Uni-Eropa Minta Peningkatan Standar Keberlanjutan Sawit Indonesia
Uni-Eropa meminta standar produk kelapa sawit Indonesia ditingkatkan supaya keberlanjutannya bisa terjaga. Duta Besar Uni-Eropa untuk Indonesia dan Brunei Darussalam Vincent Guerend menyatakan, peningkatan kualitas kelapa sawit melalui Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) merupakan kabar baik.
Rencana penyetaraan impor kelapa sawit Eropa bakal dimulai pada 2020. “Kami bukannya ingin mempunyai standar ganda, tapi kami ingin memiliki kesamaan standar dengan Indonesia dalam keberlanjutan kelapa sawit,” kata Vincent dalam dialog bisnis Indonesia dan Uni-Eropa di Hotel Fairmont, Jakarta, Selasa (28/11).
Ia mengungkapkan, pihaknya ingin berdiskusi dengan pemerintah Indonesia mengenai ISPO untuk menyamakan standar. Sebab, Komisi Uni-Eropa juga telah membakukan standar dalam resolusi yang lebih memperhitungkan nilai dan kepentingan kelapa sawit untuk negara produsen.
(Baca juga: Jokowi Perintahkan Peremajaan 75% Perkebunan Sawit Rakyat)
Menurutnya, penyetaraan standar tidak hanya dilakukan Uni-Eropa untuk kelapa sawit. Ia mencontohkan, standardisasi legal dan asal-usul kayu diatur dalam sertifikat Forest Law Enforcement, Governance and Trade (FLEGT).
Vincent juga menyebut, selain minyak sawit, minyak sayur secara keseluruhan juga dipertimbangkan untuk masuk ke salah satu resolusi. “Kami ingin suplai yang kami dapatkan sesuai dengan standar konsumsi kami,” tuturnya.
Ia menekankan, Uni-Eropa merupakan pasar yang terbuka, termasuk untuk kelapa sawit Indonesia. Pasalnya, sejak resolusi sawit dikeluarkan April lalu, menurut data Uni-Eropa, nilai impor kelapa sawit dari Indonesia nilainya masih meningkat 36% dan volumenya bertambah 19%.
“Kita bisa lihat itu peningkatan yang sangat besar,” ujar Vincent. Indonesia pun menjadi pengekspor kelapa sawit terbesar ke Eropa dengan pangsa pasar sebesar 52%.
Produksi dan Luas Lahan Sawit (1970-2017E)
Hanya, Vincent menekankan supaya pemerintah memperhatikan standar keberlanjutan kelapa sawit. “Pasti ada jalan untuk kami membeli barang yang keberlanjutannya tinggi, selama Indonesia mau menjual barang yang memiliki nilai keberlanjutan,” katanya.
Chairman Eurocham Ulf Backlund menjelaskan perbedaan opini bukan hambatan dalam peningkatan bisnis kedua pihak. Dialog bisnis dinilai dapat membuka jalur komunikasi.
(Baca juga: Peremajaan 9 Ribu Hektare Kebun Sawit di Sumut, Pemerintah Siapkan KUR
Menurut Ulf, isu kelapa sawit terlalu berlebihan. Ia menekankan solusi terbaik adalah mencari definisi yang sama dalam keberlanjutan produksi. “Jika terjadi kesepahaman, saya tidak lihat mengapa kelapa sawit harus dilarang,” jelasnya.
Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto mengungkapkan resolusi yang diberlakukan oleh Uni-Eropa menghambat perundingan Comprehensive Economics Partnership Agreement (CEPA). Sambil menunggu penyesuaian standar, kedua pihak mesti merundingkan perjanjian dagang agar kesepakatan akhir tercapai.
Salah satu caranya adalah pembahasan komoditas yang sensitif seperti kelapa sawit dibicarakan paling akhir. “Kita dorong prioritas kita terlebih dahulu, yaitu pakaian, tekstil, dan sepatu. Mereka juga dorong isu lain,” jelas Airlangga.
Data Kementerian Pertanian, Agustus lalu, sebanyak 1,82 juta hektare atau 16,7% dari total 11,9 juta hektare lahan kelapa sawit baru memiliki sertifikat ISPO. Sertifikat dapat meyakinkan pasar internasional bahwa kelapa sawit Indonesia dikelola dengan kaidah yang baik sehingga bisa mengurangi kampanye hitam.