Kumpulan Materi Pesantren Kilat dan Pembahasan Lengkapnya

Unsplash
Ilustrasi, proses pembelajaran.
Penulis: Ghina Aulia
Editor: Sorta
9/3/2023, 16.25 WIB

Pesantren kilat merupakan kegiatan yang biasa diadakan di awal bulan puasa. Biasanya diselenggarakan oleh sekolah atau instansi pendidikan sejenisnya.

Kegiatan tersebut bertujuan untuk mendalami ilmu agama Islam. Seperti proses pembelajaran biasanya, materi bisa disampaikan oleh guru. Namun, juga ada yang mengadakan tausiyah yang disampaikan oleh ustadz.

Tak hanya itu, pesantren kilat juga bisa diisi dengan membaca Al Quran, salat berjamaah, menghafal surat-surat pendek dan kegiatan keagamaan lainnya.

Terkait dengan hal itu, kali ini kami akan memberikan beberapa referensi materi pesantren kilat yang bisa dijadikan referensi. Dilansir dari situs resmi Nahdlatul Ulama, berikut daftarnya.

Materi Pesantren Kilat: Menghargai Perbedaan Rakaat Tarawih

Sumber: NU Online

Alhamdulillah akhirnya kita berkesempatan menjumpai Ramadan 1443 H dengan penuh kesehatan bersamaan redanya pandemi global dua tahunan ini. Ramadan yang kita nanti-nanti telah tiba sesuai doa yang kita panjatkan: اَللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي رَجَبٍ وَشَعْبَانَ وَبَلِّغْنَا رَمَضَانَ

Artinya, “Ya Allah, berkahilah kami di dalam bulan Rajab dan Sya’ban; dan sampaikanlah kami pada bulan Ramadhan.” Bulan mulia yang dinanti telah tiba, puasa, tarawih dan witir telah kita mulai. Semoga ibadah kita di sepanjang bulan Ramadhan benar-benar diterima disisi Allah. Amin allahumma amin.

Selain memperbanyak amal ibadah di sepanjang bulan Ramadhan, yang sangat penting kita jaga adalah perilaku kita. Jangan sampai kita melakukan perilaku-perilaku bodoh yang bertentangan dengan spirit puasa, yaitu imsak atau menahan diri dari berbagai keharaman, meskipun kadang motifnya berangkat dari hal-hal yang kelihatannya agamis.

Misalnya, orang saking semangat tarawih hingga mempermasalahkan orang lain yang sama-sama tarawih dan hanya beda jumlah rakaatnya. Yang satu shalat tarawih 20 rakaat, sementara yang lain shalat tarawih 8 rakaat. Lalu bilang dengan nada mengejek: “Tarawih kok hanya 8 rakaat, sukanya diskonan …”. Lalu dijawab: “Shalat tarawih kok 20 rakaat. Udah bacaan suratnya pendek-pendek, shalatnya kilat lagi.”

Akhirnya masing-masing pihak latur dalam sahut-sahutan tanpa manfaat, bahkan mencederai kesucian bulan Ramadhan. Na’ûdzubillâhi min dzâlik. Kita ingat, bahwa tarawih 20 rakaat itu benar dan tarawih 8 rakaat juga benar. Yang tidak benar adalah yang tidak tarawih kan?

Kita lihat hasil penelitian ulama atas dalil-dalil tarawih. Setelah melakukan penelitian mendalam, Imam Abu Hanifah, Imam As-Syafi’I, dan Imam Ahmad bin Hanbal berkesimpulan, jumlah tarawih adalah 20 rakaat. Demikian pula pendapat Imam Malik dalam salah satu riwayat.

Bila bacaan diperluas, akan kita temukan pula ulama yang membolehkan tarawih 8 rakaat atau kurang, semisal Syekh Husain bin Ibrahim Al-Maghribi dari mazhab Maliki dalam kitabnya Qurratul ‘Ai bi Fatâwâ Ulamâ-il Haramain halaman 314.

