Waktu itu, tahun baru Imlek 2021 akan tiba. Para pekerja perempuan sibuk menyelesaikan batang demi batang hio. Harum mewangi khas Imlek menyeruak hingga sudut-sudut ruang industri rumah tangga milik Koh Ase. Dengan kaki telanjang, sedikit kotor, mereka bergantian menapaki tanah yang masih basah sisa hujan semalam.
Semua pekerja memiliki tugas masing-masing. Ada yang membuat adonan, mencetak, membungkus, dan yang memotong hio agar sama panjang. Curah hujan yang tinggi membuat mereka kewalahan untuk menjemur hio-hio itu, perlengkapan doa khas Tionghoa.
“Hei, mau difoto masuk koran, dandan yang cantik” teriak Iim, salah satu pekerja perempuan. Suara tawa cempreng meremajakan bangunan yang terbuat dari bambu tempat mereka bekerja. Mayoritas pekerja di tempat Koh Ase adalah perempuan yang bukan keturunan Tionghoa.
Karena itu suasana kebinekaan tergambar di sana. Koh Ase mempunyai motivasi menjaga kerukunan antarsuku dan agama, tidak membedakan satu sama lain. Ada yang sudah tiga tahun bekerja, bahkan ada yang lebih dari itu. “Siapa saja yang mau bekerja, saya terima, tidak membedakan dari suku dan agama,” ujar Koh Ase.
Tahun ini Imlek tidak terasa meriah seperti tahun-tahun sebelumnya. Permintaan hio yang dijual Rp 2.000 juga menurun 20 sampai 30 persen. “Semoga pandemi cepat berlalu."