Perjalanan Kasus Ronald Tannur, Dakwaan Pembunuhan hingga Vonis Bebas
Putra mantan anggota DPR RI Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, Edward Tannur, Gregorius Ronald Tannur divonis bebas oleh Majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya dalam kasus pembunuhan Dini Sera Afriyanti.
Mulanya kasus ini terungkap setelah Ronald melaporkan tewasnya korban ke Kepolisian Sektor Lakarsantri Oktober 2023 lalu. Petugas kepolisan lalu menggelar olah TKP di kawasan Lenmarc Mall di Jalan Mayjen Jonosewejo, Lakarsantri, Surabaya.
Dari olah TKP, kepolisian menemukan sejumlah kejanggalan dari kejadian yang mengakibatkan meninggalnya korban. Dari hasil pendalaman perkara, korban dan pelaku bersitegang usai karaoke bersama dengan teman-temannya.
Dalam pertengkaran itu, Ronald menendang kaki kanan korban hingga dalam posisi jatuh terduduk. Dari rekaman terlihat korban juga dipukul dua kali menggunakan botol miras Tequila.
Pertengkaran berlanjut ke basement tempat parkir kendaraan. Saat itu, korban yang duduk bersandar di pintu kendaraan sebelah kiri tak dihiraukan oleh Ronald yang memasuki dan langsung memacu mobil yang mengakibatkan bagian tubuh korban terlindas. Korban juga sempat terseret sejauh 5 meter.
Ronald lalu membawa korban yang tengah dalam keadaan lemas ke apartemen Tanglin Orchard PTC. Kala itu sambil menekan dada korban, Ronald mencoba memberikan napas buatan.
Lantaran korban tak memberikan reaksi apapun, Ronald lantas membawanya ke Rumah Sakit National Hospital. Namun nyawa korban tak terselamatkan.
Kepolisian pun mengotopsi jenazah korban ke RSUD Dr Soetomo Surabaya. Temuan tim dokter forensik RSUD Dr. Soetomo mengungkapkan ditemukan luka memar di kepala sisi belakang. Juga ditemukan luka di beberapa tempat lain seperti leher, perut, tungkai dan paha.
Polres Kota Besar Surabaya lalu menggelar rekonstruksi perkara pada 10 Oktober 2023. Ada total 41 reka adegan di lima titik yakni tempat karaoke Blackhole KTV, lift di basement Lenmarc Mall, Apartemen Orchard, dan National Hospital.
Polisi menjerat Ronald dengan pasal penganiayaan dengan ancaman maksimal 12 tahun penjara sebelum rekonstruksi. Namun, usai menemukan fakta baru setelah rekonstruksi polisi mengubah pasal menjadi 338 KUHP subsider 351 ayat 3 KUHP lantaran dinilai adanya tindak pidana menghilangkan nyawa orang lain atau penganiayaan.
Sidang perdana digelar di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya pada Selasa, 19 Maret 2024. Ronald dituntut pidana 12 tahun penjara dan membayar restitusi bagi keluarga korban Rp 263,6 juta oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Pada Rabu (24/7) lalu, Hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya memvonis bebas Ronald lantaran tidak terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan pembunuhan maupun penganiayaan yang menyebabkan korban tewas. Pertimbangan lainnya karena hakim menilai Ronald masih melakukan upaya menolong korban saat masa kritis.
Dugaan Pelanggaran Etik Hakim
Di sisi lain, Komisi Yudisial (KY) membuka peluang akan menurunkan tim investigasi serta mendalami putusan PN Surabaya tersebut. Juru Bicara KY, Mukti Fajar Nur Dewata kepada wartawan mengatakan hingga kini tak ada laporan pada KY terkait putusan tersebut sehingga, KY memakai hak inisiatif.
"Mendalami putusan tersebut guna melihat apakah ada dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH)," kata Mukti dalam keterangan tertulis, Kamis (25/7).
Selain itu KY juga mendorong publik untuk melaporkan bila mana terdapat dugaan pelanggaran kode etik hakim. Jika terbukti, kasus tersebut nantinya dapat ditindaklanjuti sesuai prosedur yang berlaku.
Sementara itu, Kejaksaan Agung akan melakukan kasasi atas vonis bebas Ronald lantaran menilai putusan hakim sumir dan tak beralasan. Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Harli Siregar mengatakan, pernyataan hakim yang sumir dan tak beralasan berkaitan dengan tidak adanya saksi yang melihat langsung. Hakim juga menilai penyebab meninggalnya korban lebih didasarkan pada pengaruh alkohol.
Harli menganggap, fakta-fakta persidangan seharusnya menjadi pertimbangan bagi Majelis Hakim dalam menjatuhkan vonis dalam perkara ini. Di sisi lain, Ia juga memandang Majelis Hakim juga sebaiknya mempertimbangkan pembuktian yang berantai.
”Bila Majelis Hakim dalam Putusannya menilai bahwa tidak adanya saksi dalam perkara ini, maka Majelis Hakim dapat menguatkan bukti-bukti melalui CCTV dan bukti surat dalam hal ini yaitu Visum et Repertum di Pengadilan guna membuat perkara ini menjadi lebih terang,” kata Harli dalam keterangan tertulis, Kamis (25/7).
Atas putusan bebas terhadap Ronald, Kejaksaan Agung akan menyikapi dengan mengacu pada ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagaimana diatur dalam Pasal 245. Sambil menunggu salinan putusan dan mempelajari berkas tersebut selama 14 hari, Jaksa Penuntut Umum mempertimbangkan untuk mengajukan upaya hukum kasasi.