Menperin Agus Khawatirkan Pasar Domestik Gegara Tarif Impor Trump
Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasamita menyatakan pemangku kepentingan harus memperkuat perlindungan pasar domestik dalam menghadapi dampak pengenaan tarif impor oleh Amerika Serikat. Hal tersebut disampaikan saat menanggapi adanya potensi investasi senilai US$ 250 juta atau sekitar Rp 4,2 triliun di industri hulu tekstil akibat peningkatan tarif di Negeri Hollywood.
Agus memaparkan perlindungan pasar domestik menjadi penting lantaran 80% dari semua hasil produksi sektor manufaktur dipasarkan di dalam negeri. Agus menilai negara-negara yang terdampak dari implementasi peningkatan tarif di Amerika Serikat pada paruh kedua tahun ini akan menyasar Indonesia sebagai pasar pengganti Negeri Paman Sam.
"Kita harus mengasumsikan akan ada negara-negara yang terdampak terhadap peningkatan tarif di pemerintahan Presiden Amerika Serikat Donald J Trump ini. Pasar selanjutnya yang paling seksi setelah Amerika Serikat adalah kita, Indonesia," kata Agus di Gedung DPR, Selasa (29/4).
Untuk diketahui, Cina mendapatkan peningkatan tarif di Amerika Serikat paling tinggi, yakni sebesar 145%. Sementara itu, lima dari 10 negara anggota ASEAN mendapatkan tarif yang lebih tinggi, seperti Kamboja (49%), Laos (48%), Vietnam (46%), Myanmar (44%), dan Thailand (36%).
Di samping itu, Agus menilai peningkatan investasi di dalam negeri akibat Tarif Trump merupakan strategi yang umum dilakukan pabrikan dengan berorientasi ekspor ke AS dan berada di negara terdampak. Sebab, peningkatan tarif yang dialami produk asal Indonesia di Negeri Hollywood sebesar 32%.
"Jadi, Indonesia dianggap lebih bersabar untuk mengirim barang-barang ke Amerika Serikat, itu strategi yang biasa di perusahaan. Namun yang harus digaris bawahi adalah jangan sampai negara terdampak menyasar Indonesia sebagai pasar baru," katanya.
Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) mengumumkan adanya investasi senilai US$ 250 juta atau sekitar Rp 4,2 triliun yang akan memasuki industri tekstil pada tahun ini. Investasi tersebut akan digunakan untuk reaktivasi mesin produksi oleh tiga perusahaan yang sudah ada, serta pembangunan pabrik baru yang berasal dari relokasi pabrik asal Cina.
Ketua Umum APSyFI Redma Wirawasta menjelaskan bahwa investasi ini didorong oleh dua faktor utama. Pertama, terbitnya rekomendasi pengenaan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) terhadap filamen, dan kedua, penambahan tarif oleh pemerintah Amerika Serikat (AS) untuk barang asal Cina.
"Tanpa negosiasi yang dilakukan pemerintah Indonesia untuk menurunkan tarif yang dikenakan pada barang lokal di AS, keempat investasi ini akan tetap berjalan," kata Redma kepada Katadata.co.id pada Selasa (29/4).
Namun, Redma menegaskan bahwa kunci realisasi potensi investasi tersebut terletak pada konversi rekomendasi BMAD filamen menjadi kebijakan resmi. Selain itu, Redma juga menekankan bahwa saat ini serat dan benang impor menguasai 54% pasar domestik, dan angka tersebut harus ditekan menjadi 25% agar investasi senilai Rp 4,2 triliun dapat terealisasi.
Saat ini, volume serat dan benang di pasar hanya sekitar 880.000 ton atau 46% dari kapasitas total. Akibatnya, tingkat utilisasi produksi industri tekstil pun turun menjadi hanya 45%. Ia memproyeksikan bahwa implementasi BMAD dapat meningkatkan utilisasi produksi industri tekstil domestik menjadi 70% pada tahun ini.
