankan pentingnya riset di dalam setiap lembaga pemerintahan atau pembuat kebijakan lain, terutama penelitian yang berfungsi untuk memahami dan memrediksi perilaku konsumen.
"Sebab penelitian yang berciri prediktif kuat mampu menunjukkan risiko-risiko yang muncul. Sehingga daya preduksi sebuah penelitian menjadi penting," ujarnya.