Bail Out BPJS Rp 4,9 Triliun Cair, Potensi Defisit Masih Menganga

ANTARA FOTO/Rahmad
Petugas pemeriksa Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan (kanan) mewawancarai pekerja tenaga kesehatan saat monitoring kepatuhan pemberi kerja di Lhokseumawe, Aceh, Selasa (14/3). Kegiatan itu untuk memastikan perusahaan (pemberi kerja) mendaftarkan seluruh karyawannya menjadi peserta BPJS Kesehatan, dan hak pekerja atas perusahaannya untuk didaftarkan menjadi Peserta BPJS Kesehatan sesuai amanat undang undang nomor 24 tahun 2011 tentang Jaminan kesehatan bagi tenaga kerja.
25/9/2018, 11.58 WIB

Kementerian Keuangan telah mencairkan bail out sebesar Rp 4,9 triliun untuk menambal defisit Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Namun, dana tersebut masih kurang bila melihat prediksi defisit institusi tersebut yang berkisar Rp 10 – 16 triliun tahun ini.  

Direktur Jenderal Anggaran Askolani menjelaskan, pencairan dilakukan pada Senin (24/9) kemarin. “Sudah dicairkan kepada BPJS,” kata dia kepada katadata.co.id, Senin (24/9). Meski begitu, hingga kini belum ada kepastian dari pemerintah soal kemungkinan bail out berlanjut guna menambal defisit selanjutnya.

Berdasarkan prognosis BPJS Kesehatan, defisit arus kas bisa mencapai Rp 16,58 triliun tahun ini, yang terdiri dari akumulasi defisit tahun lalu Rp 4,4 triliun, ditambah proyeksi defisit tahun ini yang mencapai Rp 12,1 triliun. Di sisi lain, dengan memasukkan bauran kebijakan, Badan Pemeriksa Keuangan Pembangunan (BPKP) memproyeksikan defisit bisa lebih rendah yaitu Rp 10,58 triliun.

(Baca juga: 3 Aturan BPJS Kesehatan untuk Kendalikan Fasilitas yang Tak Perlu)

Bila melihat proyeksi tersebut, maka masih ada potensi defisit sebesar Rp 5,68 triliun sampai 11,58 triliun yang harus ditambal di sisa tahun ini. Dalam rapat gabungan dengan BPJS, pemerintah, dan asosisasi di Komisi IX DPR, pekan lalu, Komisi IX tampak mendukung agar pemerintah menggelontorkan dana bantuan yang lebih besar untuk menutup defisit BPJS Kesehatan.

Harapannya, dengan adanya kepastian dana bantuan yang lebih besar, layanan kesehatan masyarakat tidak terganggu. “Menurut saya angka Rp 10 triliun sampai dengan Rp 11 triliun (prognosis defisit versi BPKP) jika ingin menyelamatkan defisit bukan suatu hal yang besar, karena yang merasakan itu juga ratusan juta masyarakat,” kata Ketua Komisi IX Dede Yusuf.

Adapun dana bail out diambil dari dana cadangan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Ketentuan teknis mengenai tata cara penyediaan, pencairan dan pertanggungjawaban dana tersebut diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 113/PMK.02/2018 yang terbit 10 September lalu.

Di sisi lain, pemerintah sebetulnya sudah menyiapkan beberapa langkah lain guna membiayai defisit BPJS Kesehatan. Rencananya, bakal ada sokongan dana dari Dana Bagi Hasil (DBH) Cukai Hasil Tembakau (CHT) dan pajak rokok.

Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo memperkirakan potensi penerimaan DBH CHT yang bisa dialokasikan untuk program jaminan kesehatan sebesar Rp 1,48 triliun. Sementara itu, pendapatan dari pajak rokok sebesar Rp 1,1 triliun. Dengan demikian, ada potensi sokongan dana sebesar Rp 2,58 triliun.

Namun, sokongan dana tersebut kemungkinan masih kurang. Bila mengacu pada proyeksi defisit versi BPJS Kesehatan, maka potensi kekurangan berkisar Rp 9 triliun, sedangkan bila mengacu pada proyeksi defisit versi BPKP, maka potensi kekurangan masih sekitar Rp 3,1 triliun.

Bila mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 87 Tahun 2013 yang diubah menjadi PP Nomor 84 Tahun 2015, setidaknya ada tiga opsi yang bisa diterapkan bila aset dana jaminan sosial kesehatan negatif, yaitu penyesuaian besaran iuran, suntikan dana dari pemerintah, dan penyesuaian manfaat.

Adapun Presiden Joko Widodo sudah menegaskan tidak ada kenaikan iuran tahun ini, di sisi lain opsi penyesuaian manfaat menuai polemik di masyarakat. Bila melihat kondisi ini, bail out lanjutan tampaknya sulit dihindari.