Mengulik Ketertarikan Investor pada Bank Digital   

Arief Kamaludin|KATADATA
Ilustrasi Bank Digital
Penulis: Ihya Ulum Aldin
Editor: Lavinda
22/6/2021, 11.27 WIB

"Bukanlah spesies yang paling kuat atau paling cerdas yang mampu bertahan hidup, tapi mereka yang paling mampu beradaptasi terhadap perubahan." – Charles Darwin, pencetus Teori Evolusi.

Kutipan terkenal dari Charles Darwin tersebut memiliki berbagai makna untuk diimplementasikan dalam hidup, termasuk dalam perkembangan dunia bisnis saat ini. Di tengah era kemajuan teknologi yang pesat, pebisnis dihadapkan pada evolusi digital yang masif. Salah satunya, industri perbankan yang sudah bertahan sangat lama pun perlu bertransformasi bisnis ke arah digital menjadi bank digital

Di Indonesia, perkembangan bisnis bank digital mendapat respons dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) selaku otoritas yang mengatur industri perbankan. OJK langsung tancap gas untuk menggodok peraturan terkait keberadaan bank digital, dimana peraturan tersebut ditargetkan bisa meluncur pada semester pertama 2021. Artinya, tinggal menghitung hari saja.

Meski aturan mengenai bank digital belum ada, investor dari berbagai kalangan sudah berbondong-bondong melakukan investasi pada bank yang diproyeksi menjadi bank digital. OJK menyebut, sudah ada 7 bank yang mengajukan izin untuk menjadi bank digital dan ada 5 bank lain yang mengaku sudah menjadi bank digital sejak lama. Pemiliknya berasal dari berbagai macam kalangan, mulai pemain lama di industri perbankan, grup korporasi besar, hingga pebisnis dan konglomerat.

Salah satu bank yang sudah mengajukan izin untuk menjadi bank digital adalah PT Bank Digital BCA, anak usaha PT Bank Central Asia Tbk yang diakuisisi pada November 2019 lalu. Saat mengakuisisi bank yang sebelumnya bernama PT Bank Royal Indonesia ini, BCA menggelontorkan dana hampir Rp 1 triliun untuk mengambil alih seluruh saham.

Bank lain yang mengajukan izin sebagai bank digital adalah PT Bank Harda Internasional Tbk setelah proses akuisisi oleh PT Mega Corpora, milik pengusaha Chairul Tanjung rampung pada 15 Maret 2021. Mega Corpora menggelontorkan dana hingga Rp 460,7 miliar untuk menguasai 3,08 miliar unit saham atau setara 73,71%.

PT Bank Neo Commerce Tbk juga mengajukan izin untuk menjadi bank digital, sejalan dengan kehadiran pemilik baru PT Akulaku Silvrr Indonesia pada 2019. Akulaku yang memiliki 24,98% saham Bank Neo Commerce, merupakan perusahaan teknologi finansial yang dimiliki oleh Ant Financial, perusahaan yang didirikan oleh pengusaha asal Tiongkok Jack Ma. Sehingga, Bank Neo Commerce memiliki hubungan dengan Alibaba Group.

Begitu pula dengan bank yang dinilai OJK mengaku sebagai bank digital, salah satunya PT Bank Jago Tbk. Bankir senior Jerry Ng melalui PT Metamorfosis Ekosistem Indonesia menguasai 29,8% saham Bank Jago. Lalu, pebisnis Patrick Sugito Walujo menguasai saham bank ini melalui Wealth Track Technology Limited sebesar 11,68%.

Tidak hanya itu, PT Aplikasi Karya Anak Bangsa alias Gojek juga memiliki saham Bank Jago melalui PT Dompet Karya Anak Bangsa (Gopay) dengan porsi kepemilikan 21,4%. Investor terbaru yang menyuntikan dana ke Bank Jago adalah GIC Private Limited, perusahaan pengelola dana investasi atau sovereign wealth fund (SWF) terbesar milik Pemerintah Singapura.