Bahkan, Syekh Abdullah Bafaqih dari mazhab Syafi’i jelas-jelas menyatakan: “Andaikan orang hanya tarawih sebagian rakaat saja (semisal hanya 2 rakaat), maka tetap sah dan tetap diberi pahala shalat tarawih”, sebagaimana dijelaskan dalam kitabnya Busyral Karîm, halaman 254. Karenanya benar, dalam urusan tarawih yang jelas-jelas diperselisihkan ulama, kita tidak boleh memaksakan orang lain harus sama dengan kita.

Semua ada dalilnya dan dapat dipertanggungjawabkan. Satu sama lain harus saling menghargai perbedaan jumlah rakaat tarawih. Yang tarawih 8 rakaat tidak apa. Yang tarawih 20 rakaat alhamdulillah. Yang tidak atau belum berangkat tarawih kita doakan besok segera tarawih bersama-sama kita. Amin.

APA ITU PESANTREN KILAT (Unsplash)

Materi Pesantren Kilat: Keistimewaan Menuntut Ilmu di Bulan Ramadhan

Sumber: NU Online

Di Indonesia kehadiran bulan suci Ramadan oleh umat Islam tidak melulu disambut sebagai bulan untuk memperbanyak ritual ibadah dan amal saleh. Sudah menjadi tradisi bahwa Ramadan juga merupakan momentum untuk memperluas dan memperdalam ilmu agama.

Tiap bulan puasa lazimnya pondok pesantren-pondok pesantren menggelar pengajian kitab tertentu yang tidak saja dibuka untuk para santrinya melainkan juga diperuntukkan bagi orang umum yang berminat mengikutinya. Pengajaran semacam itu biasa disebut sebagai pengajian pasaran, karena kegiatan dimaksud sudah di luar kurikulum resmi yang diterapkan oleh pondok pesantren tersebut.

Tidak hanya di pondok pesantren, kebanyakan masjid di desa-desa yang kental akan nuansa kesantriannya pada waktu-waktu tertentu umumnya juga mengadakan pengajian kitab yang khusus dikaji pada bulan Ramadan yang pesertanya merupakan jamaah warga desa setempat.

Begitu pula lembaga pendidikan formal dari tingkat SD hingga SMA pada bulan Ramadan banyak yang sengaja memprioritaskan untuk pendalaman ilmu agama bagi para peserta didiknya yang kemudian dikenal dengan sebutan pesantren kilat.

Kegiatan menuntut ilmu atau belajar ilmu agama memang termasuk salah satu cara memuliakan dan menghormati bulan Ramadan, selain memperbanyak ibadah seperti membaca Alquran, itikaf di masjid, salat-salat sunnah, sedekah, dan ibadah lainnya.

Jika menimba ilmu pada bulan-bulan biasa saja memiliki banyak sekali keutamaan, maka apatah lagi pada bulan Ramadan sudah pasti juga dilipatgandakan pahalanya.

Dalam kitab Durratun Nasihin disebutkan hadist bersumber dari Anas bin Malik radliyallahu ‘anh, dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang bersabda, "Barangsiapa hadir di majelis ilmu pada bulan Ramadhan maka Allah menulis bagi orang tersebut tiap-tiap jangkahan kakinya sebagai ibadah satu tahun".

Banyaknya dibuka majelis-majelis ilmu serta terbukanya banyak kesempatan untuk memperdalam ilmu agama pada bulan mulia Ramadhan ini seyogianya tidak disia-siakan oleh umat Islam.

Kesibukan dalam menjalani tugas pekerjaan keseharian bukanlah alasan seseorang tidak bisa mengikuti aktivitas menuntut ilmu. Bagi yang punya waktu longgar sebaiknya mengikuti pengajian kitab yang pengkajiannya lebih intensif sebagaimana yang digelar di pondok pesantren.

Bagi mereka yang memang tak punya banyak waktu luang dapat memilih alternatif majelis ta'lim yang pengajiannya lebih singkat sebagaimana yang diadakan di masjid-masjid. Sementara jika dua cara tadi tetap tak bisa lantaran memiliki jadwal kegiatan yang padat, setidaknya berusaha menimba ilmu lewat membaca buku-buku keagamaan yang mana penulis dan muatan isinya dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Dan semoga dengan bekal dan berkahnya ilmu yang kita peroleh selama bulan Ramadhan akhirnya bisa mengantarkan kita mampu menunaikan tugas-tugas manusia selaku Khalifah Allah di muka bumi ini sesuai dengan misi-misi kemanusiaan yang telah diamanahkan-Nya kepada manusia. Wallahu a'lam. (M. Haromain).

