Bank Indonesia (BI) kembali menahan suku bunga acuan (BI 7 Day Repo Rate) di level 4,25%. Selain itu, suku bunga fasilitas simpanan (deposit facility) dan fasilitas pinjaman (lending facility) juga dipertahankan masing-masing 3,5% dan 5%. Gubernur BI Agus D.W. Martowardojo menjelaskan, keputusan tersebut dengan mempertimbangkan berbagai risiko global dan domestik.
"BI mewaspadai sejumlah risiko, baik yang berasal dari global terkait rencana pengetatan kebijakan moneter di negara ekonomi maju. Maupun risiko dari domestik antara lain belum kuatnya peningkatan konsumsi rumah tangga dan intermediasi perbankan," kata dia saat Konferensi Pers di Gedung BI, Jakarta, Kamis (16/11).
Adapun kecenderungan kebijakan moneter ketat di Amerika Serikat (AS) berimbas pada menguatnya dolar AS dan melemahnya nilai tukar mata uang dunia termasuk rupiah. BI mencatat, secara rata-rata harian, rupiah melemah 1,63% menjadi Rp13.528 per dolar AS selama Oktober. (Baca juga: Rupiah Tertekan Dolar AS, Ekonom Proyeksi Bunga Acuan Tetap)
Secara rinci, Agus menjelaskan, pelemahan pada Oktober terjadi lantaran pelaku pasar merespons dinamika pencalonan pimpinan bank sentral AS, meningkatnya peluang kenaikan suku bunga, normalisasi kebijakan moneter, serta rencana reformasi pajak di AS.
Menanggapi kondisi tersebut, Agus memastikan, pihaknya akan tetap melakukan langkah-langkah stabilisasi nilai tukar. “BI akan tetap melakukan langkah-langkah stabilisasi nilai tukar sesuai nilai fundamentalnya dengan tetap menjaga bekerjanya mekanisme pasar,” kata Agus.
Adapun dari sisi domestik, BI mencatat masih ada tantangan besar yaitu intermediasi perbankan yang belum kuat, meskipun BI sudah memangkas bunga acuan sebesar 2% sejak tahun lalu.
Pertumbuhan kredit per September 2017 tercatat hanya 7,9% secara tahunan, turun dari bulan sebelumnya 8,3%. Sementara itu, pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) pada September 2017 tercatat 11,7%, meningkat dibandingkan bulan sebelumnya 9,6%.
Dengan perkembangan tersebut, BI memprediksi, untuk keseluruhan tahun 2017, kredit tumbuh lebih rendah dari perkiraan semula yaitu menjadi sekitar 8%, sedangkan DPK tumbuh sekitar 10%. (Baca juga: IMF Pangkas Prediksi Ekonomi Indonesia, Sri Mulyani Lakukan Kajian)