KATADATA - Mahkamah Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat menghentikan kasus dugaan pelanggaran kode etik Ketua DPR Setya Novanto, Rabu malam, 16 Desember 2015. Dasarnya, Setya Novanto mengirim surat pengunduran diri dari posisi pemimpin lembaga legislatif tersebut. Padahal, 15 majelis MKD sudah menyatakan politikus Partai Golkar itu melanggar etik: sembilan menyatakan pelanggaran sedang dan enam pelanggaran berat.

Terlepas dari keputusan MKD tersebut, dari sisi hukum, kasus yang bermula dari laporan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said atas pertemuan Setya dengan Muhamad Riza Chalid dan Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsuddin itu masih menyisakan sejumlah pertanyaan. Misalnya, apakah Maroef dibenarkan merekam percakapan dengan dua lawan bicaranya tersebut.

Berikut ini pandangan ahli hukum tata negara dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Bivitri Susanti terkait kasus yang menyerat Setya Novanto ini.

Apakah proses hukum harus menunggu proses Mahkamah Kehormatan DPR?

Tidak. Proses hukum dan proses di MKD adalah dua hal yang berbeda sehingga yang satu tidak perlu menunggu yang lain. MKD memeriksa pelanggaran etik anggota/pimpinan DPR sedangkan proses hukum memeriksa dugaan tindak pidana.

Penegak hukum -Kejaksaan/Kepolisian/KPK- tidak tergantung pada hasil MKD karena MKD hanya akan menyatakan apakah perilaku Setya Novanto patut atau tidak patut dilakukan. Putusan MKD pun bukan bukti utama bagi penegak hukum karena penegak hukum harus mencari fakta, petunjuk-petunjuk adanya tindak pidana.

Ada bedanya proses etik di MKD dengan proses hukum?

MKD memeriksa pelanggaran etik anggota/pimpinan DPR, yaitu apakah anggota/pimpinan DPR sudah melakukan hal yang tidak patut. Sementara itu, proses hukum memeriksa apakah anggota/pimpinan DPR sudah bertindak salah menurut hukum atau tidak.

Pertanyaan yang dipecahkan cukup sederhana: apakah tindakan ketua DPR bertemu dengan pengusaha dengan ditemani oleh pengusaha lain untuk membicarakan hal di luar tugas dan fungsinya adalah pantas atau tidak pantas?

Lalu bagaimana soal pembicaraan sahamnya?

Konten pembicaran berguna untuk menentukan berat-ringannya sanksi secara etik. Sementara itu, kebenaran mengenai pengaturan saham dan proyek seharusnya diusut melalui proses hukum. Proses pemeriksaan etik cukup menjawab apakah peristiwa pertemuan terjadi? Apakah pembicaraan mengenai saham dan proyek itu dilakukan? Dan apakah itu pantas atau tidak pantas?

Dalam pengusutan dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung, apakah KPK dapat mengambil peran?

Kejaksaan Agung sudah memulai proses penyelidikan, artinya proses mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga tindak pidana. Menurut Undang-Undanmg KPK, KPK dibekali kewenangan koordinasi dan supervisi mulai dari tahapan penyelidikan. Bahkan apabila sudah masuk dalam tahap penyidikan, KPK dapat mengambil alih penanganan kasus tersebut.

Pengambilalihan tersebut dapat dilakukan dengan kondisi tertentu seperti: kasus tidak ditangani atau dilakukan secara berlarut-larut tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan, penanganan dilakukan untuk melindungi pelaku, adanya campur tangan eksekutif, yudikatif, dan legislatif, dan seterusnya.

Apakah benar tindakan merekam pembicaraan itu sama dengan penyadapan?

Penyadapan maupun intersepsi berbeda dengan merekam pembicaraan. Secara hukum, penyadapan maupun intersepsi adalah kegiatan untuk mendengar, menghambat, membelokkan pembicaraan yang dilakukan melalui transmisi atau jaringan elektronik.

