Cina Beri Pinjaman ke Negara Berkembang Rp 2.842 T Tiap Tahun
Perekonomian yang terus meningkat mendorong Cina menjadi salah satu negara pendonor terbesar di sejumlah lembaga keuangan multilateral dunia. Melalui keterlibatannya ini, Cina menyalurkan pinjaman hampir US$ 200 miliar atau Rp 2.842 triliun (kurs Rp 14.210 per US$) setiap tahunnya kepada negara berkembang.
Berdasarkan studi Center for Global Development, Cina menjadi negara terbesar kedua dunia setelah Amerika Serikat dalam hal kepemilikan suara terkuat dalam voting di sejumlah lembaga multilateral dunia. Ini berkat porsi kepemilikan saham Cina yang semakin besar.
"Ada banyak perhatian pada pinjaman dari skema Belt and Road Initiative Cina kepada negara berkembang, tetapi jauh lebih sedikit yang memperhatikan keterlibatan Cina yang semakin kuat di lembaga-lembaga global seperti Bank Dunia. Sekarang kami memiliki gambaran yang lebih jelas tentang betapa pentingnya Cina bagi sistem internasional,” kata peneliti dari Center for Global Development Scott Morris, Kamis (18/11).
Penelitan ini menunjukkan Cina meningkatkan nilai dukungan keuangannya di sejumlah bank pembangunan dunia. Dengan total modal lebih dari US$ 66 miliar, Cina melampaui Jepang menjadi negara pendonor terbesar kedua dunia di sistem bank pembangunan dunia yang sering memberi pinjaman murah bagi negara miskin dan berkembang. Pinjaman itu sebagian besar untuk pembangunan infrastruktur.
Cina mendirikan dan menyumbangkan hampir US$ 40 miliar untuk dua bank pembangunan besar baru, Bank Investasi Infrastruktur Asia (AIIB) dan Bank Pembangunan Baru (NDB). Keduanya berkantor pusat di Cina.
Negeri Tirai Bambu berada di peringkat pertama sebagai negara pendonor di Bank Investasi Infrastruktur Asia (AIIB). Kontribusi Cina sebesar 31% dari total pembiayaan yang dikumpulkan ADB sebesar US$ 96,7 miliar.
"Cina memainkan peran kunci dalam mendirikan AIIB, mengadakan pertemuan awal 22 Asia negara-negara yang setuju untuk secara resmi mendirikan AIIB, dan menjadi tuan rumah kantor pusatnya di Beijing," tulis laporan tersebut.
Cina punya pengaruh kuat di Asia, sehingga tak heran kalau negara ini merupakan pendonor terbesar ketiga di Bank Pembangunan Asia (ADB). Cina berkontribusi 7,9% dari total pembiayaan yang dikumpulkan ADB sebesar US$ 147,1 miliar.
Negara ini juga memperluas cengkeramannya hingga ke Afrika. Negeri panda itu berkontribusi 2% dari total pendanaan US$ 33,9 miliar yang dikumpulkan oleh Bank Pembanguna Afrika (AfDB). Cina berada di urutan 12% sebagai pendor terbesar di lembaga tersebut.
Cina juga punya jejak cukup kuat di Bank Dunia, terutama di dua lembaga, yakni International Bank for Reconstruction and Development (IDRB) dan International Development Association (IDA). Cina berada di peringkat enam sebagai pendonor utama di IDA, yang menyediakan pinjaman konsesi kepada negara miskin. Sedangkan di IBRD peringkat 44, yang menyediakan pinjaman kepada negara berpendapatan menengah.
Selain itu, Cina juga menjadi pendonor terbesar kelima di berbagai badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang berfokus pada pembangunan. Ini termasuk Program Pembangunan PBB (UNDP), Program Pangan Dunia, dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Meski demikian, pada saat yang sama Cina tetap menjadi salah satu penerima donor terbesar dari sejumlah lembaga. Cina berada di antara sepuluh peminjam teratas di setiap bank tempat ia meminjam, meskipun sudah turun dari tempat kedua atau ketiga pada awal dekade ini.
Perusahaan-perusahaan Cina juga mendominasi kontrak pengadaan infrastruktur dan layanan sosial yang didanai oleh sejumlah bank pembangunan, khususnya dari Bank Dunia, ADB, dan AfDB. Pada tahun 2019 saja, lebih dari US$ 7 miliar mengalir ke perusahaan Cina, lebih banyak dari negara lain mana pun.
“Cina berada dalam posisi yang unik karena menjadi pendonor utama bersama negara-negara seperti AS dan Jepang, tetapi masih diuntungkan karena menerima miliaran dolar dalam pinjaman bersubsidi dan kontrak pengadaan. Ini membuat Cina punya cukup banyak kekuatan dan pengaruh di seluruh institusi ini," kata penelitian lainnya dalam laporan ini Sarah Rose.
Temuan ini muncul ketika Amerika Serikat dan pemerintah barat lainnya semakin memandang Cina sebagai pesaing strategis dalam memberikan bantuan kepada negara-negara berkembang. Tetapi laporan ini juga memperingatkan bahwa kehadiran Cina ini tidak selalu harus disikapi sebagai sebuah ancaman.
AS dan pemerintah negara lainnya diminta untuk terus mendorong Cina berkontribusi lebih banyak ke lembaga multilateral. Tetapi dengan memperhatikan standar transparansi. Ini dinilai lebih baik ketimbang membiarkan Cina tidak ikut serta dalam donor ke lembaga-lembaga tersebut.