Tujuh Perusahaan di Telunjuk Susi
BITUNG mungkin salah satu medan paling ‘panas’ di kabinet. Wilayah di ujung Sulawesi Utara yang berbatasan dengan Filipina ini menyulut pro-kontra di kalangan para menteri. Pemicunya, kebijakan keras Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti yang dianggap mematikan perusahaan-perusahaan Unit Pengolahan Ikan (UPI) di sana.
Tak lama setelah dilantik sebagai menteri, Susi mengeluarkan larangan kapal asing dan eks-asing menangkap ikan di seluruh perairan Indonesia dan alih muatan (transhipment) di tengah laut. Namun belakangan muncul sorotan tajam dari Wakil Presiden Jusuf Kalla dan Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut B. Pandjaitan.
Keduanya meminta kebijakan Susi dievaluasi. Alasannya, aturan itu mengganggu pasokan bahan baku yang bisa membuat UPI berhenti beroperasi dan berujung pada pemutusan hubungan kerja pegawai pabrik.
Ketua Asosiasi Unit Pengolahan Ikan (AUPI),Bitung, Provinsi Sulawesi Utara Basmi Said mengamini sinyalemen itu. Menurut dia, Peraturan Menteri KKP Nomor 56 dan 57 tahun 2014 yang ditandatangani Susi membuat produksi pabrik pengolahan ikan di Bitung terus merosot.
Basmi menyebut utilisasi produksi 53 UPI di Bitung sepanjang 2014 hanya 696 ton per hari, atau 49,2 persen dari total kapasitas terpasang (1.414 ton per hari). Angka tersebut anjlok dari utilisasi tahun sebelumnya yang mencapai 57,3 persen.
Penurunan tersebut berlanjut pada 2015. Total produksi hanya mencapai 251 ton per hari, atau 17,7 persen dari total kapasitas terpasang. Tahun lalu, utilisasi bahkan mencapai titik terendahnya di level 6,4 persen (90 ton per hari). “Sampai awal Februari lalu, utilisasi hanya 50-60 ton per hari,” ujarnya. “Ini pun pasokan ikannya berasal dari luar Bitung.”
Imbasnya, serapan tenaga kerja UPI di Bitung yang mencapai 12.848 orang pada 2014, tahun ini hanya bersisa sekitar 2.000 orang. Atas dasar itu Basmi menilai sasaran kebijakan yang dibuat Menteri Susi meleset. Alih-alih untuk menghilangkan pencurian ikan, kebijakan itu malah mematikan industri.
Pokok soalnya, dia menambahkan, terletak pada pelarangan alih muat tangkapan yang turut dikenakan pada kapal buatan lokal. Padahal, kapal lokal berbeda dengan kapal eks-asing karena tidak pernah terbukti melakukan pencurian ikan. “Maunya bunuh tikus, tapi lumbung dibakar,” dia mengibaratkan.
Meski begitu, Basmi tidak menampik adanya celah yang memungkinkan kapal lokal membawa ikannya ke luar negeri, jika larangan transhipment dihapuskan. Namun, ada tiga cara yang menurutnya bisa dilakukan pemerintah untuk mencegahnya.
Pertama, pemasangan kamera di kapal. Kedua, alat monitor kapal (vessel monitoring system/VMS) harus terpasang permanen dan tidak boleh berpindah kapal. Ketiga, pengawas dari Kementerian Kelautan diikutkan dalam proses penangkapan ikan.
Empat Lokal, Tiga Asing
Menghadapi gempuran itu, Susi bergeming. Alasannya, sebelum diberlakukan pelarangan itu pun, utilisasi produksi UPI sudah terbilang rendah.
"Ada perusahaan yang utilisasinya cuma dua persen. Itu jelas-jelas kamuflase,” katanya sengit seperti dikutip cnnindonesia.com pada 24 Februari 2015. “Bitung itu penghasil tuna terbesar, kok tingkat utilisasinya cuma segitu?"
