20 Tahun Tsunami Aceh, Mengenang Bencana Alam Terdahsyat di Indonesia
Dua puluh tahun lalu, Aceh luluh lantak diguncang gempa berkekuatan 9,3 skala Richter dan tsunami setinggi 30 meter. Sebanyak 70.000 korban meninggal dunia dan 50.000 hilang.
Peristiwa Minggu pagi pada 26 Desember 2004, masih membekas dengan kuat dalam ingatan Delisa. Delisa yang saat itu baru saja berulang tahun ke-7 pada 15 Desember, ikut tersapu dalam gelombang laut mahadahsyat.
Ia terseret hingga 8 kilometer dalam gelombang "Smong" itu. Namun, takdir Tuhan membuat ia berhasil selamat meskipun harus kehilangan ibu, dua saudara kandung, serta kaki kirinya.
"Sampai saat ini saya tidak bisa melupakan kejadian (tsunami) tersebut," kata Delisa dikutip dari Antara, Kamis (26/12).
Orang Aceh menyebut tsunami dengan ie beuna atau air bah yang jauh di laut menghempas daratan.
Pagi Ahad pagi jelang akhir tahun 2004 itu, masyarakat beraktivitas seperti biasa. Tak ada tanda-tanda apa pun. Tepat pukul 07.58 WIB, gempa dahsyat mengguncang provinsi paling barat Indonesia itu. Semua masyarakat berhamburan keluar rumah. Wajah mereka penuh ketakutan.
Saat itu, Delisa bercerita, ia tinggal bersama ibu dan kakaknya di kawasan pesisir pantai Ulee Lheu, Banda Aceh, sedangkan ayahnya sedang berada di luar kota.
Usai gempa bumi pertama mengguncang Aceh, Delisa melihat langsung sebagian warga berbondong-bondong menuju ke arah laut untuk melihat air laut surut, lalu mengambil ikan yang sudah loncat-loncat.
Tak sedikit juga dari warga membawa beragam ember untuk menampung ikan, termasuk tetangganya, sedangkan Delisa dan keluarganya memilih tetap berada di depan rumah.
Selang sekitar 10--15 menit, setelah gempa pertama, Aceh dilanda gempa kedua, yang sekaligus disusul gelombang tsunami yang muntah ke daratan secara tak terduga sehingga menyapu daratan dalam sekejap!
“Yang paling Delisa ingat, saat terkena gelombang (laut) itu adalah momen terakhir bertemu dengan ibu Delisa," kenangnya.
Dalam hantam gelombang laut besar, Delisa terseret arus air yang membuatnya terdampar di lokasi sekitar 8 kilometer dari rumahnya. Ia ditemukan di kawasan Lamteumen, Banda Aceh, dalam kondisi pingsan, tanpa sehelai benang di tubuh.
"Kaki saya tersangkut di batang pohon kelapa yang sudah tumbang,” ujarnya.
Setelah itu, gadis kecil tersebut berhasil ditemukan oleh seorang warga bernama Didi yang sedang melakukan evakuasi mayat.
Warga sempat mengira Delisa sudah meninggal dunia. Namun, tubuh Delisa bergerak saat diangkat, memberi sinyal bahwa dirinya masih hidup. Delisa kemudian dievakuasi ke Rumah Sakit Fakinah, yang saat itu layanannya lumpuh total.
Dari RS Fakinah, Delisa dibawa Didi ke rumahnya untuk dibersihkan luka dengan obat merah seadanya. Seiring berjalan waktu, karena fasilitas kurang memadai, luka kaki semakin parah, sehingga membuat Delisa harus menjalani serangkaian amputasi.
Delisa menjalani amputasi pertama kaki kirinya pada hari kelima pascatsunami di RS Kesdam Iskandar Muda Banda Aceh. Pada hari itu juga, Delisa bertemu dengan ayahnya yang kembali ke Banda Aceh pada hari kedua tsunami.
“Dalam kurun waktu 6 bulan, saya menjalani tiga kali amputasi,” ujarnya.
Sejak itu, Delisa terus belajar untuk berdamai dengan apa yang terjadi. Memang tidak mudah karena dirinya kehilangan keluarga dan kondisi fisik telah berubah.
Kini, Delisa bekerja sebagai karyawan di PT Bank Syariah Indonesia di Aceh. Meskipun hidup dengan disabilitas, ia merasa beruntung bisa mendapatkan dukungan dari lingkungan sekitar.
“Saya merasa sangat bersyukur karena BSI memberi kesempatan untuk disabilitas seperti saya. Mereka tidak pernah membedakan kami dengan karyawan lainnya,” ujarnya.
Selain bekerja, Delisa juga aktif berbagi cerita mengenai pengalaman tsunami dan pentingnya mitigasi bencana kepada masyarakat.
Membangun Mitigasi Bencana
Gempa dan tsunami yang mengguncang Aceh meninggalkan luka mendalam bagi warga Tanah Rencong.Ketika peristiwa itu terjadi, masyarakat tak ada yang tahu bagaimana cara menyelamatkan diri.
Bahkan, saat air laut surut, justru banyak memilih untuk mengutip ikan yang terdampar di pantai. Padahal, seharusnya mereka berlari untuk menyelamatkan diri.
Kondisi ini menunjukkan betapa pentingnya pemahaman dan kesadaran mitigasi bencana, terutama bagi masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana, seperti Ulee Lheu dan daerah lainnya.
Pendidikan mitigasi bencana harus dimulai dari tingkat keluarga. Setiap keluarga harus memiliki rencana darurat, misalnya, menentukan tempat berkumpul yang aman dan barang apa saja yang harus dibawa apabila terjadi gempa atau tsunami.
Mitigasi bencana bukan hanya tentang tindakan yang dilakukan saat bencana terjadi, melainkan juga bagaimana mempersiapkan diri sebelum bencana. Warga harus memiliki pengetahuan dasar tentang tanda-tanda bencana serta langkah-langkah yang harus diambil untuk mengurangi risiko.
Rektor Universitas Syiah Kuala (USK) Prof. Marwan menyebut pada prinsipnya masyarakat harus ingat bahwa tsunami merupakan kejadian yang berulang. Hal itu dibuktikan berdasarkan arsip kuno, bukti fisik yang tertuang dalam penelitian para ahli.
Melalui momentum peringatan 20 tahun tsunami, diharapkan masyarakat Aceh jauh lebih siap dan tangguh dalam menghadapi bencana. Kampus akan terus mengedukasi dari sisi pendidikan, melalui pusat riset Tsunami and Disaster Mitigation Research Center (TDMRC), magister kebencanaan, dan juga akan membuka Program Doktor Ilmu Kebencanaan.
“Ini upaya edukasi pembelajaran agar masyarakat kita lebih siap menghadapi berbagai bencana ke depan,” ujar Marwan.
Penjabat Gubernur Aceh Safrizal mengatakan bencana tsunami merupakan salah satu tragedi kemanusiaan terbesar yang pernah terjadi, tidak hanya bagi Aceh, tetapi juga bagi dunia.
Dari kehancuran itu, Aceh mampu bangkit dengan semangat luar biasa, dibantu kerja sama dari berbagai pihak, baik dalam negeri maupun luar negeri. Proses pemulihan ini merupakan bukti dari keteguhan hati masyarakat Aceh serta dukungan besar dari komunitas global.