Iwan Jaya Azis: BI Rate Harus Turun

Arief Kamaludin|KATADATA
Guru Besar Cornell University dan Universitas Indonesia, Iwan Aziz
Penulis: Muchamad Nafi
20/10/2015, 20.09 WIB

KATADATA - Efek pelemahan ekonomi global masih terasa hingga kini. Salah satunya, daya beli masyarakat melemah. Karena itu, Guru Besar Universitas Cornell Iwan Jaya Azis menyarankan semua kebijakan, termasuk di bidang makro, yang berdampak negatif harus dihindari. Sebaliknya, pemerintah atau bank sentral mesti mendorong daya beli masyarakat, seperti menurunkan tingkat suku bunga acuan Bank Indonesia (BI rate).

"Dengan kondisi sekarang, prioritasnya meningkatkan daya beli masyarakat bawah. Salah satunya adalah menurunkan tingkat bunga," kata Iwan dalam seminar Mendalami Krisis Global dan Kebijakan Ekonomi Nasional di Jakarta, Selasa, 20 Oktober 2015.

Menurut dia, tidaklah tepat bila alasan BI mempertahankan suku bunga karena khawatir dana asing akan keluar. Sebab, faktor utama masuknya modal asing ke Indonesia bukan lantaran daya tarik kondisi dalam negeri. Membanjirnya dana asing lebih dipicu oleh faktor pendorong dari luar negeri. Misalnya, kebijakan bank sentral Amerika Serikat, The Fed, yang menggelontorkan dolar untuk membeli aset-aset berharga (quantitative easing) guna mendongkrak ekonomi mereka.

"Bahwa tingkat bunga akan menarik modal dari luar, itu betul dengan kondisi biasa. Tapi ini kondisi tidak normal," ujarnya. "Arus modal masuk merupakan push factor bukan pull factor." 

Kenapa BI Enggan Pangkas Suku Bunga (Katadata)

Karena itu, Iwan melanjutkan, Indonesia tidak bisa mengatasi hal tersebut dengan kebijakan domestik. Yang bisa dilakukan adalah meminta ketegasan Amerika Serikat melalui forum internasional mengenai kepastian kebijakan normalisasi kebijakan tersebut diambil. Di sisi yang lain, tingkat suku bunga yang tinggi bisa membahayakan perbankan. Pasalnya, perbankan saat ini banyak memegang instrumen finansial seperti obligasi.

Pandangan yang sama disampaikan Wihana Kirana Jaya. Guru Besar Universitas Gadjah Mada ini menyatakan penurunan suku bunga acuan juga akan mendorong laju pasar modal. Selain itu, keputusan mempertahankan bunga tinggi hanya menguntungkan investor asing. "Saya setuju suku bunga rendah. Itu sudah ada best practise di Amerika untuk membiayai pertumbuhan ekonomi," ujar dia.

Sebenarnya, peluang penurunan BI rate semakin terbuka. Pemerintah dan BI mengakui adanya ruang untuk menurunkan suku bunga acua karena didukung membaiknya beberapa indikator ekonomi makro. Misalnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan angka inflasi akan mencapai empat persen pada akhir tahun ini. Sedangkan defisit transaksi berjalan kian membaik.

Badan Pusat Statistik memang mencatat perdagangan pada September 2015 surplus US$ 1,02 miliar. Secara kumulatif, total perdagangan Januari - September 2015 juga mencetak surplus US$ 7,53 miliar. Dengan begitu, defisit neraca transaksi berjalan pada kuartal III ini diharapkan menciut dari posisi kuartal II lalu yang sebesar 2,05 persen.

Atas dasar itulah, Darmin melihat ada ruang untuk menurunkan BI rate. Namun, dia memahami kekhawatiran BI terhadap risiko keluarnya dana asing keluar (capital outflow) kalau menurunkan BI rate saat ini dan membuat mata uang rupiah kembali melemah.

Pada Kamis pekan lalu, Rapat Dewan Gubernur BI memang memutuskan mempertahankan BI rate 7,5 persen. Level ini sudah bertahan sejak Februari 2015. Padahal, rupiah mulai menguat pada awal Oktober lalu dan sejumlah indikator ekonomi membaik.

Reporter: Arnold Sirait