Indonesia saat ini memiliki sekitar 26.000 fasilitas kesehatan, termasuk Puskesmas, klinik, dan rumah sakit baik milik swasta maupun pemerintah. Sayangnya, puluhan ribu faskes tersebut belum terintegrasi. Rekam medis digital belum jamak digunakan sehingga pasien seringkali kesulitan saat harus berpindah klinik atau rumah sakit.
Startup Klinik Pintar melihat paintpoint itu sebagai peluang. Ketika didirikan pada 2018 silam, perusahaan sebetulnya fokus menggarap segmen software as a service untuk rumah sakit. Namun, model bisnis ini rupanya kurang berjalan baik. Para founder pun akhirnya mengubah arah perusahaan dan mulai fokus mengembangkan digitalisasi klinik.
“Kami ingin klinik-klinik ini terintegrasi secara digital dan berkembang secara bisnis,” kata CEO Klinik Pintar Harya Bimo, ketika berbincang dengan Katadata.
Pada November 2021, Klinik Pintar akhirnya memperoleh pendanaan Seri A senilai Rp 58 miliar. Bimo menuturkan ia akan menggunakan dana ini untuk mengembangkan tim dan mengintegrasikan lebih banyak klinik ke sistem perusahaan.
Kepada Katadata, Harya Bimo banyak bercerita soal tantangan membangun Klinik Pintar, juga bagaimana perusahaan akan mendukung ambisi Pemerintah mengintegrasikan faskes di seluruh Indonesia.
Berikut petikan wawancaranya:
Apa yang mendorong Anda mendirikan Klinik Pintar?
Jadi saya tuh dulu memang kan bidangnya IT. Klinik Pintar ini perusahaan ketiga saya. Perusahaan pertama, saya membangun teknologi untuk perusahaan lain. Jadi ada product development, user experience, digital marketing, dan seterusnya. Perusahaan kedua saya itu co-founder dari satu aplikasi namanya Qasir.
Saya akhirnya keluar dari aplikasi itu dan membuat Klinik Pintar karena saya punya misi pribadi di sektor kesehatan. Sebelum ibu saya meninggal, dia terkena tumor otak dan diabetes selama 8-10 tahun. Itu di tempat tidur enggak bisa kemana-mana dan kondisinya buta pada masa itu. Jadi kita kalau ke rumah sakit itu ribet banget karena harus pakai ambulans. Dua hari sebelumnya sudah harus siap-siap.
Yang paling ribet bagi kami itu adalah rekam medis. Jadi dulu kalau ke dokter harus bawa seluruh hasil rontgen. Mungkin ada 15 rontgen yang harus dibawa termasuk rekam medis yang ditulis supaya dokter bisa memeriksa dengan baik.
Ada satu momen saat ibu saya di rawat, dokternya menyerah. Ketika saya mau bikin aplikasi second opinion di rumah sakit lain, mencari dokternya susah karena rekam medisnya enggak dilepas sama rumah sakit.
Akhirnya kita sekeluarga harus ambil keputusan yang sangat besar. Pada saat itu berisiko ketika kita pindahkan bisa jadi ada masalah. Akhirnya kita pindahkan ke salah satu rumah sakit di luar Kota Jakarta dan bisa dioperasi. Ibu kami masih bisa bersama dengan kami 2-3 tahun setelah itu.
Dia akhirnya meninggal karna memang sudah takdir Tuhan, tapi itu yang menyebabkan saya punya misi pribadi buat menghubungkan data kesehatan. Kenapa sih kita enggak pakai rekam medis digital dan engak bisa terkoneksi dari satu rumah sakit ke rumah sakit lain. Itu sih pesan yang ingin saya sebarkan ke semua orang, bahwa kalau kita ini di Indonesia sudah terhubung, ini makin banyak manfaatnya buat pasien.
Jadi sebetulnya model bisnis Klinik Pintar seperti apa dan painpoint apa yang hendak disasar?
Jadi painpoint-nya sebenarnya kan di Indonesia ini kita melihat banyak anggaran kesehatan itu larinya ke kuratif, buat menyembuhkan orang yang sakit. Nah, Klinik Pintar sudah menyadari ini sejak awal, jadi kita memang fokus di kesehatan primer. Kita lihat sekarang ada tren di seluruh dunia, negara-negara maju itu justru kesehatan primernya kuat, karena dari kesehatan primer, di klinik dan puskesmas di Indonesia bisa mencegah dulu jangan sampai orang sakit diabetes, jangan sampai orang sakit jantung. Jadi akhirnya secara overall, budget kesehatan Indonesia bisa terkontrol.
Selain itu, kalau kita ke kota-kota tier 2 dan tier 3 agak susah ke rumah sakit. Jadi klinik dan puskesmas jauh bisa lebih diakses oleh masyarakat dibanding ke rumah sakit. Selain juga lebih terjangkau. Ternyata di klinik itu bisa 145 dignosa ditangani tanpa harus dirujuk ke rumah sakit.