Langkah investor menggelontorkan dana demi memiliki bank digital, bukan tanpa alasan. Pemilik Bank Jago, Jerry Ng, pada 2014 lalu sudah melihat industri perbankan merupakan bagian dari digitalisasi. Saat itu, Jerry melakukan riset terkait perbedaan model bisnis bank di dunia, dimana hasilnya ia menemukan ada dua spektrum besar dalam bisnis keuangan secara digital, khususnya bank.

"Satu spektrum didominasi oleh pemain-pemain di Eropa dan Amerika. Spektrum lainnya adalah di Asia," kata Jerry dalam acara Katadata.co.id, Selasa (23/3).

Spektrum Eropa dan Amerika Serikat, fokus pada model bisnis mengenai life centric, sehingga unggul pada tampilan pengguna alias user interface (UI) dan pengalaman pengguna alias user experience (UX). Fokus layanan spektrum ini pada pembayaran dan soal pengeluaran.

Sedangkan, spektrum di Asia, khususnya Tiongkok dan Korea Selatan, bisnis keuangan digital masuk ke dalam suatu ekosistem sehingga pertumbuhannya jauh lebih cepat dengan menawarkan layanan pinjaman, wealth management, termasuk sistem pembayaran.

Bank Central Asia (BCA) melihat adanya peluang pada bank digital di Indonesia pada tahun-tahun mendatang. Bank milik Grup Djarum ini menilai tren penetrasi pengguna internet dan telepon pintar (smartphone) terus meningkat dari tahun ke tahun. Adanya pandemi Covid-19 menjadi momentum yang mempercepat masyarakat untuk melakukan segala aktivitas, termasuk transaksi perbankan secara online atau digital karena keterbatasan mobilisasi.

Executive Vice President Secretariat & Corporate Communication BCA, Hera F. Haryn mengatakan, hal tersebut mendorong pergeseran kebiasaan (behavioral shift) sebagai dampak dari perkembangan teknologi. Sehingga memunculkan permintaan pasar baru untuk segmen digital savvy dengan kebutuhan dan ekspektasi melakukan aktivitas perbankan dengan cara yang berbeda.

Untuk itu, bank dengan nilai kapitalisasi pasar saham terbesar di Indonesia ini pun mengembangkan bisnis bank digital di anak perusahaan yaitu BCA Digital. Anak usaha ini akan berperan sebagai ladang inkubasi bagi BCA untuk mencoba teknologi baru, mencoba bisnis model yang berbeda, juga dengan mengimplementasi cara bekerja yang berbeda.

“Hal ini akan membuka banyak kesempatan bagi BCA Digital untuk menjadi bagian dari pelaku bisnis dengan implementasi tren teknologi yang sangat dinamis,” kata Hera kepada Katadata.co.id.

Bank digital (Katadata)

Direktur Utama Bank Neo Commerce Tjandra Gunawan mengungkapkan, bisnis bank digital ke depan memang sangat menjanjikan karena kebutuhan masyarakat akan bank dengan layanan yang cepat. “Dengan dukungan teknologi yang mutakhir, bank digital memiliki kekuatan untuk memberikan layanan digital end to end kepada masyarakat,” katanya ketika dihubungi Katadata.co.id.

Peluang digitalisasi yang diungkapkan oleh pelaku usaha tersebut memang sejalan dengan jumlah pengguna internet di Indonesia yang mencapai 96,7 juta jiwa berdasarkan hasil survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada periode 2019 hingga triwulan II 2020 lalu.  Jumlah tersebut, meningkat hingga 23,5 juta atau 8,9% dibandingkan pada 2018 lalu.

Berdasarkan wilayahnya, Pulau Jawa masih mendominasi pengguna internet pada periode tersebut. pengguna internet paling banyak berasal dari provinsi Jawa Barat, yakni 35,1 juta orang. Posisi itu diikuti oleh Jawa Tengah dengan 26,5 juta orang. Lalu Jawa Timur dengan jumlah 23,4 juta orang.

