Seorang pengepul berpose dengan sisa kain tekstil yang telah terpotong-potong di tempat penampungan miliknya di kawasan Jakarta Utara. Potongan kain tersebut menjadi cerminan dari iklim perilaku kapitalis di industri fast fashion dan budaya konsumtif manusia sehingga menyebabkan sampah over-konsumsi.
Fast fashion lebih kurang diterjemahkan sebagai busana murah dengan waktu edar singkat dengan model berlimpah yang mengikuti tren terbaru.
Menurut penulis buku Overdressed: The Shockingly High Cost of Cheap Fashion, Elizabeth Cline, keterjangkauan harga dan cepatnya produksi model busana terbaru membuat pergeseran nilai guna dari pakaian menjadi menomorsatukan nilai tanda sebagai bentuk identitas sosial.
Oleh karena itu, ketika pengguna bosan, mereka tidak merasa sayang membuang isi lemarinya -meski belum lama menggunakannya- untuk diisi dengan koleksi terbaru yang dikeluarkan oleh retailer fast fashion.
Disalin dari website zerowaste.id, fast fashion merupakan istilah yang digunakan oleh industri tekstil yang memiliki berbagai model fashion yang silih berganti dalam waktu yang sangat singkat, serta menggunakan bahan baku yang berkualitas buruk sehingga tidak tahan lama.
Produsen fast fashion dapat menghasilkan hingga 42 model fashion dalam setahun. Dampaknya, bisa terjadi kelebihan produksi yang berujung pada pembakaran stok pakaian tidak terjual, seperti yang dilakukan oleh retailer H&M pada 2017 -sekitar 19 ton atau setara 50.000 jeans- dan stok Burberry pada 2018 senilai US$ 38 juta.
Dana Thomas dalam bukunya “Fashionopolis” mengatakan beberapa merek fast fashion mungkin tidak mendesain produknya untuk bertahan lama, karena lebih dari 60 persen serat kain yang dibuat saat ini terbuat dari bahan sintetik bukan benang sehingga akan lebih murah memproduksi baju baru daripada mendaur ulang benang dari baju bekas. Dan ketika pakaian itu berakhir di tempat pembuangan akhir (TPA), pakaian itu akan sulit terurai.
Sementara itu, laporan Ellen McArthur Foundation mengatakan industri tekstil saat ini masih menggunakan cara usang yaitu dengan model ekonomi linier (buat-gunakan-buang). Cara itu menghasilkan timbunan limbah dan polusi dari bisnis busana sedunia yang diperkirakan mencapai nilai US$500 miliar per tahun.
Hal tersebut dapat menjadi ancaman serius bagi lingkungan. Untuk itu masyarakat diharap dapat mengubah sifat konsumtifnya dalam berbusana sementara pemerintah harus mendesain ulang model industri ekonomi tekstil, berdasarkan prinsip ekonomi sirkular yang ramah lingkungan.