Survei Indeks Persepsi Korupsi di 12 Kota Membaik

Dimas Jarot Bayu
23 November 2017, 10:28
e-KTP
ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A.
Perwakilan dari LSM, LBH, dan aktivis menggelar aksi simbolik kawal kasus korupsi e-KTP di kawasan Bundaran HI, Jakarta, 19 Maret 2017.

Survei Transparency International Indonesia (TII) atas Indeks Persepsi Korupsi (IPK) di 12 kota berdasarkan pandangan kalangan pelaku usaha selama dua tahun terakhir, menunjukkan perbaikan. Survei terakhir pada 2017 menghasilkan skor rata-rata IPK 60,8. Angka ini meningkat dibandingkan IPK 2015 yakni 54,7.

"Sudah terjadi banyak perbaikan pelayanan publik antara interaksi pelaku pelayanan dan kalangan pengusaha," kata Manajer Departemen Riset TII Wawan Suyatmiko di Hotel Le Meredian, Jakarta, Rabu (22/11).

Survei terakhir pada Juni-Agustus 2017 melibatkan 1200 responden yang berasal dari kalangan pelaku usaha. Survei dilakukan di 12 kota besar, antara lain Jakarta Utara, Pontianak, Pekanbaru, Balikpapan, Banjarmasin, Padang, Manado, Surabaya, Semarang, Bandung, Makassar, dan Medan.

(Baca: Survei LSI: Masyarakat Menilai Korupsi Meningkat 2 Tahun Terakhir)

TII memilih 12 kota dengan pertimbangan sebagai ibukota provinsi dan ikut berkontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Selain itu, 12 kota tersebut juga dianggap dapat mewakili tiga kawasan regional di Barat, Tengah, dan Timur Indonesia.

TII menerapkan lima indikator yang dijadikan penilaian, yakni prevalensi korupsi, akuntabilitas publik, motivasi korupsi, dampak korupsi dan efektivitas pemberantasan korupsi. Skala IPK menggunakan angka 0 berarti paling korup dan 100 paling baik. 

Berdasarkan hasil survei, Jakarta Utara menempati posisi pertama dengan skor IPK sebesar 73,9. Sementara, Medan menempati posisi paling bontot dengan skor IPK sebesar 37,4.

Blok daya saing lokal paling baik ditempati Banjarmasin dengan skor 72,6. Medan dinilai sebagai kota dengan daya saing lokal paling buruk karena hanya memiliki skor 50,1.

(Baca: Survei LSI: Semakin Religius Seseorang Tak Menjamin Bebas Korupsi)

Pada blok kemudahan berusaha, Banjarmasin juga dianggap sebagai kota yang paling baik dengan skor 68,1. Medan dinilai sebagai lokasi paling buruk dalam blok kemudahan berusaha dengan skor 41,1.

Kendati skor membaik, sebanyak 17% pelaku usaha mengaku pernah gagal dalam mendapatkan keuntungan. "Karena pesaing memberikan suap," kata Wawan.

Persepsi suap tertinggi tersebut terjadi di Kota Bandung dengan persentase 10,8% dari total biaya produksi. Sementara, kota dengan persentase biaya suap terendah adalah Makassar dengan persentase 1,8% dari total biaya produksi.

"Sektor lapangan usaha yang paling tinggi potensi suapnya adalah air minum, perbankan, dan kelistrikan," kata Wawan.

Sementara, instansi yang paling terdampak korupsi adalah legislatif, peradilan, dan kepolisian. "Sektor paling terdampak korupsi adalah perizinan, pengadaan, dan penerbitan kuota perdagangan," kata Wawan.

Adapun, sebanyak 61,5% pelaku usaha masih menilai bahwa korupsi bukanlah masalah penting. Hal ini menjadi faktor yang menghambat pemberantasan korupsi.

Sementara, 58,7% pelaku usaha menilai korupsi dibiarkan, 57,8% menilai korupsi bukan masalah prioritas, 53,9% menilai menganggap korupsi sebagai kebiasaan, dan 45,8% menilai korupsi tidak dipidanakan dengan tegas.

Kondisi tersebut, lanjut Wawan, menunjukkan masih rendahnya pemahaman para pelaku usaha tentang pemberantasan korupsi. Berdasarkan survei TII, hanya 3 dari 10 pelaku usaha yang mengetahui PP No 55/2012 tentang Stranas PPK Jangka Panjang 2012-2025 dan Stranas PPK Jangka Menengah tahun 2012-2014.

"Hanya 5 dari 10 pelaku usaha mengetahui adanya UU Tindak Pidana Korupsi," lanjut dia.

Atas permasalahan tersebut, TII merekomendasikan agar pemerintah, swasta, dan masyarakat sipil berperan aktif dalam upaya melawan korupsi di Indonesia. Pemerintah perlu juga mempertegas kebijakan antikorupsi.

"Khususnya Pemkot bisa berbenah dan menggunakan hasil survei sebagai acuan dalam menentukan kebijakan pemberantasan korupsi pada skala lokal. Institusi publik seperti kementerian dan dinas, aparat penegak hukum, dan juga Dewan Perwakilan Rakyat pada semua jenjang juga berbenah diri memperbaiki sistemnya," kata dia.

Selain itu, lanjut Wawan, pelaku usaha perlu memiliki kebijakan dan sistem antikorupsi dalam perusahaan. Hal ini dilakukan agar reputasi baik perusahaan terjaga dan terhindar dari risiko korupsi.

Editor: Yuliawati
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...