Neraca Pembayaran Defisit US$ 7,1 M Tahun Lalu, Mendekati Defisit 2013
Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) mengalami defisit US$ 7,1 miliar pada 2018. Defisit ini merupakan yang pertama kalinya dalam tiga tahun dan nyaris mendekati defisit pada 2013 saat terjadi kejatuhan harga komoditas dan taper tantrum. Hal tersebut imbas melebarnya defisit neraca transaksi berjalan di tengah anjloknya surplus neraca modal dan finansial.
Meski begitu, Kepala Departemen Statistik Yati Kurniati Bank Indonesia (BI) mengatakan defisit NPI lebih rendah dari perkiraan semula. Hal ini seiring dengan surplus NPI pada kuartal IV dengan jumlah yang cukup besar yaitu US$ 5,4 miliar. "Neraca pembayaran Indonesia menunjukkan ketahanan eksternal yang tetap terkendali," kata dia dalam Konferensi Pers di kantornya, Jakarta, Jumat (8/2).
Defisit NPI tahun lalu merupakan yang terbesar sejak 2013. Secara rinci, NPI mengalami defisit sebesar US$ 7,3 miliar pada 2013, kemudian surplus US$ 15,2 miliar pada 2014, defisit US$ 1,1 miliar pada 2015, surplus US$ 12,1 miliar pada 2016, dan surplus US$ 11,6 miliar pada 2017.
Defisit NPI tahun lalu disebabkan oleh neraca transaksi berjalan yang sepanjang tahun mengalami defisit US$ 31,1 miliar atau 2,98% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Defisit transaksi berjalan terjadi lantaran impor nonmigas yang tinggi, yaitu mencapai US$ 149,9 miliar. Di sisi lain, ekspor nonmigas terbatas yaitu sebesar US$ 161,1 miliar. Alhasil, surplus neraca nonmigas hanya sebesar US$ 11 miliar, kurang dari separuh tahun sebelumnya.
(Baca: Pemerintah Prediksikan Pertumbuhan Impor 2019 Hanya Separuh Tahun lalu)
Yati menjelaskan, kenaikan impor nonmigas terjadi terutama untuk bahan baku dan barang modal sebagai dampak aktivitas ekonomi dalam negeri. Sementara itu, kinerja ekspor yang terbatas imbas kondisi global yang tidak pasti sehingga permintaan komoditas melambat. Padahal, kontribusi ekspor komoditas primer Indonesia mencapai lebih dari 50%.
Kecilnya surplus pada neraca nonmigas tak mampu menutup defisit pada neraca migas yang mencapai US$ 11,6 miliar. Peningkatan defisit neraca migas didorong oleh naiknya impor minyak seiring peningkatan rerata harga minyak dunia dan konsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM) domestik. Adapun, impor migas mencapai US$ 29,2 miliar pada 2018, sementara ekspor migas hanya sebesar US$ 17,6 miliar.
(Baca: BI Optimistis Defisit Transaksi Berjalan Susut Mulai Kuartal I 2019)
Selain itu, transaksi berjalan dibebani oleh defisit besar yang menahun pada neraca jasa dan pendapatan primer. Neraca jasa tercatat defisit US$ 7,1 miliar dan neraca pendapatan primer defisit US$ 30,4 miliar.
Meski begitu, defisit transaksi berjalan masih bisa tertolong oleh surplus pada neraca transaksi modal dan finansial yang mencapai US$ 25,1 miliar. Ini dibantu oleh aliran modal asing masuk dalam bentuk investasi asing langsung (Foreign Direct Investment/FDI) sebesar US$ 13,8 miliar. Sementara itu, investasi portofolio sebesar US$ 9,3 miliar.
"(Surplus neraca transaksi modal dan finansial) tidak setinggi 2017 karena tiga triwulan pertama ada outflow (aliran dana asing keluar) deras," ujar Yati.
(Baca: Dana Asing Masuk Tembus Rp 40 Triliun, Tren Penguatan Rupiah Berlanjut)
Ke depan, ia menyatakan BI akan terus memperkuat koordinasi dengan pemerintah guna memperkuat NPI atau ketahanan sektor eksternal. Pengendalian defisit transaksi berjalan akan dilakukan sehingga bisa turun ke kisaran 2,5% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).