Dorong Revisi UU Wantimpres, Gerindra Ingin Perkuat Kedudukan Presiden
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berencana menghidupkan kembali Dewan Pertimbangan Agung (DPA) lewat revisi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres). Gerindra mendorong rencana menghidupkan kembali DPA untuk menguatkan sistem pemerintahan presidensial.
Sekretaris Jenderal Partai Gerindra Ahmad Muzani menyebut perdebatan mengenai sistem pemerintahan menjadi presidensial yang berpusat di presiden merupakan wacana lama.
Wakil Ketua MPR itu mengatakan dalam praktiknya terdapat nuansa parlementer meskipun Indonesia memberikan kewenangan kepada presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan.
"Kami pelan-pelan menguatkan sistem pemerintahan presidensial sebagai sistem pemerintahan yang sudah kita pilih sebagai lembaga yang dipilih langsung oleh rakyat, presiden merasa perlu untuk melakukan penyempurnaan atas sistem tersebut," kata Muzani di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (16/7).
Muzani menyebut keleluasan itu tidak menabrak konstitusi lantaran sebagai bagian dari mengefektifkan sistem presidendial. "Enggak (menabrak konstitusi), tidak, karena ini bagian dari mengefektifkan sistem pemerintahan presidensial," kata dia.
Pakar Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti, menilai revisi UU Nomor 19 Tahun 2006 tidak menguntungkan publik. Menurutnya, undang-undang ini justru menguntungkan para elite politik.
“Makanya diburu-buru. Dibuat sebelum pemerintahan baru, biar bisa diberi jabatan,” kata Bivitri pada Katadata, Jumat (12/7).
DPR sudah mengesahkan revisi undang-undang ini sebagai usul inisiatif DPR dalam Rapat Paripurna Kamis (11/7) kemarin. Pengesahan ini hanya butuh waktu singkat untuk menyusun RUU Wantimpres hingga dibawa ke rapat paripurna.
Padahal, revisi UU Wantimpres ini tidak masuk dalam program legislasi nasional atau Prolegnas prioritas 2020–2024. Bivitri menyatakan revisi undang-undang ini berada dalam kategori yang sama dengan UU Kementerian Negara.
Dengan dua undang-undang ini, akan ada berbagai jabatan baru yang muncul dan bisa diisi oleh konfigurasi politik yang memenangkan Pemilu 2024 lalu. “Saya rasa ini ada kaitannya dengan Presidential Club (yang digagas oleh Prabowo Subianto),” kata Bivitri.
Pengajar di Sekolah Tinggi Hukum atau STH Indonesia Jentera ini menggolongkan undang-undang yang tengah digodok DPR dalam dua kelompok. Pertama, undang-undang untuk membagi kekuasaan seperti Revisi UU Wantimpres dan UU Kementerian negara. Kedua, undang-undang untuk mematikan pengawasan dari publik seperti UU TNI Polri.
Bivitri juga menyoroti perubahan nomenklatur dari Wantimpres menjadi Dewan Pertimbangan Agung atau DPA. Menurutnya ini ganjil, karena setelah amandemen keempat UUD 1945, DPA digantikan dengan sebuah dewan bernama Wantimpres.
Dalam amandemen keempat UUD 1945, Wantimpres sendiri bukanlah sebuah lembaga. Bivitri mengatakan presiden tidak butuh lembaga penasihat khusus karena ia sudah punya menteri dan staf khusus dengan tugas sebagai penasihat. “Ini mau dibalikin lagi, seperti Orde Baru lagi,” ujar Bivitri.