Misalnya: A sedang menelpon B, lalu pembicaraan mereka disadap melalui alat tertentu yang ditempel di peralatan komunikasi masing-masing. Sedangkan intersepsi adalah: A sedang menelpon B, lalu saluran komunikasi mereka dipotong (intercept) untuk didengarkan.

Tindakan Maroef Sjamsuddin bukanlah penyadapan karena ia tidak mengambil pembicaraan di tengah-tengah komunikasi orang lain melalui jaringan elektronik, melainkan hanya merekam secara langsung pembicaraannya sendiri dengan orang lain dengan menggunakan alat perekam biasa.

Lalu apakah perbuatan merekam pembicaraan langsung itu ilegal?

Hukum Indonesia hanya mengatur mengenai penyadapan maupun intersepsi. Prinsipnya, merekam pembicaraan tidak dilarang, baik oleh penegak hukum maupun oleh warga negara biasa untuk berbagai kepentingan. Memang bisa saja ada pihak yang keberatan karena hasil rekaman disebarluaskan tetapi aktivitas merekamnya sendiri bukan perbuatan illegal.

Apakah hasil rekaman itu dapat menjadi bukti?

Ya, untuk kepentingan proses hukum, rekaman itu dapat diajukan sebagai barang bukti oleh jaksa penuntut umum. Kemudian pengadilan akan menentukan apakah bukti rekaman tersebut sah secara hukum atau tidak.

Sementara itu, keberadaan rekaman dalam pemeriksaan etik oleh MKD hanya berfungsi sebagai pengkonfirmasi mengenai telah terjadi atau tidaknya pertemuan dan pembicaraan yang dilakukan Setya Novanto. Tidak perlu penetapan secara hukum untuk menjadikan bukti tersebut sah atau tidak.

Berarti tidak tepat apabila MKD dan pihak lain mempersoalkan keabsahan rekaman itu?

Sama sekali tidak tepat. Proses pemeriksaan etik cukup menentukan, apakah telah terjadi pertemuan itu? Apakah pertemuan itu membicarakan apa yang dimuat dalam rekaman? Dan, apakah pertemuan dan pembicaraan itu pantas?

Tanpa mempersoalkan rekaman, dengan pengakuan Setya Novanto sendiri di media massa pada awal kasus ini terjadi, sebenarnya sudah cukup menunjukkan bahwa pertemuan yang tidak patut itu sudah terjadi.

Bagaimana soal pelaporan balik terhadap Sudirman Said dengan pasal penghinaan/pencemaran nama baik?

Sama sekali tidak tepat apabila Sudirman Said dilaporkan balik dengan pasal penghinaan/pencemaran nama baik. Penghinaan/pencemaran nama baik mensyaratkan unsur tuduhan untuk diketahui secara umum. Sementara itu, rekaman dan transkrip rekaman terlebih dahulu tersebar luas sebelum Sudirman Said melapor ke MKD.

Selain itu, dalam Pasal 310 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, tidak merupakan penghinaan apabila dilakukan untuk kepentingan umum atau karena terpaksa membela diri.

Apakah pemeriksaan terhadap Setya Novanto oleh penegak hukum memerlukan izin presiden?

Dalam Pasal 245 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, pemeriksaan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana dapat dilakukan setelah memperoleh persetujuan dari MKD.

Mahkamah Konstitusi melalui putusan Nomor 76/PUU-XI/2014 kemudian menyatakan persetujuan MKD diganti menjadi Presiden. Hanya saja, persetujuan Presiden tidak diperlukan apabila perkara yang akan diusut salah satunya adalah tindak pidana khusus (salah satunya dapat diartikan korupsi). Oleh karena itu, pengusutan dugaan tindak pidana korupsi terhadap Setya Novanto tidak memerlukan persetujuan dari Presiden.

Muchamad Nafi
Redaktur Eksekutif

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.