Sebenarnya sistem jaminan kesehatan nasional itu kan enggak boleh langsung ke spesialis. Jadi kami merasa Indonesia perlu memperkuat sistem kesehatan primernya sehingga ke depan Indonesia juga bisa lebih maju.
Lalu kalau misalnya kita lihat ke klinik-klinik, nah ini paintpoint-nya klinik ya. Jadi klinik itu benar-benar terfragmentasi banget. Fasilitasnya kadang-kadang kumuh, orang jadi malas ke klinik. Lagipula masih belum terdigitalisasi, jadi semuanya masih manual mulai dari pendaftaran, penjadwalan dokter, rekam medis, transaksi, semuanya manual.
Nah ini yang Klinik Pintar pertama kali mencoba untuk mendigitalisasi klinik dulu, jadi kita punya sistem Klinik Operating System (OS) yang bisa dipakai oleh klinik-klinik di seluruh Indonesia. Setelah mereka pakai sistem kami, mereka bisa mendigitalisasi, kami bantu operasional kliniknya. Lalu kita kembangkan bisnis kliniknya bersama dengan si owner klinik.
Jadi juga sampai menyentuh ke aspek bisnisnya?
Iya, karena banyak pemilik klinik masih bingung mengembangkan bisnisnya. Kebanyakan pemilik ini adalah dokter-dokter, jadi dokter berpraktik tapi banyak yang tidak bisa mengembangkan kliniknya.
Jadi itu business modelnya. Tentunya kalau klinik berkembang ya kita juga dapat revenue. Jadi kita ada revenue sharing. Ada juga beberapa klinik yang kita operasikan bersama dengan model profit sharing.
Anda sempat menyebut soal digitalisasi klinik, bagaimana modelnya?
Digitalisasi klinik itu jadi mulai dari pasien booking lewat sistem kita. Kita memang enggak menyediakan aplikasi khusus di-download karena di daerah orang enggak pakai aplikasi. Mereka banyak pakai WhatsApp, jadi kita sistem booking-nya pakai WhatsApp. Habis itu datang ke klinik, mereka tinggal bilang mau pakai BPJS atau private insurance lain kalau ada, atau bayar tunai.
Dari situ mereka udah bisa antre dan sistem antrean itu diatur by system. Jadi setiap 15 menit itu disiplin ya. Orang nunggunya juga enggak lama. Lalu masuk ketemu dokternya, itu dokternya masuk ke rekam medis digital, ke sistem. Jadi enggak pakai ambil berkasnya lagi. Habis itu dapat obat, kalau di Klinik Pintar itu bayar sudah dapat obat generik. Jadi ke farmasi juga pakai digital, lalu pulang.
Kalau mau konsultasi lagi enggak bisa ke klinik, bisa telekonsultasi pakai video. Begitu kira-kira digitalisasinya.
Sistem semacam ini sudah banyak diterapkan di rumah sakit besar, tetapi belum jamak di klinik ya?
Betul.
Pengalaman selama ini mengembangkan bisnis klinik, sebetulnya apa sih tantangannya?
Pertama adalah business development. Kebanyakan kllinik-klinik enggak punya tim business development, sales, dan marketing. Jadi layanan mereka itu-itu saja.
Jadi kita akan bantu mereka mengembangkan layanan baru. Kita di sini yang akan membangun layanannya, lalu kita juga melatih dokter dan tenaga medis untuk bisa memberikan layanan tersebut.
Salah satunya yang kita lakukan pertama adalah vaksinasi anak di Indonesia. Dokter-dokter sebenarnya bisa saja melaksanakan vaksinasi tapi mereka enggak punya fasilitasnya, enggak tahu cara ngembanginnya.
Jadi kita kasih kulkas vaksin dari kita dan kita juga melatih dokternya, lalu kita revenue sharing. Salah satu contoh, kita juga ada pelayanan Ibu Anak, jadi dokternya kita latih dari spesialis kita. Lalu kita berikan alat di klinik buat bisa memeriksa kehamilan misalnya. Jadi hal seperti itu yang kita bantu kembangin.
Bagian kedua adalah marketingnya, salesnya, kita kerjasama sama perusahaan-perusahaan, terutama di sekitar lokasi klinik. Tercatat 2021 kemarin itu rata-rata anggota dari jaringan Klinik Pintar itu bisa sampai pendapatannya bisa naik 22%, sangat terbantu dengan keberadaan kerjasama dengan kita.
Klinik Pintar sudah melakukan MoU dengan Kemenkes, itu seperti apa bentuknya?
