Virus Chikungunya Menyebar di Bogor, Pahami Bedanya dengan DBD
Chikungunya mendadak jadi perbicaraan publik setelah adanya laporan puluhan warga di Desa Pasarean, Bogor terjangkit penyakit ini. Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor setidaknya mencatatkan periode penularannya telah berlangsung sejak Mei 2019.
Seiring penyebarannya yang cepat, jumlah pengidapnya terus bertambah dan menyerang hampir semua kalangan usia dari anak-anak hingga lansia. Faktor penyebarnya dari nyamuk Aedes Aegypti dan Albopictus. Aedes Aegypti juga merupakan nyamuk yang mentransmisikan virus demam berdarah (DBD).
Dalam catatan WHO, penyakit ini mulai teridentifikasi sejak ditemukan pertama kali mewabah di wilayah Tanzania, salah satu negara di Benua Afrika pada 1952. Saat itu ditemukan penyebaran virus RNA (Ribonucleic Acid) yang meluas ke wilayah timur kawasan Asia, termasuk Indonesia. Wabah terbesar yang pernah terjadi pada 2005 di pesisir Samudera Hindia, di antaranya India, Indonesia, Maladewa, Myanmar, dan Thailand, yang dilaporkan menjangkiti 1,9 juta warga.
(Lihat Infografik: Masyarakat Perkotaan Rentan Penyakit Kritis)
Transmisi virus ini juga meluas hingga kawasan Eropa pada 2007, untuk pertama kalinya terjadi di daerah Italia Timur Laut. Sedangkan wabah terbesar pernah terjadi di Amerika pada 2015, tepatnya di Kepulauan Karibia dengan 1,37 juta kasus.
Dalam jurnal yang diterbitkan Kementrian Kesehatan, chikungunya dikategorikan penyakit ringan karena tergolong self limiting disease, yang bisa sembuh dengan sendirinya. Namun, beberapa gejala yang menyerang juga dapat berlangsung dalam periode panjang. Umumnya memang hanya hitungan hari, tapi ada beberapa temuan di mana chikungunya dapat berlangsung bulanan atau menahun. Untuk mencegahnya, diperlukan identifikasi gejala penyakit ini sejak dini.
Gejala Penyakit Chikungunya
Pemahaman masyarakat terkait virus chikungunya sering kali bias dengan gejala penyakit virus dengue atau demam berdarah (DBD). Di samping disebabkan oleh nyamuk yang sama, keduanya juga menunjukkan tanda-tanda yang mirip, yakni selalu disertai dengan demam, sakit kepala, dan mual-mual. Keduanya juga sama-sama menunjukkan adanya gejala fisik berupa ruam merah pada tubuh pengidapnya.
Penyebaran kedua jenis penyakit ini juga kadang dapat menjangkit seseorang dalam satu musim yang sama, terlebih keduanya sama-sama ditularkan melalalui sebaran virus yang dibawa nyamuk. Kondisi lingkungan pada musim tertentu dapat mendukung perkembangan kedua jenis nyamuk ini kian pesat.
Seperti dilansir dari hellosehat.com, meski gejalanya hampir mirip, chikungunya dan DBD memiliki perbedaan yang dapat diidentifikasi dengan kadar seberapa parah gejala yang ditunjukkan. Beberapa gejala pada pengidap DBD juga tidak ditemukan pada pengidap chikungunya. DBD biasanya ditandai dengan terjadinya mimisan. Gejala ini tidak ditemukan pada pengidap chikungunya.
(Baca: Mengenal Wabah Cacar Monyet, Gejala dan Antisipasinya)
Gejala yang paling mirip antara keduanya adalah selalu diawali dengan demam tinggi, tapi intensitas berbeda. Pengidap DBD umumnya mengalami demam tinggi sepanjang hari dan mulai mereda beberapa hari kemudian. Berbeda dengan pola demam chikungunya yang bisa meningkat signifikan sewaktu-waktu dan bisa saja turun tanpa terduga.
Chikungunya juga terkenal dengan efeknya yang melemahkan sistem rangka manusia. Nyeri sendi, otot dan tulang. Umumnya mereka yang terjangkit akan mengalami pembengkakan, kemerahan dan kaku pada sendi. Bahkan, pada kasus tertentu bisa lebih parah dengan terjadinya kelumpuhan sementara. Gejala itu berbeda dengan yang dialami pengidap DBD yang nyerinya terbilang lebih ringan.
Kemiripannya dengan demam berdarah mengakibatkan sering kali di beberapa daerah yang endemik demam berdarah, pengidap chikungunya mengalami salah diagnosis. Penderita chikungunya juga berpotensi mengalami komplikasi kesehatan, di antaranya; uveitis (peradangan pada lapisan tengah mata), miokarditis (peradangan otot jantung), hepatitis (peradangan hati). Diagnosis chikungunya baru dapat diidentifikasi setelah dua hingga 12 hari.
(Baca: Wabah Hepatitis A di Pacitan, Waspadai Penyebab dan Penularannya)
Pengidentifikasian perkembangan penyakit chikungunya juga agak berbeda dengan DBD. Pengidap DBD biasanya melalui beberapa fase yang polanya menyerupai bentuk pelana kuda, dimulai dengan fase demam, dilanjut ke fase kritis dalam 1-2 hari lalu setelah itu fase penyembuhan. Tapi pengidap chikungunya tidak dapat diidentifikasikan dengan fase-fase tersebut, karena peningkatan demam pengidapnya bisa sewaktu-waktu naik ataupun turun.
Sebenarnya, tak ada pengobatan khusus terhadap penyakit ini. Biasanya dokter hanya memberikan obat untuk meredam atau menghilangkan gejalanya. Seperti penggunaan anti-piretik juga analgesik untuk menghilangkan nyeri. Hingga kini pun belum ada vaksin untuk virus chikungunya.
Pencegahannya bisa dilakukan dengan menghentikan perkembangbiakan nyamuk untuk menekan penyebaran chikungunya. Mulai dari menjaga kebersihan tempat penampugan air, menanam tanaman pengusir nyamuk, menggunakan obat pengusir nyamuk, dan membiasakan tidur dengan kelambu.