Tanpa tedeng aling-aling dia lantas menunjuk tujuh UPI di Bitung yang terindikasi berperasi secara tak jujur itu. Empat di antaranya perusahaan lokal, yakni PT Deho Canning Company, PT Carvina Trijaya Makmur, PT Samudra Mandiri Sentosa, dan PT Delta Pasific Indotuna.
Sedangkan tiga lainnya adalah perusahaan penanaman modal asing asal Filipina, yaitu PT International Alliance Food Indonesia, PT Sinar Pure Foods Internasional, dan PT RD Pasific Internasional yang berpusat di General Santos.
Seorang pelaku usaha perikanan di Bitung yang meminta namanya dirahasiakan, menceritakan bahwa rendahnya tingkat utilisasi dan kecurigaan adanya ‘permainan’ di balik operasi UPI, sesungguhnya dulu sudah pernah sampai ke telinga Sharif Cicip Sutardjo.
Sebagai tindak lanjutnya, Menteri Kelautan di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini lantas mengumpulkan perusahaan penangkap ikan dan meminta agar utilisasi UPI dinaikkan ke level 75 persen.
Menurut sumber tadi, rendahnya utilisasi UPI disebabkan oleh kapal milik perusahaan penangkap ikan—baik yang terafiliasi maupun partner UPI—tidak memasok seluruh hasil tangkapannya ke pabrik. Melainkan, langsung melarikannya ke Filipina.
Pola ini dikenal dengan sistem tiga banding satu. Artinya, satu kali dibawa ke Bitung, tiga kali langsung dibawa ke General Santos, Filipina. Otomatis, hasil tangkapan pun tidak pernah dilaporkan.
Salah satu modus perusahaan penangkap ikan nakal itu adalah memperlambat bongkar muat. Caranya, tiga kapal masuk ke dermaga perusahaan dalam waktu berdekatan, tetapi proses bongkar muat kapal pertama sengaja diperlambat, agar dua kapal lainnya menunggu lebih lama. “Modus antre kapal ini yang juga dimainkan oleh Sinar Pure Foods,” ujarnya.
Menanggapi berbagai tudingan itu, sejumlah perusahaan UPI telah membantahnya. Dua tahun lalu, kepada cnnindonesia.com (25/2/2015), sanggahan langsung disampaikan oleh PT Samudra Mandiri Sentosa dan PT Delta Pacific Indotuna, sehari setelah Menteri Susi bersuara.
Kini bantahan serupa disampaikan oleh tiga perusahaan UPI yang kami mintai konfirmasi, yakni PT International Alliance Food Indonesia, PT Sinar Pure Foods International, dan PT RD Pacific Internasional. Ketiganya merupakan perusahaan asing asal Filipina.
Ketujuh perusahaan itu diduga membangun pabrik pengolahan hanya agar mendapatkan izin penangkapan ikan di perairan Indonesia. Selain itu, untuk mendapatkan cap resmi dari pemerintah Indonesia supaya ikannya dapat diekspor ke Eropa.
Sinar Pure Foods
Jufri Koyongian, HRD Manager Alliance Food, mengklaim selama ini produksinya bisa mencapai 100 persen dari kapasitas terpasang. Jauh di atas data KKP yang hanya 23,7 persen pada 2014 lalu. Ia juga menjelaskan, perusahaannya membeli ikan dari PT Usaha Mandiri selaku pemasok. “Supplier tidak sembarangan, izinnya harus lengkap,” ujarnya.
Bisa jadi benar bahwa Alliance tidak menangkap ikan sendiri. Tapi ada fakta lain yang juga menarik dicermati: Alliance punya hubungan khusus dengan dua perusahaan penangkap ikan PT Wailan Pratama dan CV Wailan Pratama. Kedua perusahaan yang sebagian sahamnya dimiliki oleh Ansje Fenny Wowor itu memasok bahan baku ikan kepada Alliance.