Ini Kemenkes memang lagi keren-kerennya. Jadi mereka punya misi untuk mendigitalisasi seluruh fasilitas kesehatan di Indonesia. Targetnya pada 2024 seluruh faskes itu harus sudah 100% digital, terutama untuk rekam medis.
Kemenkes baru launching sistem namanya SATUSEHAT, di mana data kesehatan Indonesia ini harus terkoneksi ke sana. Nah, karena salah satu tantangannya adalah digitalisasi klini, jadi mereka butuh partner seperti Klinik Pintar. Jadi kliniknya terdigitalisasi dalam platformnya Klinik Pintar dan platform Klinik Pintar connect ke SATUSEHAT.
Nanti pasien yang datang ke klinik rekam medisnya nyambung ke SATUSEHAT. Setelah itu kalau pasien datang ke rumah sakit besar di Jakarta misalnya, rekam medisnya sudah bisa diakses. Jadi histori data kesehatan rakyat Indonesia ini semuanya akan menyatu di SATUSEHAT. Kita terpilih menjadi 31 perusahaan pertama yang bisa terkoneksi ke SATUSEHAT. Jadi kita senang banget sih bisa kepilih.
Itu untuk semua faskes termasuk milik swasta dan pemerintah?
Semua, dan itu wajib. Misinya Klinik Pintar dari awal namanya kesehatan terhubung. Baru tahun ini, gayung bersambut pemerintah juga punya program yang sama.
Berapa banyak faskes yang ditargetkan akan terhubung ke sistem SATUSEHAT?
Faskes itu secara total itu ada sekitar 25.000-26.000 unit. Rumah sakit ada 3.000, klinik ada 14.000, lalu puskesmas itu ada 9.000, gitu. Sangat ambisius, dan ini harus dibanggakan semua orang.
Klinik-klinik di daerah biasanya terkendala akses internet dan infrastruktur, bagaimana Anda melihatnya?
Kami memang punya pengalaman di situ. Klinik anggota kami ada di Aceh dan Papua, beberapa di kota tier 2 dan 3. Jadi koneksi internet memang harus ada, cuma itu bukan tantangan utama. Tantangan utama itu justru ada di manusianya. Maksudnya bagaimana setelah transformasi itu dokter dan tenaga medis mau pakai secara disiplin. Itu tantangan terbesarnya.
Di Jawa atau bahkan di Jakarta, yang pakai rekam medis secara disiplin itu bisa dihitung dengan jari. Makanya rasio rekam medis dan pasien itu tidak 100% biasanya, baik di rumah sakit-rumah sakit apalagi di klinik. Jadi tantangannya adalah edukasi, verifikasi, bagaimana caranya kita menginsentif tenaga medis untuk pindah, karena dia udah nyaman.
Apakah ada kerjasama misalnya dengan IDI untuk mewajibkan dokter pakai rekam medis digital?
Saya dengar memang akan ada reformasi kurikulum karena beberapa alasan. Pertama, Indonesia masih kekurangan dokter. Kedua, transformasi digital itu secara formal belum ada di kurikulum kodokteran. Ketiga, Undang-Undang rekam medis digital juga belum ada. Saya dengar KMK [Keputusan Menteri Kesehatan]-nya sudah tinggal ditandatangani dan sebentar lagi akan keluar.
Sampai saat ini berapa jumlah klinik yang ada di jaringan Klinik Pintar?
Ada 182, itu per semester I 2022. Kita menuju ke 200 sih, semoga di semester 2 ini.
Apakah klinik-klinik itu ada tingkatannya?
Kita ada 3 tingkatan: virtua, prima, dan paripurna. Virtua itu pakai sistem kita doang. Misalnya rekam medis. Prima itu ketika dia sudah ada kerjasama layanan tadi ditambah ada pengembangan bisnis dan bentuknya revenue sharing. Paripurna itu yang profit sharing, jadi kliniknya kita take over, kita operasikan. Jadi kita bilangnya join operation lah.
Nah biasanya kalau yang paripurna itu kita udah masuk juga investasi ke kliniknya gitu. Jadi biasanya kita renovasi, bikin fasilitas yang lebih nyaman, ada AC-nya, ada wifinya. Itu juga kelihatannya di luar kayak franchise padahal join operation.
Ini mirip jaringan hotel ya?
Persis
Kalau paripurna berarti ada pembagian saham?
Enggak, kita masuk lewat klinik itu join operation selama 5 tahun. Tentunya ada return of investment (ROI) dari sisi capex dan opex di mana kita profit sharing dari penghasilan klinik. Kebanyakan yang sudah kita lakukan dalam kurang dari 2 tahun sudah ROI dari sisi kita ya. Jadi tinggal bagi hasil sama kliniknya aja gitu
Klinik Pintar baru mendapatkan pendanaan Rp 58 miliar akhir tahun lalu, itu dipakai untuk apa saja?
