OJK Digugat Korban Gagal Bayar Fintech P2P Lending ke PTUN

Kamila Meilina
21 Januari 2025, 08:28
(ki-ka) Sri Mulyani Menteri Keuangan Indonesia, Kepala Grup Inovasi Keuangan Digital Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Triyono Gani, Perry Warjiyo Gubernur Bank Indonesia dan moderator dalam acara Indonesia Fintech Summit & Expo 2019 di Jakarta Convention Cent
Ajeng Dinar Ulfiana|KATADATA
(ki-ka) Sri Mulyani Menteri Keuangan Indonesia, Kepala Grup Inovasi Keuangan Digital Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Triyono Gani, Perry Warjiyo Gubernur Bank Indonesia dan moderator dalam acara Indonesia Fintech Summit & Expo 2019 di Jakarta Convention Center,  Jakarta (23/9). Saat ini, dari data OJK, sudah tercatatnya 48 perusahaan fintech yang masuk ke dalam 15 kluster inovasi keuangan digital serta sudah terdaftar dan beriizinnya 127 perusahaan fintech peer to peer lending sampai Agustus 2019.
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) oleh sekelompok lender korban platform Peer-to-Peer (P2P) Lending, Senin (20/1). Para lender ini mengalami gagal bayar dari skema bisnis dengan beberapa fintech pinjaman seperti Investree dan Tanifund. 

Gugatan tersebut terdaftar dengan Nomor 18/G/2025/PTUN.JKT dan berfokus pada permintaan peninjauan kembali atau pencabutan Surat Edaran OJK Nomor 19/SEOJK.06/2023 terkait penyelenggaraan layanan pendanaan berbasis teknologi informasi (LPBBTI).

Pengacara kasus, Grace Sihotang, menyebutkan para lender menggugat OJK karena membuat regulasi yang menyebutkan bahwa seluruh risiko pendanaan menjadi tanggung jawab penuh pemberi dana. Gugatan tersebut menilai kebijakan ini tidak adil dan cenderung merugikan lender.

“Ketika terjadi gagal bayar, lender selalu diminta untuk menanggung seluruh risiko. Bahkan ketika ada indikasi kecurangan di platform, aturan ini tetap tidak memberikan perlindungan memadai bagi kami. Kebijakan ini tidak adil,” ujar Grace kepada Katadata.co.id, Senin (20/1). 

Berdasarkan aturan OJK,  seluruh risiko pendanaan yang timbul dalam transaksi LPBBTI ditanggung sepenuhnya oleh pemberi dana. Ketentuan ini termuat dalam SEOJK 19/2023 pada Bab IV Mekanisme Penyaluran dan Pelunasan Pendanaan Angka 1 huruf h. 

Penyelenggara bertanggung jawab dalam hal terjadi kelalaian atau kesalahan yang disebabkan oleh penyelenggara dan menimbulkan kerugian bagi pemberi dana.

Grace  merupakan pengacara yang mewakili para lender Investree yang menjadi korban dugaan fraud yang melibatkan Adrian Gunadi, dan juga mendampingi Tanifund.

Ia menilai berbagai kasus fraud yang dihadapi para lender menjadi sulit untuk diselesaikan sebab terbentur dengan regulasi tersebut.  “Kalau hakim kan melihat aturan, jadi teman-teman lender ini tersangkut masalah pengaturan yang dibuat oleh OJK,” tuturnya.

Ia menyampaikan sidang pertama akan berjalan pada Kamis (30/1) nanti. 

Adapun lender yang mengajukan gugatan tergabung dalam Komunitas Lender Korban Fintech Peer To Peer Lending  yaitu dari Lender PT Investree Radhika Jaya, Lender PT Tanifund Madani Indonesia, Lender PT Igrow Resources dan Lender PT Modal Rakyat Indonesia.

Beberapa poin utama yang menjadi dasar gugatan:

  1. Kerugian Finansial
    Risiko kehilangan dana sepenuhnya ditanggung oleh lender jika terjadi gagal bayar, sementara penyelenggara platform hanya bertanggung jawab jika terbukti melakukan kelalaian atau kesalahan.
  2. Indikasi Fraud
    Beberapa kasus di platform P2P Lending melibatkan dugaan kecurangan (fraud) oleh organ internal penyelenggara, yang semakin memperburuk kerugian bagi lender.
  3. Ketidakpastian Hukum
    Aturan ini menciptakan ketidakpastian hukum bagi lender, yang merasa tidak mendapatkan perlindungan yang memadai meskipun berpartisipasi dalam ekosistem keuangan berbasis teknologi yang diawasi oleh OJK.

Grace mengungkapkan gugatan ini atas saran Majelis Hakim yang melihat ketidakjelasan regulasi sebagai salah satu akar permasalahan.

“Kasihan sekali lender, yang akhirnya harus menanggung semua kerugian akibat gagal bayar atau fraud. Padahal seharusnya tanggung jawab ini dibagi dengan jelas antara penyelenggara, pemberi dana, dan regulator,” ujar Grace.

Ia juga menilai Regulasi seperti ini membuat banyak orang takut berinvestasi di industri P2P Lending. 

Menurut Grace, aturan yang ada saat ini tidak hanya kontradiktif, tetapi juga menghambat pembangunan sektor keuangan berbasis teknologi. Ketidakpastian hukum membuat masyarakat enggan menempatkan dananya dalam ekosistem fintech, yang pada akhirnya merugikan perkembangan industri secara keseluruhan. 

Reporter: Kamila Meilina

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...