Proses Panjang Pemecatan Terawan dari IDI

Aryo Widhy Wicaksono
31 Maret 2022, 19:48
Dokter Terawan Agus Putranto saat masih menjabat Menteri Kesehatan.
ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari/hp.
Dokter Terawan Agus Putranto saat masih menjabat Menteri Kesehatan.

Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) Ikatan Dokter Indonesia (IDI) memberikan penjelasan terkait alasan di balik rekomendasi pemecatan terhadap mantan Menteri Kesehatan dr. Terawan Agus Putranto dari keanggotaan IDI.

Ketua MKEK IDI, dr Djoko Widyarto JS, menyebut keputusan pemberhentian ini bukan melalui proses singkat, karena sebelumnya Terawan telah mendapatkan kesempatan untuk pembelaan diri.

"Prosesnya sudah sejak Muktamar IDI ke-30 di Samarinda pada 2018, tapi saat itu keputusan belum sempat terlaksana karena pertimbangan khusus," kata Djoko melalui konferensi pers di Jakarta, Kamis (31/3) seperti dikutip dari Antara.

Ia memastikan bahwa pelanggaran berat kode etik yang diduga dilakukan Terawan tidak berkaitan dengan jabatan sebagai Menteri Kesehatan RI maupun Vaksin Nusantara.

"Sekali lagi, hal-hal berkaitan dengan jabatan sebagai menteri kewenangannya di tangan Presiden. Tidak ada kaitan dengan vaksin," katanya.

Djoko mengatakan PB IDI juga telah memfasilitasi kesempatan kepada Terawan untuk dapat membela diri terhadap tuduhan pelanggaran kode etik.

Mengenai pelanggaran kode etik yang dilakukan Terawan, Djoko merujuk kepada Pasal 50 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Pada penjelasan di pasal tersebut tercantum tiga komponen utama sebagai standar profesi, yaitu skill, knowlege dan profesional attitude.

"Ini ada etika kedokteran, setiap profesi selalu ditandai kode etik profesi," katanya.

MKEK pun memberikan batas waktu 28 hari bagi Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) untuk menjalankan hasil putusan Muktamar XXXI terkait pemberhentian Terawan dari keanggotaan.

Selain merekomendasikan pemecatan terhadap Terawan, Muktamar IDI di Banda Aceh pada 22-25 Maret 2022 juga memutuskan rekomendasi lainnya, yakni transformasi IDI baru atau IDI reborn, peningkatan mutu pelayanan dan profesi kedokteran, kemudian terakhir IDI Menjadi mitra strategis pemerintah serta bersinergi dengan stakeholder terkait.

Sebelumnya, Epidemiolog dari Universitas Indonesia, Pandu Riono, menjelaskan perjalanan panjang proses pemecatan terhadap Terawan.

Pada awalnya, IDI menerima laporan mengenai terapi terhadap pasien stroke iskemik kronik, menggunakan metode digital subtraction angiopgraphy (DSA) pada 2013.

Berdasarkan penjelasan di situs Stanford Health Care, metode DSA sebenarnya lumrah dalam dunia kedokteran. Metode ini dilakukan untuk memberikan gambaran pembuluh darah di otak dalam mendeteksi penyakit stroke. Caranya dengan memasukkan kateter lewat arteri di kaki dan mengalirkannya ke pembuluh darah di otak.

Selanjutnya, petugas akan menyuntikkan cairan kontras yang bisa memberikan gambaran lengkap tentang pembuluh darah di organ dalam.

Akan tetapi, Terawan selain menyuntikkan cairan kontras, juga memasukkan heparin ke pembuluh darah. Heparin merupakan obat khusus yang fungsinya untuk mengencerkan darah. Teknik ini yang kemudian lebih dikenal dengan istilah 'cuci otak'.

Teknik cuci otak ala Terawan ini dinilai tidak dilakukan berdasarkan penelitian ilmiah.

Setelah laporan itu, MKEK menggelar audiensi dengan Terawan pada 30 Agustus 2013. Dalam audiensi ini, Terawan berjanji akan menuliskan dasar-dasar bukti ilmiah tindakan medis ini di sebuah media. Akan tetapi, janji itu tak kunjung terpenuhi.

Hingga akhirnya pada 2018, Terawan dijatuhi sanksi pemberhentian sementara selama satu tahun. IDI juga memberikan kesempatan kepada Terawan untuk memberikan klarifikasi serta menunjukan Evidence-based Medicine (EBM) terhadap terapi yang dilakukan.

Setelah rekomendasi pemberhentian sementara keluar, terjadi mediasi dengan berbagai pihak, "Kemenkes (Kementerian Kesehatan), TNI ikut membantu," ungkap Pandu.

Meski begitu, pascamediasi tetap saja Terawan tak juga mempublikasikan dasar-dasar bukti ilmiah terhadap tindakan medis ini. "Terawan merasa sudah selesai, padahal belum dan harus diselesaikan," jelas Pandu.

Hingga akhirnya Terawan dipercaya Presiden Joko Widodo menjadi Menkes, IDI pun melayangkan surat untuk memberi tahu mengenai status Terawan yang sedang menjalani proses etik di MKEK IDI.

Menurut Pandu, masalah pelanggaran terhadap Kode Etik dokter penting untuk ditindak karena dalam menjalankan profesi, dokter bertujuan melindungi keselamatan publik. "Di situlah peran organisasi profesi dokter untuk menjaga agar dokter tetap menjalankan.

Terkait metode cuci otak ini, melalui konferensi pers pada 2018, Terawan menjelaskan metode terapinya telah teruji secara ilmiah, karena menjadi disertasi saat ia meraih gelar doktor dari Universitas Hasanuddin. "Kalau itu diuji secara ilmiah sudah dilakukan melalui disertasi, dan disertasi sebuah universitas terpandang, menurut saya harus dihargai," kata Terawan di RSPAD, Rabu, 4 April 2018.

Menurut hipotesisnya, memasukkan heparin dalam pembuluh otak dapat meningkatkan aliran darah hingga 20% dalam jangka waktu 73 hari.

Reporter: Antara

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...