Etanol Lebih Murah dari Bensin, Pemerintah Tak Akan Intervensi Harga E10

Andi M. Arief
12 November 2025, 12:29
Petugas SPBU menunjukan contoh produk Pertamax Green 95 di SPBU 44.571.28 Pedaringan, Solo, Jawa Tengah, Senin (28/7/2025).Dari tujuh SPBU di Jateng dan DIY yang menjual Pertamax Green, Pertamina mencatat penjualan rata-rata mencapai 150 liter perhari di
ANTARA FOTO/Idhad Zakaria/bar
Petugas SPBU menunjukan contoh produk Pertamax Green 95 di SPBU 44.571.28 Pedaringan, Solo, Jawa Tengah, Senin (28/7/2025).Dari tujuh SPBU di Jateng dan DIY yang menjual Pertamax Green, Pertamina mencatat penjualan rata-rata mencapai 150 liter perhari di setiap SPBU yang menjual bahan bakar bensin dengan campuran lima persen bioetanol dari tebu dan menghasilkan nilai oktan RON 95 yang lebih ramah lingkungan tersebut.
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menyatakan harga bahan bakar hasil program mandatori E10 kemungkinan tidak memerlukan intervensi pemerintah. Sebab, harga etanol di dalam negeri lebih rendah daripada harga bensin dalam pencampuran tersebut.

Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Kementerian ESDM Eniya Listiani Dewi mencatat harga etanol untuk kebutuhan bahan bakar nabati saat ini sekitar Rp 9.000 per liter. Untuk diketahui, Pertamax yang menjadi bahan baku bioetanol saat ini dilego Rp 12.000 per liter oleh PT Pertamina.

"Alhasil, program E10 masih belum memerlukan intervensi kalau diterapkan saat ini. Namun memang saya masih punya tugas terkait cukai dan tata niaga etanol di dalam negeri," kata Eniya di Gedung DPR, Selasa (11/11).

Seperti diketahui, Undang-Undang No. 7 Tahun 2011 menetapkan semua jenis etanol dikenakan cukai senilai Rp 20.000 per liter. Dengan demikian, kebijakan tersebut membuat harga etanol yang dinikmati Pertamina saat ini  lebih tinggi sekitar Rp 8.000 per liter dari bahan baku utamanya.

Pertamina kini menjual E5 tanpa intervensi pemerintah dengan merek Pertamax Green 95 senilai Rp 13.500 per liter. Program E10 nantinya mewajibkan produsen bahan bakar minyak atau BBM mencampurkan 10% etanol ke dalam produknya.

Eniya menilai penyesuaian cukai dan tata niaga etanol harus dikerjakan lintas kementerian untuk mencapai harga keekonomian. "Sepertinya harus ada satu Surat Keputusan Bersama tiga menteri antara Menteri ESDM, Menteri Keuangan, dan Menteri Perindustrian untuk penyesuaian cuki dan tata niaga etanol," katanya.

Di sisi lain, Eniya mensinyalir produksi etanol untuk program mandatori E10 akan fokus menggunakan molases sebagai bahan baku. Untuk diketahui, molases merupakan limbah atau produk sampingan dari pengolahan tebu menjadi gula.

Eniya menemukan biaya investasi satu pabrik etanol dari pengolahan molases hanya sekitar Rp 400 miliar. Sementara itu, biaya investasi satu fasilitas produksi tebu menjadi etanol ditaksir menembus Rp 3 triliun.

Asosiasi Desak Terbitkan Peta Jalan

Asosiasi Produsen Spirtus dan Etanol Indonesia (Aspendo) mendorong pemerintah untuk segera menerbitkan peta jalan kebijakan campuran wajib 10% etanol dalam bensin atau E10 paling lambat kuartal terakhir tahun ini. Langkah tersebut dinilai penting agar industri etanol dalam negeri memiliki kepastian untuk meningkatkan kapasitas produksinya.

Sebelumnya, Ketua Umum Aspendo, Izmirta Rachman, memperkirakan program mandatory E10 membutuhkan etanol sebanyak 3 juta kiloliter jika diterapkan selambatnya pada 2028. Sementara itu, kapasitas terpasang industri etanol nasional saat ini baru mencapai 303.325 kiloliter, atau sekitar 10% dari kebutuhan tersebut.

“Betul, peta jalan harus terbit akhir tahun ini, sebab kapasitas produksi etanol untuk standar bahan bakar hanya sekitar 60.000 kiloliter saat ini. Kalau ada peta jalan, semua industri etanol akan meningkatkan kemampuan produksinya untuk bisa memasok program E10,” kata Izmirta kepada Katadata.co.id, Kamis (9/10).

Izmirta menjelaskan, peningkatan kualitas produksi etanol menjadi berstandar bahan bakar tidak sulit. Menurutnya, setiap pabrikan hanya perlu menambah kolom destilasi dalam proses produksi untuk meningkatkan kemurnian etanol.

Ia menambahkan, sudah banyak investor yang menyatakan minat membangun pabrik etanol di dalam negeri melihat tingginya kebutuhan etanol untuk program E10. Namun, realisasi minat tersebut tertahan oleh minimnya peta jalan industri etanol nasional.

“Pemerintah harus punya rencana kebutuhan pabrik baru yang dibutuhkan selama dua tahun ke depan untuk memenuhi implementasi mandatory E10 pada 2027–2028 tadi,” ujarnya.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Reporter: Andi M. Arief

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...