Survei 5 Kota, Pungutan Liar Masih Hambat Investasi di Daerah

Arief Kamaludin|KATADATA
Aktivitas perizjinan investasi BKPM di Jakarta.
Penulis: Asep Wijaya
Editor: Pingit Aria
24/5/2017, 18.17 WIB

Pungutan liar (Pungli) oleh oknum aparat masih menjadi penghambat investasi di daerah. Penyederhanaan izin yang didengungkan oleh pemerintah pusat pun belum menurun ke pemerintah provinsi, kota dan kabupaten.

“Implikasinya, kondisi ini mengganggu efektivitas pelaksanaan paket kebijakan ekonomi Presiden Joko Widodo,” kata Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng di Jakarta, Rabu (24/5).

Kesimpulan itu diperoleh setelah Asian Development Bank (ADB) dan KPPOD melakukan survei di Jakarta, Surabaya, Medan, Balikpapan, dan Makassar. Survei ini menyoroti tiga indikator yang juga digunakan dalam kerangka pikir Ease of Doing Business dari Bank Dunia. Ketiga indikator itu yakni, kemudahan memulai usaha; mendapatkan izin pendirian bangunan, dan pendaftaran hak atas tanah dan bangunan. (Baca juga: BI Harap Peringkat Baru S&P Bisa Kerek Investasi ke Luar Jawa)

Pada aspek pertama yakni, memulai usaha, Endi mencatat, praktik pungutan liar dan lamanya proses penerbitan izin masih menjadi penghambat.

Ia mencontohkan, adanya biaya tidak resmi untuk pengurusan Surat Keterangan Domisili Usaha (SKDU). Selain itu, penerbitan Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) dan Tanda Daftar Perusahaan (TDP) juga perlu waktu lama.

“Dua hal ini melengkapi rentetan permasalahan lain seputar pengurusan izin yang sebenarnya tidak diperlukan lagi,” ungkapnya.

Pada aspek kedua, yaitu mendapatkan izin pendirian bangunan, Endi menyoroti kebutuhan akan legalisir sertifikat tanah untuk pengurusan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) masih terjadi di Medan, Surabaya, dan Jakarta. Hal ini, menurutnya, hanya menambah prosedur pengajuan perizinan yang berimplikasi pada waktu penyelesaian yang lama dan biaya yang tinggi. (BAca juga:  Darmin Nilai Booming Komoditas Sejak 2000 Tak Tekan Ketimpangan)

Sementara pada aspek ketiga, yakni pendaftaran hak atas tanah dan bangunan, survei ADB bersama dengan KPPOD menyoroti tarif Pajak Penghasilan (PPh) dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) di lima kota yang masing-masing masih terpaku di angka 10 persen dari nilai properti. Padahal, Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2016 yang mengatur penurunan tarif PPh sebesar 2,5 persen dari nilai properti sudah terbit.

“Belum lagi soal validasi atas nilai transaksi jual beli saat pendaftaran tanah yang masih terjadi di Makassar (prosesnya 3 hari) dan Medan (7,5 hari),” ungkanya.

Ekonom Manajemen Publik ADB, Rabin Hattari, mengingatkan, perubahan iklim investasi tidak semata berkaitan dengan persoalan regulasi. Penguatan kinerja aparatur di daerah juga penting, lantaran mereka adalah pihak yang langsung memberikan pelayanan kepada masyarakat.

“Pemerintah harus melakukan monitoring dan evaluasi atas regulasi yang sudah ada sehingga ada kepastian akan penerapan regulasi tersebut,” kata Rabin. (Baca juga:  Kepala BKPM Ajak Investor Percaya Jokowi dan Sri Mulyani Soal Pajak)

Staf Ahli Menko Perekonomian Bidang Pembangunan Daerah, Bobby H Rafinus menyatakan, tim gugus tugas monitoring dan evaluasi di bawah Menko Bidang Perekonomian juga sudah berjalan hampir satu tahun. Jadi berbagai pelaksanaan paket kebijakan berada di bawah pantauan tim ini. “Selain tentunya penguatan koordinasi yang terus berjalan,” jelasnya.

Berdasarkan Survei Ease of Doing Business (EoDB) 2017, Indonesia menempati posisi 91 atau delapan tingkat lebih baik dari Filipina (99). Tapi posisi Indonesia jauh di bawah negara tetangganya, Malaysia (23) dan sesama negara ASEAN lain, Thailand (46).

Dari aspek memulai usaha, peringkat Indonesia pada EoDB 2017 meningkat 16 tingkat dari 167 (tahun 2016) menjadi 151. Aspek izin pendirian bangunan, posisi Indonesia menuru tiga tingkat dari 113 (2016) menjadi 116. Sementara untuk aspek pendaftaran hak atas tanah, Indonesia menempati posisi 118 atau naik 5 tingkat dari peringkat 123 di tahun 2016.