KEGIATAN PESANTREN KILAT (Unsplash)

Materi Pesantren Kilat: Memperkuat Solidaritas melalui Puasa

Sumber: NU Online

Menunaikan ibadah puasa Ramadan merupakan bentuk ketaatan seorang Muslim kepada Allah swt. Akan tetapi, puasa tidak saja berbicara soal hubungan antara hamba dengan Tuhannya, melainkan juga bagaimana dengan puasa yang dijalani selama satu bulan penuh ini bisa menumbuhkan sekaligus memperkokoh solidaritas sesama Muslim, bahkan sesama manusia tanpa memandang latar belakang agama.

Puasa yang kita jalani seharian mulai dari terbit fajar sampai matahari terbenam tidak saja untuk menahan lapar dan dahaga. Memang, jika syarat dan rukunnya terpenuhi, puasa sudah sah. Tetapi ibadah yang baik adalah ibadah yang selain memiliki dampak positif bagi diri pribadi juga mempunyai pengaruh bagi lingkungan sekitar, terlebih lagi puasa Ramadhan yang sebenarnya memiliki dampak sosial tinggi jika betul-betul dipahami. Dalam haditsnya Rasulullah saw bersabda,

مَنْ اَفْطَرَ صَائِمًا فَلَهُ اَجْرُ صَائِمٍ وَلَا يَنْقُصُ مِنْ اَجْرِ الصَّائِمِ شَيْءٌ

Artinya, “Siapa yang memberi makanan kepada orang yang berpuasa untuk berbuka, maka baginya pahala seperti orang puasa tanpa mengurangi sedikitpun dari pahala orang puasa tersebut.” (HR at-Tirmidzi).

Secara gamblang hadits di atas mendorong seseorang agar mau bersedekah dengan memberi makanan atau minuman kepada sesama Muslim untuk berbuka puasa. Pahala yang diperoleh pun tidak tanggung-tanggung, yaitu mendapat nilai sepadan dengan orang yang melaksanakan puasa. Ini merupakan bukti bahwa dalam ibadah puasa terdapat solidaritas sosial yang sangat tinggi.

Selama ini kita mungkin merasa sangat gembira jika mendapat undangan buka bersama (bukber) di rumah teman, kerabat, atau sanak saudara. Tetapi, mulai sekarang mari kita ubah mindset atau cara berpikir, bagaimana agar bulan puasa tahun ini dan seterusnya tidak hanya menerima undangan bukber ‘gratis’, tetapi juga menjadi tuan rumah yang mengundang orang lain untuk menikmati hidangan buka puasa.

Jika belum bisa memberi banyak, paling tidak mentraktir sahabat sendiri untuk sekadar takjil puasa seadanya. Toh, nilai sedekah tidak saja diukur dari kuantitasnya, besar atau kecilnya, melainkan juga keikhlasan dari pemberi. Malah jika kita berusaha memberi yang banyak tapi tidak ikhlas, sedekahnya akan percuma. Tentu, akan lebih sempurna jika kita bisa memberi banyak dan dibarengi niat yang ikhlas pula.

Dalam satu hadits yang mendorong umat Muslim untuk memperbanyak sedekah di bulan Ramadhan disebutkan, عَنْ اَنَسٍ قِيْلَ يَارَسُولَ اللهِ اَيُّ الصَّدَقَةِ اَفْضَلُ؟ قَالَ: صَدَقَةٌ فِى رَمَضَانَ Artinya, “Dari Anas ra dikatakan: ‘Wahai Rasulullah, sedekah apa yang nilainya paling utama?" Nabi menjawab: ‘Sedekah di dalam bulan Ramadhan’” (HR at-Tirmidzi). Berangkat dari hadits di atas, Syekh Muhammad Abdurrauf al-Munawi dalam kitabnya, Faidhul Qadiî, menjelaskan, anjuran memperbanyak sedekah selama bulan Ramadhan merupakan bentuk tercurah ruahnya kasih sayang Allah kepada hamba-Nya. Sebab itu pula, Rasulullah akan menjadi orang yang paling dermawan saat bulan suci ini tiba. (Muhammad Abdurrauf al-Munawi, Faidhul Qadîr, 1972: juz II, h. 38).

