Mahalnya Teknologi Menghambat Riset Vaksin Covid-19

Image title
14 Agustus 2020, 15:21
Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir meninjau fasilitas produksi vaksin virus corona Bio Farma.
ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto/hp.
Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir meninjau fasilitas produksi vaksin virus corona Bio Farma.

Pengembangan vaksin virus corona atau Covid-19 tengah dikebut sejumlah negara untuk menangani wabah yang merebak secara global sejak pertengahan tahun. Namun pengembangannya menemui kendala, sebab industri farmasi global enggan menggelontorkan dana dalam jumlah besar untuk riset.

Manajer Senior Integrasi Riset dan Pengembangan PT Bio Farma Neni Nurainy mengatakan industri farmasi global enggan mendanai riset karena tidak ada jaminan vaksin virus corona akan selalu digunakan. Kontinuitas penggunaan vaksin menurutnya menjadi pertimbangan utama perusahaan farmasi dalam mengembangkan produk, karena biaya untuk riset serta produksi tergolong besar.

"Belum lagi perusahaan farmasi dituntut untuk memproduksi vaksin Covid-19 dalam jumlah besar dalam waktu yang singkat," kata Neni dalam sebuah forum diskusi daring, Jumat (14/8).

Ia menjelaskan vaksin Covid-19 ini jauh berbeda dibanding produk vaksin yang sudah digunakan secara rutin, seperti untuk polio atau campak. Mengacu pada sejarah kasus pandemi atau outbreak, seringkali kejadian sudah usai sebelum vaksin ditemukan sehingga industri farmasi sudah terlanjur mengeluarkan dana yang sangat besar untuk riset tanpa adanya produksi.

Contohnya saat pandemi H5N1 berakhir sebelum vaksin diberikan, kemudian kasus pandemi MERS dan SARS di mana vaksin baru dalam tahap atau fase pertama sudah berakhir.

Tantangan lain pengembangan vaksin virus corona adalah soal mahalnya biaya teknologi yang digunakan, karena jenis virus yang berkembang tidak compatible dengan teknologi pengembangan vaksin saat ini.

Manajer Penelitian Biomolokuler Australian National University Ines Atmosukarto menjelaskan virus corona merupakan jenis virus baru yang membutuhkan teknologi baru. Itu sebabnya, biaya pengembangan teknologi untuk meneliti dan memproduksi Covid-19 tergolong besar.

"Mahal karena penggunaan platfrom teknologi baru untuk mengembangkan vaksin virus corona belum banyak digunakan oleh perusahaan-perusahaan farmasi," kata Ines.

Lamanya pengembangan vaksin Covid-19 juga menjadi tantangan tersendiri, karena membutuhkan waktu hingga 15 tahun. Ines mengatakan untuk penelitian vaksin umumnya membutuhkan waktu hampir 10 tahun, kemudian proses uji klinis bisa memakan waktu empat hingga lima tahun. Alhasil, untuk mendapatkan vaksin dalam waktu kurang dari 12 bulan jelas membutuhkan biaya yang sangat besar.

Sebagai informasi, saat ini setidaknya ada 135 bakal vaksin virus corona yang telah ditemukan peneliti pada tahap pra-klinis. Kemudian ada 20 bakal vaksin Covid-19 yang memasuki fase uji coba pertama, 11 vaksin yang memasuki uji coba fase kedua, delapan vaksin di fase uji coba ketiga dan dua vaksin telah mendapatkan persetujuan penggunaan terbatas.

Indonesia sendiri melalui Bio Farma juga mengembangkan vaksin Covid-19 dengan menggandeng perusahaan Tiongkok, Sinovac Biotech Ltd. Pengembangannya saat ini tengah memasuki uji klinis tahap ketiga. Selain itu, perusahaan juga berencana mengimpor bakal vaksin Covid-19 dari Inggris untuk uji coba.

Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir memperkirakan pemerintah membutuhkan dana US$ 4,5 miliar atau Rp 66 triliun untuk menyuntikkan vaksin pada 160-190 juta penduduk Indonesia. Ia berharap distribusi tahap pertama dilakukan Januari-Februari 2021 dan akan dilakukan dua kali dengan kisaran harga US$ 15 per vaksin.

"Asumsi vaksinasi 300 juta kali dengan US$ 15 per vaksin, berarti sudah US$ 4,5 miliar," kata Erick dalam sebuah sesi wawancara, Jumat (7/8).

Reporter: Tri Kurnia Yunianto

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...