Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan BI 7 Days Repo Rate di level 4,25% dalam rapat bulanan di awal tahun ini. Tingkat suku bunga dinilai sesuai untuk mendukung pemulihan ekonomi domestik sekaligus mewaspadai beragam risiko.
“Sejumlah risiko tetap perlu diwaspadai, baik yang bersumber dari global terkait normalisasi kebijakan moneter di beberapa negara maju, geopolitik, dan kenaikan harga minyak dunia, maupun dari dalam negeri terutama terkait konsolidasi korporasi yang terus berlanjut, intermediasi perbankan yang belum kuat, dan risiko inflasi,” demikian tertulis dalam siaran pers yang dipublikasikan pada Kamis (18/1).
(Baca juga: Ekonom Ingatkan Jaga Inflasi, Cegah Bunga Acuan Naik Drastis)
Sementara bunga acuan dijangkar, BI menetapkan tiga ketentuan baru terkait pengelolaan likuiditas. Tujuannya, agar bank lebih fleksibel dalam mengelola likuiditas, mendorong penyaluran kredit, dan pendalaman pasar keuangan.
Ketentuan pertama, percepatan implementasi Giro Wajib Minimum (GWM) rata-rata. Dari total GWM rupiah bank umum konvensional yang sebesar 6,5% dari Dana Pihak Ketiga (DPK), porsi GWM rata-rata diperlonggar dari 1,5% menjadi 2% dari DPK. Di sisi lain, dari total GWM valas bank umum konvensional yang sebesar 8% dari DPK, porsi GWM rata-rata mulai diberlakukan sebesar 2% dari DPK.
Sementara itu, khusus untuk bank umum syariah dan Unit Usaha Syariah (UUS), dari total GWM rupiah sebesar 5% dari DPK, porsi GWM rata-rata mulai diberlakukan sebesar 2% dari DPK.
Selain itu, BI juga memberlakukan dua ketentuan lain yang bersifat countercyclical. Pertama, mengubah ketentuan rasio kredit terhadap DPK atau Loan to Funding Ratio (LFR) bagi bank umum konvensional dan rasio pembiayaan terhadap DPK atau Financing to Deposit Ratio (FDR) bagi bank umum syariah dan unit usaha syariah menjadi Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM) dengan target kisaran 80-92%.
Selain itu, komponen kredit/pembiayaan diperluas dengan memasukkan Surat-Surat Berharga (SSB) yang dibeli oleh bank dan memperluas komponen simpanan dengan memasukkan SSB yang diterbitkan oleh bank umum syariah dan unit usaha syariah.
Kedua, mengubah ketentuan GWM sekunder bagi bank umum konvensional menjadi Penyangga Likuiditas Makroprudensial (PLM) dan memberlakukan PLM bagi bank umum syariah dengan besaran 4% dari DPK dengan disertai fleksibilitas sebesar 2% dari DPK dapat direpokan kepada BI dalam kondisi tertentu untuk memenuhi kebutuhan likuiditas bank.
“Kedua instrumen makroprudensial tersebut bersifat countercyclical yang dapat disesuaikan sejalan dengan siklus ekonomi dan keuangan,” demikian tertulis.