Di daerah lainnya, jumlah pengguna internet di Sumatera Utara mencapai 11,7 juta orang dan di Banten mencapai 9,98 juta orang. Adapun, jumlah pengguna internet di Jakarta mencapai 8,9 juta orang. Jumlah pengguna internet berdasarkan provinsinya, bisa dilihat dalam tabel databoks berikut ini:

Peluang soal perkembangan dunia digital juga dipotret oleh OJK, dimana berdasarkan data yang dikumpulkannya, pengguna telepon genggam per Januari 2021 mencapai 345,3 juta. Artinya, persentase pengguna telepon genggam mencapai 125,6% dari jumlah populasi. Selain itu, OJK mencatat rata-rata penduduk Indonesia menggunakan internet selama 8 jam dalam sehari.

Sayangnya, data OJK menunjukkan pengguna telepon pintar dalam memanfaatkan aplikasi perbankan hanya 39,2%. Angka tersebut tergolong kecil, dibandingkan dengan pengguna telepon pintar yang 96,5% memiliki aplikasi percakapan, 96,3% memiliki aplikasi media sosial, dan 96,3% memiliki aplikasi belanja.

Meski pengguna aplikasi perbankan masih relatif sedikit, namun data OJK juga menunjukkan adanya peningkatan nilai transaksi pada perbankan digital setiap tahunnya. Pada 2017, total transaksi digital di perbankan senilai Rp 1.708 triliun. Sedangkan sepanjang 2020, total nilai transaksinya mencapai Rp 2.775 triliun atau mengalami kenaikan hingga 62,47% dibandingkan dengan 2017 lalu.

Peningkatan jumlah transaksi secara digital, semakin masif sepanjang pandemi Covid-19. Gambaran tersebut terlihat dari peningkatan transaksi online pada sejumlah bank. Sebut saja BCA yang sepanjang 2020, transaksi mobile dan internet banking-nya meningkat 50,7% dibandingkan tahun sebelumnya berdasarkan data yang disampaikan OJK.

Transaksi internet banking di PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk sepanjang 2020 meningkat 132,2% secara tahunan, begitupun melalui aplikasi BRIMO yang bahkan melonjak 660,5%. Bank milik negara lainnya, PT Bank Mandiri (Persero) Tbk mencatat kenaikan transaksi di Mandiri Online sebesar 50% sepanjang 2020.

Menurut Peneliti teknologi informasi dari Indonesia ICT Institute Heru Sutadi, kecepatan penetrasi bank digital di pelosok Indonesia sangat tergantung oleh beberapa faktor. Pertama, tergantung dengan pembangunan dan pemerataan infrastruktur internet. “Masalahnya, masih ada 12.500 desa yang belum mendapat layanan internet berkecepatan tinggi,” kata Heru kepada Katadata.co.id.

Faktor lain yang menurutnya harus menjadi perhatian untuk kesuksesan penetrasi layanan bank digital di seluruh wilayah Indonesia adalah literasi dan edukasi layanan perbankan digital. Menurutnya, masih banyak masyarakat Indonesia yang belum tersentuh perbankan sehingga program inklusi digital harus didorong.

“Kerja mengakselerasi layanan perbankan digital merupakan kerja bersama. Harus semua stakeholder saling membahu dan mendukung,” kata Heru menambahkan.

Meski masih ada beberapa pekerjaan rumah yang harus diselesaikan agar akselerasi internet merata di Indonesia, nyatanya tak menghalangi perkembangan bisnis bank digital saat ini. Direktur Riset CORE Piter Abdullah mengatakan, investor tetap tertarik melakukan investasi pada bank digital di Tanah Air karena yang dituju adalah peluang di masa depan dan saat ini persaingan masuk ke bisnis bank digital sudah dimulai.

“Orang di desa-desa memang belum masuk ke digital, tapi nanti semua akan masuk ke digital. Layanan internet saat ini masih terbatas, tapi 5-10 tahun lagi sudah berbeda lagi. Itu yang dikejar oleh mereka (investor),” kata Piter kepada Katadata.co.id.

Piter pengatakan, investor tidak menunggu inklusi keuangan sudah 100%. Bahkan, dengan masifnya industri bank digital, malah mempercepat inklusi keuangan nantinya. “Jadi bukan menunggu inklusi sudah 100% baru digital. Digital ini yang membantu percepatan inklusi keuangan,” katanya.

