Transaksi Tumbuh 163%, BI Perketat Pengawasan Uang Elektronik
Bank Indonesia (BI) mencatat transaksi menggunakan uang elektronik naik 163% sepanjang tahun lalu. Secara nominal, transaksinya pun mencapai Rp 2 triliun per bulannya.
"Perkembangan itu meyakinkan kami bahwa Indonesia akan mencapai cashless society dalam waktu yang tidak terlalu lama," ujar Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara dalam acara CNBC Indonesia Dialogue bertajuk 'Embracing Digital Challenge' di Hotel Raffles, Jakarta, Kamis (8/2).
Saat ini, uang elektronik juga sudah semakin bervariasi, tidak lagi hanya berbasis kartu. Uang elektronik untuk pembayaran berbasis ponsel pintar (mobile payment) melalui QR code pun sudah mulai berkembang. BI pun akan fokus pada kebijakan terkait bisnis digital termasuk penyediaan uang elektronik dan financial technology (Fintech).
Salah satu kebijakan yang sudah dikeluarkan adalah Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 19 Tahun 2017 tentang penyelenggaraan fintech pada November 2017 lalu. "Kami akan menjaga level of playing field melalui rezim yang berimbang dan proporsional," ujar dia.
(Baca juga: Chatib Basri: Bank Indonesia Harus Masuk Mata Uang Digital)
Setidaknya, Mirza menyebutkan ada tiga arah kebijakan BI terkait bisnis digital ke depan. Pertama, mengawal dan memperkuat implementasi pendaftaran fintech. Kedua, implementasi regulatory sandbox yakni program uji coba terkait produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnis penyelenggara fintech. Ketiga, penegakan hukum atas larangan menggunakan mata uang digital (virtual currency).
Direktur Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran BI Sukarelawati Permana pun mencatat, 84% bisnis pembayaran di Indonesia sudah terdampak digitalisasi. Di bisnis transfer dana, disrupsi teknologi mencapai 68%. Lalu di personal finance sudah mencapai 60%. Sedangkan di personal loans dan asuransi masing-masing terdisrupsi 56% dan 38%.
"Di sistem pembayaran, tren digital telah menambah variasi model baru dan interaksi pembayaran dan mendorong lahirnya pemain baru," kata dia. Pergeseran ini mendorong tuntutan yang lebih besar dari masyarakat atas metode pembayaran yang cepat, fleksibel, aman, dan murah.
(Baca juga: Jokowi Sebut Mata Uang Digital Sedang Diperebutkan Banyak Orang)
Menurut dia, perubahan ini perlu direspon dengan cepat dan tepat oleh otoritas. Sebab digitalisasi ini memunculkan risiko dengan pola yang baru, sehingga membutuhkan mitigasi yang berbeda dengan lembaga formal. Apalagi ada ancaman siber yang perlu diantisipasi dan pengamanan data juga transaksi.
Tapi di satu sisi, digitalisasi seperti kehadiran fintech juga membawa dampak positif. Berdasarkan data McKinsey, fintech berpotensi menciptakan akses bagi 1,6 miliar orang yang tanpa rekening bank (unbanked) masuk ke sektor usaha formal dan menciptakan 95 juta lapangan kerja baru. Bahkan, fintech bisa meningkatkan produk domestik bruto (PDB) negara berkembang sebesar US$ 3,7 triliun.