Ramai Bahas Childfree, Ini Daftar Negara dengan Angka Kelahiran Rendah
Keputusan untuk tidak memiliki anak atas kesadaran sendiri atau childfree menjadi topik perbincangan di media sosial akibat pernyataan kontroversial influencer Gita Savitri Devi alias Gitasav. Childfree yang kini banyak di anut masyarakat, terutama di negara maju mulai berdampak pada tingkat kelahiran di beberapa negara.
Berdasarkan catatan The World Factbook Central Intelligence Agency (CIA), ada beberapa negara dengan tingkat kelahiran sangat rendah. Peringkat pertama dicatatkan oleh Saint Pierre and Miquelon, kepulauan di bawah bendera Perancis ini memiliki tingkat kelahiran hanya 6,47 kelahiran per 1.000 penduduk pada 2022.
Monako menempati urutan kedua sebesar 6,66 kelahiran, disusul Andora yang hanya 6,88 kelahiran. Berikut daftar 10 negara dengan kelahiran terendah per 1.000 penduduk.
Lantas bagaimana dampaknya?
Tingkat kelahiran yang rendah dapat memicu masalah sosial dan ekonomi di sebuah negara. Jepang salah satunya yang kini menghadapi masalah akibat tingkat kelahiran rendah selama beberapa dekade. Jepang saat ini memasuki populasi menua.
Rendahnya tingkat kelahiran berarti tak banyak penduduk di usia muda yang produktif. Padahal, perekonomian membutuhkan SDM dalam usia produktif. Hal ini berdampak pada Ekonomi Jepang yang stagnan sejak era 1990-an.
Bagaimana dengan Indonesia?
Angka kelahiran di Indonesia sebenarnya juga menurun. Ini tercermin dari total fertility rate (TFR) dalam hasil long form sensus penduduk 2020 sebesar 2,18 yang turun dari 2,41 pada satu dekade sebelumnya.
TFR yang juga sering dikenali sebagai tingkat kesuburan merupakan indiaktor yang menggambarkan jumlah anak rata-rata yang akan dilahirkan oleh seorang perempuan selama masa reproduksinya. Dengan TFR saat ini, setiap satu ibu akan melahirkan dua anak.
BPS mencatat, penurunan TFR semakin mendekati level replacement di 2,1%. Ini merupakan level di mana satu individu yang meninggal bisa digantikan oleh individu yang lahir, tanpa adanya migrasi. Level TFR saat ini juga semakin baik karena mendekati target pemerintah dalam RPJMN 2024 di 2,1%.
"Ada banyak faktor. Pertama.penanganan program KB yang berkesinambungan. Kedua, kemungkinan karena karakteristik generasi milenial yang memang ingin punya anak relatif sedikit 1-2 anak," kata Deputi Statistik Sosial BPS Ateng Hartono dalam rilis LFSP 2020, Senin (30/1).
Meski demikian, Guru Besar FEB Universitas Indonesia Sri Moertiningsih Adioetomo memperingatkan untuk waspada agar penurunan angka kelahiran ini tidak 'kebablasan'. "Kalau TFR turun terus kebablasan, tentu jumlah yang lahir tidak cukup untuk menggantikan jumlah yang meninggal," ujar Moertiningsih dalam acara yang sama dengan Ateng.
Hal tersebut, menurut dia, dapat menimbulkan risiko bagi perekonomian Indoneia dalam jangka panjang, terutama dari sisi ketersediaan tenaga kerja. Di sisi lain, penurunan angka kesuburan yang diiringi dengan peningkatan angka harapan hidup akan memunculan tantangan baru yakni perubahan pada struktur usia penduduk yang bakal semakin didominasi penduduk usia tua.