Ekonomi global sedang menghadapi depresi imbas meningkatnya utang publik dan swasta, inflasi yang membandel, kenaikan suku bunga yang agresif, dan sejumlah ancaman besar lainnya. Di mana ketika satu sektor ekonomi bermasalah dengan utang dan profitabilitas, masalah itu dapat berubah menjadi krisis perbankan. 

Krisis perbankan lalu dapat berubah menjadi krisis utang bagi negara. Apalagi pemerintah tidak dapat dengan mudah mengisolasi satu sektor ekonomi dari yang lain karena semuanya saling berhubungan.

Sebut saja masalah yang menimpa bank-bank besar di AS seperti Silicon Valley Bank (SVB), Silvergate Bank dan Signature Bank, serta teranyar bank Swiss Credit Suisse.

Dikutip dari Fortune, Kamis (16/3) CEO Roubini Macro Associates Nouriel Roubini menilai, meskipun regulator AS turun tangan untuk menyelamatkan deposan di Silicon Valley Bank dan Signature Bank, namun krisis perbankan masih jauh dari selesai.

Federal Reserve mengumumkan hari Minggu (12/3) bahwa Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC) akan sepenuhnya melindungi semua deposan, baik yang diasuransikan maupun yang tidak diasuransikan di SVB dan Signature. 

Roubini, yang juga seorang profesor emeritus di Stern School of Business NYU mengatakan, masalah SVB dan Signature dapat menyebar ke bank regional AS yang memiliki basis deposan yang lebih kecil dan sekuritas yang kehilangan nilainya. Dia mencatat bahwa jika bank-bank ini dipaksa untuk menjual kepemilikan mereka pada nilai pasar saat ini karena deposan meminta uang mereka kembali, itu bisa menjadi bencanaseperti yang terjadi pada SVB dan Signature.

"Pelarian bisa dilanjutkan. Krisis belum berakhir,” katanya.

Roubini menambahkan bahwa dia tidak memperkirakan masalah bank regional akan menyebar ke bank besar AS atau sistem keuangan yang lebih luas untuk saat ini.

 

Teranyar saham bank Swiss Credit Suisse merosot lebih dari 20% setelah pemegang saham terbesarnya Saudi National Bank mengatakan tidak akan menyuntikkan lebih banyak uang ke bank. Masalah Credit Suisse mengirim saham bank-bank Eropa turun tajam pada hari Rabu, dengan Indeks Euro Stoxx Bank turun 8,3%.

Persis seperti yang dikhawatirkan Roubini akan terjadi, meskipun dia bersikap malu-malu tentang bank persis yang dia bicarakan.

"Setidaknya ada satu lembaga keuangan di Eropa yang secara historis kekurangan modal, memiliki masalah rekapitalisasi, mungkin memiliki beberapa aset buruk, beberapa eksposur ke sekuritas jangka panjang dan kerugian yang belum direalisasi," katanya kepada Newsweek Senin (13/3).

“Jika sesuatu terjadi dengan institusi ini, itu akan jauh lebih penting secara sistemik. Kita berbicara tentang institusi dengan triliunan dolar aset, bukan US$ 400 miliar seperti SVB,” katanya.

Credit Suisse memang menghadapi masalah jauh sebelum runtuhnya SVB dan Signature. Klien menarik US$ 119 miliar aset dari pusat laba bisnis manajemen kekayaan bank selama kuartal terakhir tahun 2022, dan para eksekutif terpaksa membukukan kerugian US$ 5,5 miliar terkait dengan hedge fund Archegos, yang ambruk tahun lalu. 

Sekarang, setelah investor besar kedua, David Herro dari Harris Associates, menjual sahamnya awal bulan ini, Credit Suisse berada di ambang kegagalan. Dan tidak seperti di AS, regulator mungkin tidak dapat membantu.

“Masalahnya adalah Credit Suisse, menurut standar tertentu, mungkin terlalu besar untuk gagal, tetapi juga terlalu besar untuk diselamatkan. Tidak jelas bahwa sistem Federal memiliki sumber daya yang cukup untuk merekayasa bail out,” kata ekonom tersebut kepada Bloomberg Rabu (15/3).

Dia pun menambahkan bahwa jika Credit Suisse tidak mendapatkan suntikan modal dari suatu tempat, maka hal buruk dapat terjadi.

 

Komentar Roubini muncul setelah CEO Credit Suisse Ulrich Koerner mengatakan bahwa banknya berada dalam situasi yang sangat berbeda dari SVB dan memiliki "standar yang berbeda secara material dan lebih tinggi". Dia juga mencatat bahwa bank melihat arus masuk klien di tengah masalah bank regional AS. Ketua Credit Suisse Axel Lehmann pun mengatakan, kepada Bloomberg Rabu bahwa bank tidak memerlukan bantuan pemerintah untuk terus beroperasi. 

Namun dalam wawancaranya dengan Fortune di bulan November, Roubini memperingatkan bahwa jika kita mendapatkan krisis perbankan dari ledakan bank besar, itu bisa menyebar ke pemerintah dan ekonomi yang lebih luas.

“Stabilitas ekonomi dan memerangi inflasi membutuhkan kenaikan suku bunga kebijakan yang jauh lebih tinggi. Tapi sekarang risiko stabilitas keuangan memerlukan tingkat kebijakan yang lebih rendah. Jadi kita akan mendapat krisis,” kata Roubini dalam tweet Rabu.