Solidaritas Universal Lebih jauh, puasa juga mendidik seorang hamba tidak saja memiliki empati kepada sesama Muslim, tetapi juga manusia pada umumnya, tanpa melihat latar belakang agama. Sudah barang tentu, orang yang berpuasa seharian di bulan Ramadan akan merasakan beratnya menahan lapar dan dahaga. Apalagi jika sudah memasuki waktu dzuhur, rasanya badan sudah lemas-lunglai, terlebih jika memiliki profesi yang bekerja di jalan seperti ojek online, sopir angkot, dan lain sebagainya. Dengan pengalaman demikian, seharusnya bisa menumbuhkan rasa empati kepada diri seorang Muslim bahwa menahan rasa lapar itu begitu berat.

Dan hal inilah yang selama ini dirasakan oleh orang-orang yang hidup serba kekurangan, yang bahkan untuk mengganjal lapar saja mereka harus mengais makanan sisa di tong sampah. Syekh ‘Izzuddin bin Abdissalam dalam kitabnya, Maqâshidush Shaum, pernah menjelaskan, لِأَنَّ الصَّائِمَ إِذَا جَاعَ تَذَكَّرَ مَا عِنْدَهُ مِنَ الْجُوْعِ فَحَثَّهُ ذَلِكَ عَلَى إِطْعَامِ الْجَائِعِ

Artinya, “Karena sesungguhnya orang berpuasa ketika dia merasakan lapar, dia mengingat rasa lapar itu. Hal itulah yang memberikan dorongan kepadanya untuk memberi makan pada orang yang lapar” (Imam Izzuddin bin Abdissalam al-Sulami, Maqâshidush Shaum, t.t: 16).

Kita masih mending menahan lapar hanya kurang lebih 13 jam dalam satu hari saat berpuasa, setelah itu bisa menikmati ragam hidangan bergizi yang kadang sampai kekenyangan hingga sulit beranjak dari tempat makan. Sementara saudara-saudara kita yang hidup serba kekurangan bisa saja merasakan lapar sepanjang hari dan entah kapan akan berakhir. Jika mereka bisa mengganjal lapar pun, kadang hanya bisa dengan makanan sisa yang diperoleh dari hasil mengais sampah.

Jika kita betul-betul mau mengamalkan kedua hadits Nabi di atas, tentu angka kemiskinan di negara ini perlahan akan menurun. Jangan sampai di bulan yang katanya banyak anjuran ibadah sunnah seperti memperbanyak baca Al-Qur’an, shalat tarawih, dan sejumlah kesunnahan lainnya, justru ‘membutakan’ kita dari ibadah sosial seperti memperbanyak sedekah di atas.

Semakin manfaat ibadah bisa dirasakan banyak orang, semakin besar pula pahalanya. Lebih jauh lagi, prinsip dasar empati dan solidaritas sosial dalam ibadah puasa juga bisa diterapkan dalam banyak hal. Misalnya solidaritas dalam menciptakan lingkungan yang sehat dengan bersama-sama menjaga menjaga protokol kesehatan selama pandemi Covid-19 masih berlangsung, menanamkan prinsip gotong-royong dalam bermasyarakat, dan sebagainya.

Sekilas puasa memang hanya mendidik rasa empati seseorang untuk memiliki sifat tenggang rasa kepada orang-orang yang hidup berkekurangan, tetapi jika ditarik ke nilai solidaritas universal, maka puasa juga mengajarkan kepedulian sesama dalam aspek kehidupan sosial yang lebih kompleks. Semoga ibadah puasa tahun ini dan seterusnya bisa menjadikan kita hamba-hamba yang memiliki nilai solidaritas sosial tinggi, baik sesama Muslim atau manusia pada umumnya tanpa memandang latar belakang agama. Wallâhu a’lam.