Presiden Korsel Yoon Suk Yeol Terancam Dimakzulkan Imbas Dekret Darurat Militer
Presiden Korea Selatan, Yoon Suk Yeol, tengah menghadapi ancaman pemakzulan yang dilayangkan oleh Partai Demokrat selaku partai politik (parpol) oposisi pemerintah. Partai Demokrat saat ini menduduki mayoritas anggota parlemen dengan 175 kursi atau sekira 58% dari total 300 kursi dewan perwakilan rakyat (DPR).
Wacana pemakzulan itu merupakan imbas langkah Presiden Yoon sesuai mendeklarasikan darurat militer di Korea Selatan pada Selasa, 3 Desember malam kemarin. Partai Demokrat menganggap dekrit itu sebagai pelanggaran terhadap konstitusi karena mereka melihat tidak ada kondisi yang mengharuskan Korea Selatan berada di situasi darurat militer.
"Deklarasi tersebut sejak awal tidak sah dan merupakan pelanggaran berat terhadap konstitusi. Ini adalah tindakan pemberontakan serius dan menjadi dasar sempurna untuk pemakzulannya,"kata Partai Demokratik dalam rilis pers, dikutip dari The Guardian pada Rabu (4/12).
Partai Demokrat mendesak Yoon segera mundur atau mereka akan mengambil langkah untuk memberhentikannya dari posisi presiden. Situasi darurat militer di Korea Selatan resmi dicabut oleh Presiden Yoon pada keesokan harinya sekira pukul 4:30 pagi setelah ada desakan kuat dari parlemen.
Dalam pidato pencabutan dekrit darurat militer, Yoon mengatakan dirinya mengakui mendapat permintaan dari DPR untuk mencabut status darurat militer. "Kami akan menerima permintaan parlemen dan mencabut darurat militer melalui rapat kabinet," ujar Yoon.
The Guardian melaporkan, gabungan parpol oposisi menguasai 192 kursi di parlemen. Pemakzulan terhadap Presiden Yoon harus membutuhkan dukungan tambahan dari anggota parlemen dari Partai Kekuatan Rakyat (PKP) untuk mencapai mayoritas dua pertiga suara sebagai syarat pemakzulan.
PKP merupakan parpol pendukung pemerintah sekaligus kendaraan politik yang mengusung Presiden Yoon. Adapun PKP menduduki 108 kursi di legislatif. Jika Yoon mengundurkan diri atau dicopot dari jabatannya, Perdana Menteri Han Duck-soo akan menjadi pemimpin sementara Korea Selatan.
Apabila parlemen nantinya memilih untuk memakzulkan Yoon, keputusan itu harus disahkan oleh setidaknya enam dari sembilan hakim di pengadilan konstitusi. Jika Yoon dicopot dari jabatannya, ia akan menjadi presiden kedua dalam sejarah demokrasi Korea Selatan yang mengalami nasib itu.
Pemakzulan sebelumnya menyasar kepada mantan presiden Park Geun-hye yang dicopot pada 2017. Ironisnya, Yoon, yang saat itu menjabat sebagai jaksa agung, memimpin kasus korupsi yang menyebabkan jatuhnya Park.
Mengapa Presiden Yoon Menerbitkan Dekrit Darurat Militer?
Presiden Yoon mengatakan faktor penerbitan dekrit darurat militer merupakan langkah untuk melawan ancaman kekuatan komunis Korea Utara dan gerakan 'kekuatan anti-negara'. Meski begitu, Yoon tidak memberikan keterangan rinci soal bentuk ancaman dari Korea Utara.
Dia hanya meyakini bahwa Korea Selatan masih berada di tengah situasi konflik dengan Korea Urata yang diyakini punya senjata nuklir. Presiden Yoon juga menyebut Partai Demokrat, yang merupakan oposisi utama pemegang mayoritas kursi di parlemen sebagai 'kekuatan anti-negara yang berniat menggulingkan rezim'.
"Parlemen kita telah menjadi surga bagi para penjahat, sarang kediktatoran legislatif yang berupaya melumpuhkan sistem peradilan dan administratif serta menggulingkan tatanan demokrasi liberal kita," kata Yoon dalam pidato yang disiarkan televisi.
Presiden Yoon bersama PKP juga tengah berselisih tajam dengan parpol oposisi terkait anggaran pemerintah tahun depan. Pekan lalu, anggota parlemen oposisi menyetujui rencana anggaran yang jauh lebih kecil melalui sebuah komite parlemen.
The Guardian melaporkan bahwa pemberlakukan status darurat militer di Korea Selatan setelah tingkat kepuasan publik atau approval rating terhadap Presiden Yoon jatuh drastis ke angka 19%. Penyusutan tingkat kepuasan publik terhadap Presiden Yoon ini terekam oleh hasil jajak pendapat teranyar yang dirilis oleh lembaga riset dan survei internasional, Gallup.
Gallup menunjukkan adanya ketidakpuasan publik terhadap pengelolaan ekonomi oleh pemerintahan Yoon, serta kontroversi yang melibatkan istrinya, Kim Keon Hee yang diduga menerima gratifikasi hadiah barang mewah mewah dan keterlibatannya dalam manipulasi saham.
Dengan kata lain, keputusan darurat militer itu dipicu oleh tingginya ketidakpuasan publik terhadap pemerintahan Yoon, baik terkait kebijakan ekonomi maupun masalah pribadi yang melibatkan keluarganya.
Sikap Parlemen dan Parpol Pendukung Presiden Yoon
Koalisi anggota parlemen dari partai oposisi mengatakan mereka berencana mengusulkan rancangan undang-undang untuk memakzulkan Yoon yang harus diputuskan dalam waktu 72 jam setelah pencabutan dekrit darutat militer.
“Parlemen harus fokus untuk segera menangguhkan urusan presiden dan segera meloloskan rancangan undang-undang pemakzulan,” kata Hwang Un-ha, salah satu anggota parlemen dalam koalisi tersebut," dikuti dari Reuters pada Kamis (4/12).
Partai Demokrat menyerukan Presiden Yoon untuk mengundurkan diri atau menghadapi pemakzulan atas deklarasi darurat militer tersebut.
"Meski darurat militer dicabut, ia tidak bisa menghindari tuduhan pengkhianatan. Telah jelas bagi seluruh bangsa bahwa Presiden Yoon tidak lagi dapat menjalankan negara ini secara normal. Ia harus mundur," kata anggota senior parlemen dari Partai Demokratik, Park Chan-dae, dalam sebuah pernyataan.
Di sisi lain, parpol pendukung Presiden Yoon, PKP, menyerukan pemecatan Menteri Pertahanan Kim Yong-hyun, sekaligus mendesak seluruh anggota kabinet mengundurkan diri.
Protes yang lebih besar diperkirakan bakal terjadi dalam waktu dekat karena koalisi serikat buruh terbesar di Korea Selatan, Konfederasi Serikat Buruh Korea, berencana mengadakan unjuk rasa di Seoul dan berjanji akan melakukan aksi mogok sampai Yoon mengundurkan diri.