Lalu, apa menariknya? Lihatlah putusan sidang Pengadilan Negeri Bitung Nomor 99/Pdt.G/2014/PN Bit. Di situ diungkap bahwa pernah terjadi konversi atas utang Alliance ke PT Wailan Pratama senilai US$ 500 ribu menjadi kepemilikan saham alias debt to equity swap.
Utang Alliance itu muncul sehubungan dengan pasokan ikan beku dari PT Wailan Pratama yang belum dilunasinya. Sebagai bagian dari aksi korporasi itu, Ansje pun diangkat sebagai salah satu Direktur di Alliance sejak Oktober 2009.
Secara terpisah, Direktur PT Sinar Pure Foods Aksel Thenderan juga menyangkal keras tudingan Susi. Dia menjelaskan bahwa pasokan bahan baku perusahaannya didapat dari kapal-kapal lokal. Selain itu, perusahaan tidak memiliki kapal penangkap ikan. “Sinar itu tidak ada kapal, tapi (melakukan aktivitas) produksi,” ujarnya pada 23 Maret lalu.
Keterangan Aksel juga bisa jadi benar. Tapi yang menarik, data di Direktorat Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan KKP menyebutkan, Sinar bermitra dengan enam perusahaan dan dua pengusaha di bisnis penangkapan ikan yang menggunakan kapal eks-asing dan tercatat sebagai pemasok bahan baku kepadanya.
Enam perusahaan mitra itu adalah PT Virgo Internusa, PT Karunia Laut, PT Sinar Pesona Laut, PT Starcki Indonesia, PT Ivanda Mardy Jaya, dan PT Icinrab Bahari Timur. Adapun dua pemilik kapal eks-asing perseorangan itu adalah Riyanto dan Hendra Hutahaean.
Total kapal eks-asing dari delapan pihak tersebut mencapai 104 unit, dengan berat total 14.327 gross ton. Berdasarkan catatan KKP, sepanjang 2014 lalu, ternyata tak semua kapal eks-asing itu bersandar di Bitung.
PT Ivanda Mardy Jaya, misalnya, hanya menyandarkan empat dari 12 kapalnya dengan frekuensi 1-5 kali setahun. Kapal ini dimiliki oleh Adelaida Ansar, yang juga pemilik kapal PT Karunia Laut.
Hasil Analisis dan Evaluasi (Anev) tim Satuan Tugas 115 KKP menyebutkan bahwa enam dari 26 kapal eks-asing milik PT Karunia Laut terindikasi melakukan transhipment ke Filipina. Adapun kegiatan penangkapan ikan kapal milik PT Ivanda Mardy Jaya dilakukan dengan tidak mengaktifkan alat pemantau Vessel Monitoring System (VMS) yang ada di kapal mereka.
Kapal eks-asing milik PT Virgo Internusa tak berbeda jauh kondisinya. Dari 23 kapal eks-asing miliknya, yang tercatat sebagai pemasok Sinar Pure Foods, hanya enam kapal yang membawa hasil tangkapannya ke Bitung dengan frekuensi sandar 2-4 kali setahun. Karena itu, diduga perusahaan ini pun melakukan transhipment ke Filipina.
Sementara itu, transshipment menuju Papua Nugini diduga dilakukan oleh PT Starcki Indonesia dan PT Icinrab Bahari Timur. Beberapa kapal milik Starcki bahkan pernah berlabuh di Tropicana Beach, General Santos, Filipina. Kapal-kapal tersebut diduga mengekspor ikan ke Filipina tanpa sepengetahuan Bea Cukai.
Hal menarik lainnya, Aksel juga memiliki hubungan lama dengan salah seorang Direktur Sinar lainnya, yaitu Andrestine Templado Tan dari San Andres Fishing Industries (SAFI). Pada 2013, dia pernah memesan dua kapal penangkap ikan dengan bobot mati 199 gross ton kepada SAFI Shipyard Gensan untuk PT Pathemaang Raya.
Pathemaang merupakan perusahaan penangkap ikan yang dinahkodai Aksel dan memiliki 13 kapal eks-asing dengan total bobot mati mencapai 1.473 gross ton. Kapal-kapal tersebut tercatat sebagai pemasok bahan baku untuk PT Carvinna Jaya, perusahaan UPI yang juga dimiliki Aksel dan ikut disorot Menteri Susi.
