Putusan Uji Materi Usia Capres Dinilai Berpotensi Konflik Kepentingan

Ira Guslina Sufa
11 Oktober 2023, 14:32
Capres
ANTARA FOTO/Galih Pradipta/tom.
Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman (kiri) bersama Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh (kanan) memimpin jalannya sidang di Gedung MK, Jakarta, Kamis (14/9/2023).

Mahkamah Konstitusi menjadwalkan sidang pembacaan putusan uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum pada Senin (16/10). Uji Materi dengan nomor perkara 29/PUU-XXI/2023 diajukan oleh Dedek Prayudi menggugat pasat 169 huruf q UU Pemilu mengenai syarat usia minimal 40 tahun bagi calon presiden dan calon wakil presiden. 

Putusan final soal batas usia calon presiden dan calon wakil presiden itu diputuskan pada rapat finalisasi yang berlangsung Selasa (10/10), Putusan digodok lewat  Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH). Hasil rapat akan dibacakan dalam sidang pada Senin (16/10) dengan agenda pembacaan putusan. 

Juru Bicara Mahkamah Konstitusi Fajar Laksono mengkonfirmasi bahwa rapat permusyawaratan hakim itu telah mengantongi putusan final soal gugatan usia capres dan cawapres. “Kalau sudah diagendakan sidang pengucapan putusan, ya berarti memang putusan sudah siap untuk diucapkan,” ujar Fajar saat dikonfirmasi Katadata.co.id pada Rabu (11/10). 

Dilansir dari laman resminya, sepanjang tahun 2023 MK telah menerima 27 permohonan terkait Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Permohonan terakhir yang diajukan kepada MK terjadi pada 18 September 2023 lalu oleh Gugum Ridho Putra. Namun pada Senin pekan depan, MK hanya akan membacakan putusan untuk 7 perkara. 

Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Petrus Selestinus menilai hakim Mahkamah Konstitusi (MK) berpotensi memiliki konflik kepentingan dalam memutus perkara gugatan terkait usia capres dan cawapres. Hal itu lantaran uji materi tersebut langsung berkaitan dengan penentuan calon presiden dan calon wakil presiden yang akan ikut pemilu 2024 mendatang. 

Menurut Petrus, selama ini permohonan perubahan batas usia pejabat publik dilakukan melalui proses dan mekanisme legislasi antara DPR dan Pemerintah. Hal itu lantaran persoalan usia berkaitan dengan kebijakan hukum terbuka atau open legal policy.

Petrus mencontohkan produk hukum, khususnya terkait batas usia jabatan publik, yang pernah digodok lewat legislasi di DPR ialah Undang-Undang (UU) Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, di mana saat itu mengubah batas usia minimum capres dan cawapres dari 35 tahun menjadi 40 tahun. Selanjutnya, dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, batas usia minimum capres dan cawapres diputuskan tetap pada 40 tahun.

Begitu pula perubahan batas usia minimum dan maksimum hakim MK. Pada UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, usia hakim ditetapkan minimum 40 tahun dan pensiun pada usia 67 tahun. Kemudian, batas minimum usia hakim MK itu diubah melalui open legal policy DPR menjadi 47 tahun dan pensiun di usia 65 tahun.

"Segala perubahannya dilakukan dengan cara mengubah UU melalui proses legislasi di DPR dan Pemerintah, karena menyangkut apa yang disebut open legal policy yang menjadi domain DPR dan Pemerintah, bukan domain MK lewat uji materi UU," ujar Petrus. 

Menurut dia, pada perubahan UU MK dan UU Pemilu tersebut, MK tetap konsisten tunduk pada pendirian bahwa perubahan batas usia minimum dan/atau maksimum jabatan publik merupakan kebijakan open legal policy yang masuk dalam domain atau kewenangan DPR dan Pemerintah melalui proses legislasi. Karena itu ia menyarankan hakim MK mengundurkan diri dari proses uji materi itu. 

"Tidak tertutup kemungkinan hakim-hakim MK pun akan sangat bernafsu mengubah usia minimum calon hakim MK dan sekaligus memperpanjang batas usia pensiun hakim MK melalui uji materi untuk kepentingan dirinya atau kroninya kelak," kata Petrus.

Selain itu, Petrus mengatakan konflik kepentingan dari uji materi batas usia capres-cawapres juga berpotensi sarat kepentingan lantaran Ketua MK Anwar Usman memiliki hubungan kekerabatan dengan Presiden Joko Widodo. Hal itu berkaitan dengan isu bahwa salah satu tokoh yang akan diusung menjadi cawapres untuk Pemilu 2024 dan terkendala syarat batas usia ialah Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming Raka yang merupakan keponakan Jokowi.

Deretan Perkara Soal Usia Capres

Perkara 29/PUU-XXI/2023 masuk ke mahkamah konstitusi pada 9 Maret 2023. Gugatan diajukan oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI) diwakili oleh Giring Ganesha Djumaryo dan Dea Tunggaesti sebagai Pemohon I, Anthony Winza Probowo sebagai pemohon II, Danik Eka Rahmaningtyas sebagai Pemohon III, Dedek Prayudi sebagai Pemohon IV, dan Mikhail Gorbachev Dom sebagai pemohon 5. Gugatan itu meminta MK menurunkan batas usia capres dan cawapres dari 40 tahun menjadi 35 tahun.  

Selanjutnya pada perkara nomor 51/PUU-XXI/2023 yang diajukan Partai Garuda, terdapat penambahan frasa pengalaman sebagai penyelenggara negara. Penambahan frasa ini diminta dapat menjadi syarat alternatif selain usia minimum 40 tahun.  

Gugatan lain dengan perkara yang sama teregister dengan perkara nomor 55/PUU-XXI/2023 yang diajukan dua kader Gerindra yakni Wali Kota Bukittinggi Erman Safar dan Wakil Bupati Lampung Selatan Pandu Kesuma Dewangsa. Gugatan itu mengajukan petitum yang sama dengan Garuda yaitu penambahan frasa.  Pada Senin pekan depan, 

MK juga akan memutus perkara sejenis pada perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 dengan pemohon Almas Tsaqibbirru, dan perkara 91/PUU-XXI/2023 dengan pemohon Arkaan Wahyu. Ada juga perkara  92/PUU-XXI/2023 dengan pemohon Melisa Mylitiachristi Tarandung, dan perkara 105/PUU-XXI/2023 dengan pemohon Soefianto Soetono dan Imam Hermanda.

Reporter: Ade Rosman

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...