Pentingnya Keterlibatan Multi-Aktor dalam Tata Kelola Pemerintahan
Jakarta (22/03) – Kompleksitas masyarakat dan pergeseran perspektif administrasi negara mengubah tata kelola menjadi agenda dan standar bagi penyelenggaraan negara. Tata kelola pemerintahan yang baik didefinisikan sebagai suatu penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab yang sejalan dengan prinsip demokrasi, penghindaran salah alokasi dana investasi, dan pencegahan korupsi, baik secara politik maupun administratif.
Permintaan masyarakat terhadap peningkatan kualitas pelayanan publik dan kesejahteraan meningkat seiring dengan kompleksnya kebutuhan masyarakat, sehingga paradigma yang menganggap pemerintah sebagai aktor tunggal pemerintahan negara telah beralih ke paradigma pemerintahan yang melibatkan tiga pelaku utama, yaitu pemerintah, sektor swasta dan masyarakat sipil. Keterlibatan multi-aktor dalam penyelenggaraan pemerintahan ini juga penting dalam mendorong terciptanya kebijakan berbasis bukti.
Untuk lebih jauh membahas tantangan dan rekomendasi kebijakan terkait tata kelola pemerintahan yang mencakup aspek pengadaan barang dan jasa pemerintah, peraturan perundang-undangan, perumusan dan perencanaan pembangunan, Knowledge Sector Initiative (KSI) menyelenggarakan webinar berkonsep Ruang Bincang dengan tema “Tata Kelola dalam Penyusunan Kebijakan”. Webinar ini merupakan Ruang Bincang ke-tiga dari rangkaian Konferensi Knowledge-to-Policy (K2P) yang merupakan salah satu rangkaian kegiatan penutupan KSI untuk menampilkan produk pengetahuan dan pencapaian mitra KSI. Konferensi K2P menghadirkan 9 sesi Ruang Bincang dan 6 sesi Titik Temu dengan 86 pembicara dan penanggap. Konferensi ini menjadi wadah pertemuan dan pertukaran diskusi untuk menekankan pentingnya integrasi pengetahuan ke kebijakan untuk menghasilkan kebijakan yang tepat sasaran serta pentingnya lembaga think tank sebagai aktor dalam proses penyusunan kebijakan yang lebih inklusif dan berbasis bukti di Indonesia.
Hadir sebagai penanggap, Sekretaris Badan Strategi Kebijakan Dalam Negeri, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Kurniasih, yang menanggapi rekomendasi kebijakan dari pembicara dalam konteks peran Kemendagri dalam mendorong tata kelola pemerintahan yang lebih baik, terutama di daerah. "Terkait tumpang tindih regulasi, solusinya dengan lebih memaksimalkan fungsi Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) dan Dirjen Peraturan Perundang-Undangan. BPHN dan Dirjen perundang-undangan ini melihat lagi, mengidentifikasi seluruh regulasi di level pusat yang akan diimplementasikan di daerah,” kata Kurniasih.
Lebih lanjut, Plt. Direktur Regional II, Kedeputian Bidang Pengembangan Regional, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, Mohammad Roudo, menanggapi poin-poin pembicara dalam konteks peran Bappenas dalam menjembatani kolaborasi multi-pihak dalam penyusunan kebijakan berbasis bukti dan perencanaan pembangunan pada level regional dan daerah.
“Ekosistem ekonomi dan politik yang kondusif dapat dicapai melalui tiga hal. Pertama, perlunya koordinasi, kolaborasi penta-helix antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, peneliti, dan kebijakan sebagai modal dasar. Kedua, penyusunan kebijakan, termasuk dari perencanaan, dilandasi dengan basis bukti, data, informasi. Ketiga, memastikan enabling environment untuk mendorong inovasi,” kata Roudo.
Sebelumnya, peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), M. Nur Solikhin, menjelaskan tentang permasalahan tata kelola peraturan perundang-undangan di Indonesia saat ini, upaya yang sudah dijalankan pemerintah Indonesia dalam menyelesaikan permasalahan tata kelola peraturan perundang-undangan serta proyeksi perbaikan tata kelola peraturan perundang-undangan ke depan.
Dari sisi proses perencanaan pembangunan yang berkaitan dengan tata kelola pemilu, peneliti Cakra Wikara Indonesia (CWI), Heru Samosir, menjelaskan proses perencanaan pembangunan di tiga Undang-Undang (UU 5/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, UU 7/2017 tentang Pemilihan Umum, UU 10/2016 tentang Pilkada) serta rekomendasi kebijakan dari CWI untuk mendorong proses perumusan perencanaan pembangunan yang lebih inklusif dan partisipatif terkait tata kelola pemilu. Sementara itu, Deputi Yayasan BaKTI, Zusanna Gosal, menyampaikan pembelajaran dalam mendorong tata kelola efektif di tingkat lokal untuk memajukan kerjasama multi-aktor dan multi-disiplin dari program rintisan Pengetahuan-ke-Kebijakan di Sulawesi Selatan.
Dari sisi tata kelola pendanaan penelitian, peneliti AKATIGA, Rahmad Efendi, menjelaskan bagaimana tata kelola Swakelola Tipe III dapat mendorong kerjasama multi-aktor seperti pihak swasta, ormas dan lembaga think tank untuk mendukung pemerintah dalam perencanaan, pelaksanaan dan monitoring serta evaluasi pembangunan. Lebih lanjut, Manajer Advokasi Seknas FITRA, Ervyn Kaffah, memaparkan praktik baik dan pemanfaatan dari mekanisme tata kelola Swakelola Tipe III di tingkat nasional dan daerah beserta rekomendasi kebijakan terkait perbaikan.
Hasil diskusi ini menyimpulkan bahwa tumpang tindih regulasi yang selama ini menjadi penghambat tata kelola penyusunan kebijakan pemerintah dapat dimaksimalkan dengan peran Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) dan Dirjen Perundang-Undangan, tidak membentuk badan lain selevel badan regulasi nasional, mengoptimalkan biro hukum di masing-masing Kementerian/Lembaga, dan berkolaborasi dengan organisasi perangkat daerah (OPD) untuk mendorong inovasi.
Bappenas di tingkat nasional bekerjsama dengan KSI dan Kemendagri untuk menyusun dua policy brief sebagai upaya replikasi knowledge-to-policy (K2P) di tingkat pusat sebagai masukan terhadap perbaikan forum-forum perencanaan. Hal ini dapat menjadi pedoman bagi daerah dalam mengusulkan proyek kegiatan dalam forum perencanaan di pusat dengan lebih matang. Masukan tersebut telah disampaikan secara resmi oleh KSI, Bappenas akan mendorong tindak lanjut kepada direktorat terkait untuk mewujudkan roadmap kolaborasi dan epistemik komoditi daerah.