Dari 13 kapal eks-asing milik Pathemaang itu, ternyata hanya 10 di antaranya yang tercatat menyandarkan hasil tangkapan di Bitung pada 2014. Hasil Anev Satgas 115 KKP juga menemukan empat kapal terindikasi melakukan transhipment di perbatasan Laut Sulawesi, dan diduga hasil tangkapan dilarikan ke Filipina.
Menurut cerita seorang pelaku industri perikanan di Bitung, dulu memang banyak kapal eks-asing yang tidak menyandarkan hasil tangkapannya ke Bitung. Sebagian besar hasil tangkapan langsung dilarikan ke General Santos, Filipina.
Ini dikarenakan pemilik sesungguhnya kapal-kapal eks-asing itu tetap pengusaha asal Filipina atau negara asal kapal tersebut dibuat, meski di atas kertas tercatat milik warga negara Indonesia. Orang-orang Indonesia yang bekerja dengan sistem inilah yang disebut sebagai agen.
“Mereka seolah-olah melakukan jual-beli kapal di Filipina dan kemudian keluar yang namanya Deed of Sale. Setelah itu, mereka melakukan deletion (penghapusan bendera) asal untuk kemudian diekspor ke Indonesia dan Hubla (Dinas Perhubungan Laut) mengeluarkan Grosse Akta,” ujarnya.
Untuk pengurusan pergantian kebangsaan kapal, agen menetapkan biaya Rp 250-300 juta per satu set kapal, yang terdiri dari kapal penangkap ikan, kapal pengumpul, dan kapal lampu (lightboat). Selain itu, setiap bulannya agen mendapatkan royalti US$ 5.000 per kapal.
“Dia juga dapat bagian 30 persen dari hasil tangkapan,” kata si sumber.
Di jagad bisnis perikanan di Bitung, nama Aksel memang tak asing. Dia dikenal sebagai salah satu agen yang paling lama berbisnis dengan Filipina.
Berbeda dengan tudingan yang dialamatkan pada perusahaan yang terkait dengannya, Aksel enggan menjawab tudingan dirinya sebagai agen kapal eks-asing untuk pemodal Filipina. Pesan singkat yang kami kirim ke telepon genggamnya pada 24 Maret lalu hanya dibaca, tidak lagi berbalas. Dia juga tidak mengangkat panggilan ke telepon genggamnya.
RD Pacific
Lantas bagaimana dengan RD Pacific Internasional? Perusahaan pengolahan ikan di bawah payung RD Corporation milik konglomerat Rodrigo E. Rivera Sr., ini juga tak sepi dari sorotan. Salah seorang direkturnya adalah Ronnel Chua Rivera, anak ketiga Rodrigo yang juga Walikota General Santos, Filipina, sejak 2016.
RD memulai bisnisnya di Bitung dengan menjalankan beberapa kapal penangkap ikan pada 2009. Adapun pabrik pengolahan ikan baru mereka bangun pada 2014. Ada suara miring yang menyatakan, UPI itu dibangun RD sesungguhnya sekadar untuk memenuhi persyaratan perizinan.
Sebab, dalam pasal 50 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 5 tahun 2008 tentang Usaha Perikanan Tangkap, digariskan bahwa setiap orang atau badan hukum asing yang akan melakukan usaha penangkapan ikan, harus melakukan investasi usaha pengolahan dengan pola usaha perikanan tangkap terpadu. Pola terpadu ini dilakukan dengan membangun dan/atau memiliki sekurang-kurangnya UPI di dalam negeri.
Seorang sumber menceritakan, kegiatan di pabrik pengolahan RD ditenggarai hanya untuk loin, yakni pemisahan daging putih ikan dari kulit dan tulang. Loin tersebut kemudian dikirim ke pabrik milik RD Corp lainnya di Papua Nugini, untuk kemudian diolah menjadi tuna kalengan dan dipasarkan ke Timur Tengah dan Spanyol.
