Bagir Manan Minta Polemik HPN Diserahkan ke Dewan Pers
Ketua Dewan Etik Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Bagir Manan menilai polemik pelaksanaan Hari Pers Nasional (HPN) yang dilaksanakan pada Jumat (9/2) lebih baik diserakan ke Dewan Pers, sebagai pihak yang dianggap bisa bersikap lebih lebih netral. Sebab, Dewan Pers merupakan milik seluruh konstituen kewartawanan di Indonesia.
"Bahwa panitia pelaksana nantinya bukan unsur Dewan Pers, tapi oleh salah satu ketua atau pengurus dari organisasi lain tidak masalah, yang penting kepanitiaan dikoordinasi Dewan Pers," ujar Bagir dalam keterangan tertulisnya, Minggu (11/2).
Pelaksanaan HPN setiap 9 Februari sebelumnya menuai kritik dari sejumlah asosiasi jurnalis, seperti Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI). Pasalnya, tanggal tersebut merupakan hari kelahiran Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).
Peringatan ini mulai dilakukan setelah Presiden Soeharto mengeluarkan Surat Keputusan Presiden Nomor 5 tahun 1985 yang menetapkan tanggal tersebut sebagai HPN. Pasca Soeharto jatuh menyusul gerakan reformasi tahun 1998, beberapa perubahan terjadi ditandai dengan lahirnya Undang Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers.
Sejumlah regulasi Orde Baru di bidang pers juga dikoreksi, termasuk di antaranya adalah pencabutan SK Menteri Penerangan Nomor 47 tahun 1975 tentang pengakuan pemerintah terhadap PWI sebagai satu-satunya organisasi wartawan di Indonesia.
Lahirnya UU Pers juga mendorong munculnya berbagai organisasi wartawan, selain perusahaan media-media baru.
Kendati demikian, HPN tetap dilakukan pada 9 Februari mengacu hari lahir PWI. Padahal saat ini organisasi wartawan bukan cuma PWI. Bagir menyebut gejolak ingin keluar dari PWI masuk akal, karena organisasi wartawan tak lagi tunggal.
Bagir memahami jika gejolak penggantian tanggal itu juga dipicu ulah Ketua PWI Margiono. Pasalnya, sejak Margiono terjun ke bidang politik praktis sebagai calon bupati Tulungagung sekaligus menjabat Ketua PWI, hal itu dianggap mencederai etika independensi wartawan dan menjatuhkan kredibilitas.
"Ya Margiono merasa perlu untuk tampil pidato di depan Presiden, dengan memberikan pujian supaya mencerminkan bahwa dia mendukung Jokowi dan berharap dapat dukungan pencalonannya,” kata Bagir.
Alih-alih memanfaatkan pidatonya secara elegan ketika HPN, Margiono justru dinilai Bagir memanfaatkan momen tersebut untuk stand-up comedy. "Saya sedih, kok kepala institusi wartawan seperti itu,” tambahnya.
Meski polemik pelaksanaan HPN terjadi, Bagir enggan mengusulkan mengenai kapan waktu yang tepat untuk hari peringatan HPN. Sebab, masing-masing organisasi wartawan memiliki alasan dan landasan yang dapat diperdebatkan.
Namun, ia sepakat jika persoalan HPN perlu dibahas lebih lanjut. Karenanya, dia menyarankan agar masalah ini disampaikan ke pemerintah.
“Kalau paling gampang kapan tonggak pers, tapi tidak ketemu titiknya, bagaimana kalau HPN disamakan dengan sejak Republik ini berdiri saja, 17 Agustus. Biar sepakat dan tak ada yang merasa paling benar,” imbuhnya.