Perusahaan Keluarga Meredup, Perlu Mencari Dana Eksternal
Perusahaan audit asal Amerika Serikat PricewaterhouseCooper (PwC) menilai bisnis keluarga di Indonesia masih dapat tumbuh di tengah tekanan perekonomian global maupun nasional. Pertumbuhan ini bisa dicapai dengan dukungan pembiayaan eksternal.
Entrepreneurial and Private Clients Leader PwC Indonesia Michael Goenawan mengatakan, masih banyak bisnis keluarga di Indonesia yang bertahan dengan mengandalkan modalnya sendiri. Padahal, ini akan menyulitkan bisnis keluarga untuk mengalami pertumbuhan yang tinggi.
"Mereka (perusahaan keluarga) yang berencana untuk tumbuh sebesar lebih dari 10 persen setiap tahunnya selama lima tahun ke depan harus menggunakan sejumlah metode pembiayaan eksternal," ujar Goenawan di Jakarta, Selasa (6/12).
Hasil survei PwC 2015 menyatakan sebanyak 88 persen bisnis keluarga menargetkan usahanya mengalami peningkatan pertumbuhan di tengah perlambatan ekonomi global. Sekitar 44 persen diantaranya yakin akan tumbuh pesat dan agresif dan 44 persen lainnya yakin akan tumbuh normal. Sementara itu, 8 persen menyatakan akan stagnan dan 4 persen pesimistis dengan pertumbuhannya.
Jika dibandingkan dengan hasil survei sebelumnya, optimisme pertumbuhan bisnis keluarga terlihat menurun. Pada 2014, perusahaan keluarga yang masih yakin bisa tumbuh mencapai 96 persen. Dengan rincian, 83 persen yakin tumbuh normal, 13 persen tumbuh pesat dan agersif, 3 persen stagnan, serta 1 persen pesimis tidak akan mengalami pertumbuhan.
Banyak tekanan akibat kondisi makro ekonomi lokal dan global saat ini, membuat pertumbuhan usaha tidak sepesat tahun-tahun sebelumnya. Namun, nyatanya bisnis keluarga masih tetap bergairah dan ambisius untuk meraih pertumbuhan.
Dalam survei ini terungkap alasan perusahaan keluarga masih bisa tumbuh, karena menjadi bagian penting dalam ekonomi makro. Perusahaan ini menawarkan stabilitas, komitmen jangka panjang dan tanggungjawab yang lebih besar terhadap masyarakat dan karyawannya. Perusahaan keluarga juga menganggap bisnisnya dapat menjadi mesin penggerak perubahan dan inovasi.
Untuk mencapai pertumbuhan, mayoritas perusahaan keluarga menyatakan akan fokus pada bisnis utamanya di pasar yang sudah ada dan ekspansi ke area baru. PwC menyarankan agar bisnis keluarga melakukan proses perencanaan strategis yang matang, dan menyiapkan sumber daya manusia di lingkungan keluarga untuk meneruskan usahanya.
"Mereka (generasi selanjutnya), perlu diberdayakan dan didukung dalam menjalani proses tersebut," ujar Michael.
Survei PwC ini juga mengungkap bahwa hampir seluruh bisnis keluarga di Indonesia (97 persen) memiliki mekanisme untuk menangani konflik keluarga. Hal tersebut menunjukkan pentingnya meminimalisir risiko mengenai hal itu.
Sebanyak 14 persen bisnis keluarga sudah memiliki rencana pewarisan yang didokumentasikan dan dikomunikasikan. Kemudian, dua per tiga bisnis kelurga di Indonesia berencana untnk mengalihkan kepemilikan bisnis kepada generasi selanjutnya. Adapun 17 persen berencana untuk menjual atau menawarkan sahamnya di pasar modal melalui Initial Public Offering (IPO).
Sementara itu, dalam hal keselarasan antara keluarga dengan bisnis, 67 persen bisnis keluarga di Indonesia mengklaim bahwa antara keluaraga dengan bisnis sepenuhnya sudah sejalan. 81 persen bisnis keluarga Indonesia memiliki generasi penerus yang bekerja di perusahaan.
Sebagai informasi, riset PwC sebelumnya menyatakan bahwa lebih dari 95 persen perusahaan di Indonesia merupakan bisnis keluarga. Terdapat lebih dari 40 ribu orang kaya di Indonesia menjalankan bisnis keluarga. Total kekayaannya diperkirakan mencapai Rp 134 triliun.
PwC mendefinisikan bisnis keluarga sebagai perusahaan yang mayoritas hak suaranya berada di tangan pendiri atau orang yang mengakuisisi perusahaan, misalnya pasangan, orang tua, anak atau ahli waris. Setidaknya ada satu perwakilan keluarga yang terlibat di dalam manajemen perusahaan. Perusahaan publik juga dianggap sebagai perusahaan keluarga jika kepemilikannya lebih dari 25 persen.