Menambah tim. Tadinya kita cuma 20 orang, sekarang kita udah hampir 100 supaya bisa lebih melayani banyak klinik ya. Yang kedua kita juga mengembangkan kita punya Klinik Operating System dan supaya bisa terkoneksi misalnya dengan asuransi.
Kita juga ada layanan untuk supply chain, jadi kita men-supply kebutuhan-kebutuhan klinik kayak obat-obatan, vaksin, dan alat kesehatan. Klinik-klinik bisa beli lewat Klinik Pintar, itu kita terkoneksi melalui Klinik OS tadi sehingga mereka bisa dengan mudah beli obat-obatan tadi. Itu sih salah satu pengembangannya juga. Dan juga buat bangun lebih banyak klinik, sebenarnya.
Kalau untuk putaran selanjutnya ada rencana, Mas?
Kemarin seri A, jadi kita itu sebenernya tahun depan baru akan melakukan fundraising lagi. Cuma bisa jadi di kuartal tiga atau empat ini banyak yang tertarik dengan model Klinik Pintar. Jadi ada beberapa investor yang memang tertarik dengan model Klinik Pintar dan kami berdiskusi. Kalau kita ingin bisa mempercepat digitalisasi klinik ya, jadi kemunginan di sini akan ada fundraising lanjutan.
Ada bocoran kira-kira berapa dana yang diincar?
Kalau ini enggak bisa disclose. Klinik Pintar sekarang kerjasama sama existing klinik kan. Nah ternyata kebutuhan rasio dokter dan masyarakat Indonesia masih jauh. Dan banyak juga lokasi dan area yang butuh klinik dan belum ada klinik disitu. Jadi kita merencanakan di semester dua ini kita bikin klinik dari 0, jadi bener-bener dari baru. Itu sih mungin perkembangan di semester dua yang akan kita lakukan.
Itu model bisnis yang belum pernah dilakukan ya, membuat klinik? Biasanya join operation?
Iya, sementara kita di kuartal dua kemarin sudah memvalidasi. Jadi ada banyak pihak yang merasa bahwa Klinik Pintar ini kayak franchise, jadi mereka approach kita ingin bikin klinik-klinik. Tadinya kita enggak gubris ya, tapi lama kelamaan kita lihat juga menarik ya. Gimana kalau kita telusuri. Kita sudah validasi dan kita sudah ada satu klinik di kuartal dua kemarin yang memang kita bangun from the ground up dan kita lihat it works, ya udah kita mau bikin beberapa lagi.
Di mana lokasinya?
Kami sekarang lagi fokus buat ke perusahaan-perusahaan corporate healthcare, jadi kita fokus lebih ke commercial dan industrial area.
Berarti lebih menyasar ke korporasi, klinik-klinik di perkantoran gitu, ya?
Sebenarnya yang kami lebih sasar itu blue collar ya, white collar kan kita punya virtual clinic. Biasanya kalau white collar itu pakai telekonsultasi, blue collar itu benar-benar butuh konsultasi.
Dalam lima tahun ke depan kira-kira apa yang akan dilakukan Klinik Pintar? Mau IPO mungkin?
Saya sebenarnya tidak pernah mikirin exit-nya. Lebih mikir kita bakal tetap jalani Klinik Pintar kalau dikasih umur sama Tuhan puluhan tahun lagi. Cuma dalam 5 tahun, I would say we want to be the biggest primary healthcare player in Indonesia.
Sekarang kan paling besar itu Kimia Farma dengan 400 unit di seluruh Indonesia dan itu BUMN. Kami menargetkan 1.000 klinik dalam waktu berapa waktu ke depan, sebagian kita miliki, sebagian kita kerjasama dan tentunya kita mendigitalisasi lebih banyak lagi. Jadi yang pakai sistem kita lebih banyak lagi klinik lain.
Dengan seperti itu, kita bisa memperkuat primer healthcare di Indonesia karena klinik-klinik kita itu tadi kan sudah terdigitalisasi. Jadi ada beberapa klinik yang kita investasi laboratorium juga bersama pakar kita. Jadi layanannnya lengkap. Harapannya nanti daripada ke rumah sakit, bisa ke klinik. Kita juga meningkatkan layanan preventif, ini yang penting. Klinik Pintar ingin jadi yang terdepan dalam meningkatkan layanan preventif supaya jangan sakit dulu. Justru kita menjaga orang sehat itu sehat.
Apakah akan fokus di klinik saja atau merambah ke sektor apotek misalnya?
Enggak. Paling kita ada instalasi farmasi dalam klink yang kita kelola, itu udah pasti ada. Tapi untuk apotek saya serahkan ke teman-teman healthcare yang lain. Banyak sekali soalnya yang ingin disrupsi apotek-apotek dan pengadaan obat-obatan.