Ekonom Senior dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Aviliani berpendapat, fenomena ketertarikan investor pada bank digital, akan diikuti oleh seleksi alam. Pasalnya, bank digital harus memiliki ekosistem agar mampu bersaing dengan bank digital lainnya. “Digital bank kalau tidak punya ekosistem berat ya,” kata Aviliani kepada Katadata.co.id.

Aviliani menilai, kegiatan bisnis bank digital mayoritas menggarap sektor ritel, baik sistem pembayaran maupun pemberian pembiayaan alias kredit. Sehingga, bank harus masuk ke dalam ekosistem digital, karena nasabah ritel sasaran bank digital berkecimpung di dalamnya. Untuk itu, Aviliani menilai, tidak mudah menyulap bank kecil menjadi bank digital

“Sekarang saya lihat euforia orang yang membuat bank digital. Namun, pada akhirnya akan seleksi alam. Bank digital itu perlu modal besar, jadi tidak bisa asal bikin bank kecil menjadi bank digital,” kata Aviliani

Jerry Ng pernah menjelaskan alasannya mengakuisisi bank kecil yaitu Bank Artos (kini bernama Bank Jago) untuk dijadikan digital, bahkan bank tersebut tidak memiliki teknologi sama sekali. Menurutnya melakukan perubahan, menambah, atau membangun teknologi di atas teknologi yang sudah ada sebelumnya, jauh lebih susah dibandingkan dengan membangun dari nol.

"Lebih gampang membangun rumah baru dari pada merenovasi. Jadi sebetulnya pemilihan dari pada Bank Artos, merupakan suatu keputusan yang strategis," kata Jerry.

Adapun, pemanfaatan ekosistem oleh bank digital sudah masuk dalam cetak biru PT Bank Harda Internasional Tbk. Bank ini siap bertransformasi menjadi bank digital setelah proses akuisisi oleh PT Mega Corpora, milik pengusaha Chairul Tanjung pada 15 Maret 2021. Mega Corpora memegang 3,08 miliar unit saham Bank Harda atau setara 73,71%.

Fokus bisnis dalam tahap pertama setelah diakuisisi Mega Corpora, Bank Harda akan menggarap komunitas dari CT Corp. Komunitas ini bisa menjadi keunggulan Bank Harda dibanding bank digital lainnya.

CT Corp memiliki banyak segmen bisnis, mulai dari yang terkait dengan bisnis keuangan, media, retail, makanan dan minuman, pariwisata, perhotelan, dan perkebunan. Segmen tersebut sangat potensial untuk digarap Bank Harda.

Pemanfaatan ekosistem yang sudah ada, juga masuk dalam rencana pengembangan layanan digital bank oleh PT Bank MNC Internasional Tbk yang sudah mengantongi izin menjalankan aplikasi Motion. Strategi Bank MNC untuk mencapai target 10 juta nasabah dalam setahun, melalui sinergi dan pemanfaatan basis pengguna (user base) di Grup MNC, terutama di sektor media.

Executive Chairman MNC Group Hary Tanoesoedibjo menilai ekosistem yang dimiliki grup saat ini juga bisa membuat Bank MNC bersaing dengan bank konvensional lain yang juga memiliki layanan digital. Jika tidak memiliki ekosistem tambahan yang bisa disinergikan, perkembangan pengguna layanan digital bank konvensional akan terbatas pada nasabah lama saja.

"Karena perlu upaya promosi yang besar. Promosi itu mahal, Indonesia ini luas dan juga gimmick yang tentunya tidak murah juga," kata Hary dalam paparan publik, Rabu (9/6).

Sementara itu, Bank MNC memiliki ekosistem yang sudah ada di grupnya. Melalui bisnis media massanya, Bank MNC memiliki sarana untuk melakukan promosi yang sangat kuat. Sehingga, untuk membangun kesadaran (awareness), Hary sangat percaya diri bisa dilakukan dengan jauh lebih mudah.

Reporter: Ihya Ulum Aldin