Direktur Utama RD Pacific Michael Bulaong Timoteo saat ditemui di sebuah hotel di Jakarta, pertengahan Maret lalu, memilih tak berkomentar banyak. Yang pasti, kata dia, perusahaannya akan mengikuti aturan yang dikeluarkan pemerintah Indonesia.
Ia juga menyangkal UPI yang dibangunnya di Bitung sekadar kamuflase. Sebab, dana investasi yang sudah dikucurkan untuk membangun pabrik pengolahan dengan kapasitas maksimal 150 ton per hari itu tak kecil: mencapai Rp 412,2 miliar.
Ini menjadikannya sebagai UPI terbesar di Bitung. Karena itu, “Dengan investasi besar yang ada, kami harus ikuti aturan,” ujarnya.
Tentang tingkat utilisasinya yang terbilang sangat rendah, pihak RD berargumen, UPI yang mereka operasikan baru berdiri di kuartal keempat 2014. Sedangkan pada 2015, sudah diberlakukan kebijakan moratorium kapal eks-asing dan transhipment, yang membuat pasokan ikan ke pabriknya susut drastis.
Hal lain yang menjadi pegangan RD Pacific, berdasarkan hasil analisis dan evaluasi (Anev) KKP, mereka tidak termasuk dalam black list alias daftar hitam perusahaan perikanan. Hal ini tercantum dalam surat yang dikeluarkan KKP pada 11 Februari 2016.
Ihwal surat tersebut, salah seorang anggota Satuan Tugas Pemberantasan Penangkapan Ikan secara Ilegal, atau yang sering disebut Satgas 115, mengatakan, tidak masuk black list bukan berarti tidak ada pelanggaran yang diperbuat sama sekali.
Sebab, daftar hitam hanya berisi perusahaan yang melakukan tindak pidana berat, seperti perbudakan dan mark-down bobot kapal. “Ini mengacu pada hukum pidana,” ujarnya. Sedangkan yang pelanggarannya tergolong relatif ringan, seperti transhipment atau kurang bayar pajak, tak dimasukkan ke daftar itu.
Anev telah dilakukan terhadap 1.132 kapal eks-asing. Hasilnya ditemukan pelanggaran di semua kapal yang diperiksa. Hanya saja, untuk kapal-kapal yang tingkat kesalahannya masih bisa ditolerir, tidak dimasukkan dalam daftar hitam.
Ada tiga kriteria yang harus dipenuhi perusahaan penangkapan ikan agar tidak masuk dalam blacklist. Pertama, tidak dikenai sanksi administrasi berupa pencabutan Surat Izin Usaha Perikanan. Kedua, tidak menjalani proses penyelidikan dan/atau penyidikan oleh aparat penegak hukum. Ketiga, memiliki tingkat kepatuhan yang cukup baik atau masih dapat ditoleransi terhadap kewajiban perpajakannya.
Khusus soal RD, anggota Satgas tadi menyebutkan, salah satu pelanggaran yang diduga dilakukannya adalah praktik transhipment sebanyak enam kali. Indikasinya Sistem Pemantauan Kapal (VMS) dari kapal RD mati di lokasi tertentu. “Pelanggaran transhipment berdasarkan hasil Anev, yaitu berupa alih muat tanpa izin, tanpa observer, dan langsung dibawa keluar negeri.”
Manajer RD Pacific Franky Tumio tak menampik temuan Satgas tersebut. Menurut dia, beberapa orang pegawai RD terdahulu, termasuk kapten kapal, memang diketahui telah melakukan pelanggaran dengan memperjualbelikan hasil tangkapan di tengah laut.
Tapi, ia menegaskan, “Yang bersangkutan telah kami pecat.” RD pun selanjutnya hanya akan fokus di sektor pengolahan ikan dan menargetkan bisa memenuhi 50 persen kebutuhan bahan bakunya dari pasokan nelayan lokal.