Covid-19 Melonjak di Singapura dan Thailand, Mengapa di Indonesia Masih Rendah?

Muhamad Fajar Riyandanu
5 Juni 2025, 20:07
covid-19, singapura, thailand
ANTARA FOTO/Budi Prasetiyo/wsj/foc.
Pejalan kaki mengenakan masker di Jalan Kebon Sirih, Jakarta, Rabu (6/7/2022).
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Sejumlah negara Asia Tenggara mengalami gelombang kenaikan positif Covid-19 dalam beberapa bulan belakangan. Penularan di tetangga Indonesia seperti Singapura dan Thailand mengalami kenaikan.

The Straits Times mengabarkan Pemerintah Singapura pada tanggal 13 Mei melaporkan jumlah kasus corona mencapai 14.200 untuk periode 27 April hingga 3 Mei. Angka ini naik dari 11.100 pada pekan sebelumnya.

Selain Singapura, Pemerintah Thailand melalui Departemen Pengendalian Penyakit atau Department of Disease Control (DDC) melaporkan ada 10.192 kasus baru per tanggal 2 Juni. 

Meski demikian, kasus Covid-19 di Indonesia tak mencapai ribuan. Kementerian Kesehatan mencatat ada tujuh orang positif corona pada tanggal 25 hingga 31 Mei 2025. 

Ketua Umum Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia (PAEI), Hariadi Wibisono, mengatakan ada dua alasan terkait rendahnya tingkat kasus Covid-19 di Indonesia saat ini.

Asumsi pertama adalah meyakini bahwa masyarakat Indonesia masih memiliki kesadaran protokol kesehatan ketat sehingga penyebaran kasus Covid-19 di dalam negeri saat ini masih minim.

Selain itu, pandangan ini juga dapat diyakini melalui asumsi bahwa varian virus corona di Indonesia tidak seganas di sejumlah negara tetangga seperti Thailand dan Singapura. “Sisi pertama, kita percaya bahwa kasusnya memang rendah,” kata Hariadi saat dihubungi lewat sambuangan telepon pada Kamis (5/6).

Varian Covid-19 dominan yang menyebar di Thailand adalah XEC dan JN.1. Sementara di Singapura adalah varian LF.7 dan NB.1.8 yang juga turunan JN.1. Di sisi lain, sejumlah kasus positif Covid-19 yang dominan beredar adalah MB.1.1.

Di sisi lain, Hariadi menduga banyak kasus positif Covid-19 yang tidak terdeteksi. Ia mendorong seluruh perangkat layanan kesehatan dari jenjang puskesmas dan rumah sakit meningkatkan kepekaan terhadap pasien dengan keluhan infeksi pernafasan.

Meskipun pasien datang dengan gejala infeksi pernapasan yang bukan Covid-19, petugas kesehatan tetap harus curiga dan mempertimbangkan kemungkinan terparar Covid-19. Hariadi mengatakan hal ini bentuk deteksi dini karena gejala infeksi pernapasan sering mirip satu sama lain.

“Kalau ternyata kepekaan petugas kesehatan tidak ada, atau sudah tidak setinggi dulu lagi, mungkin ada beberapa kasus Covid-19 yang terlewatkan tidak ditemukan,” ujarnya.

Sedangkan Juru Bicara Kemenkes, Widyawati, mengatakan persentase hasil tes yang positif atau positivity rate pada pekan ke-22 mencapai 2,05%. Hal ini berarti ada dua orang positif Covid-19 dari 100 orang yang diperiksa. “Total 72 kasus di tahun 2025,” kata Widyawati lewat pesan singkat WhatsApp pada Selasa (3/6).

Widyawati melanjutkan, positivity rate tertinggi pada tahun ini terjadi pada pekan ke-19 atau dalam periode 5-11 Mei sebesar 3,62%. Kemenkes mencatat peningkatan kasus terkonfirmasi Covid-19 mulai naik sejak pekan 17 hingga pekan ke-19, dengan tingkat sebaran terbanyak di Banten, Jakarta, dan Jawa Timur.

Genjot Vaksinasi

Pakar Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (UI), Pandu Riono, berpendapat tingginya kasus Covid-19 di Singapura dan Thailand dapat disebabkan oleh kondisi imunitas tubuh yang tidak sempurna.

Menurut Pandu, hal itu dapat dilihat dari jumlah kasus Covid-19 gejala berat dan angka meninggal terjangkit corona. “Jika ada data soal berapa yang menjadi gejala berat dan meninggal yang sudah divaksin, artinya dapat dipertanyakan apakah vaksinasinya masih efektif,” kata Pandu saat dihubungi lewat sambungan telepon pada Kamis (5/6).

Selain menyoroti riwayat vaksinasi, Pandu juga menyoroti pertumbuhan penduduk baru di sejumlah kawasan dengan ledakan kasus Covid-19 Thailand dan Singapura.

Vaksinasi COVID-19 seiring lonjakan kasus
Vaksinasi COVID-19 seiring lonjakan kasus (ANTARA FOTO/Putu Indah Savitri/Ak/foc.)

Pandu mengatakan program vaksinasi Covid-19 tempo lalu cenderung memprioritaskan kelompok usia dewasa tertentu seperti lansia, tenaga kesehatan, atau warga usia produktif di kota besar.

Akibatnya, ujar Pandu, kelompok masyarakat yang belum mendapatkan akses vaksinasi menjadi populasi yang rentan terinfeksi apalagi bila kekebalan komunitas atau herd immunity di suatu kawasan tertentu menurun seiring waktu.

“Mungkin yang dari desa atau kota yang dulu tidak sempat mendapat akses,” ujar Pandu.

Pelacakan Melalui Tes Air Limbah di Singapura-Thailand

Selain menerapkan pengawasan terhadap masyarakat secara langsung melalui sistem pelaporan dan pelacakan atau tracing secara intensif,  Singapura dan Thailand juga melakukan tes surveilans air limbah yang berasal dari tinja atau cairan tubuh lainnya. Metode ini dianggap memberikan gambaran awal tentang infeksi di suatu komunitas masyarakat.

Badan Lingkungan Hidup Nasional Singapura atau National Environment Agency (NEA) melakukan pengawasan air limbah di lebih dari 400 lokasi, termasuk asrama pekerja, wisma mahasiswa, panti jompo dan panti sosial, serta area pemukiman di seluruh Singapura.

Singapura menerapkan mekanisme tersebut sejak Februari 2020 yang saat itu dimulai dari delapan lokasi. Secara bertahap, cakupan pengawasan limbah menyasar 440 lokasi di seluruh Singapura dengan kapasitas pengujian 4.000 sampel per minggu.

Thailand juga telah menerapkan pemantauan penyakit melalui air limbah untuk memantau dan mengelola penyebaran Covid-19, khususnya di wilayah dengan infrastruktur pengujian klinis yang terbatas saat pandemi lalu.

Pemantauan penyakit melalui air limbah disebut dapat memperkirakan jumlah kasus potensial serta kemungkinan meramalkan epidemi hingga tiga minggu sebelumnya.

Metode tersebut awalnya merujuk pada makalah yang ditulis oleh sembilan peneliti, antara lain berasal dari lembaga penelitian biomedis dan kimia Chulabhorn Research Institute dan King Mongkut's University of Technology Thonburi. 

"Pengukuran virus corona dalam air limbah yang dikumpulkan dari setiap instalasi pengolahan kemudian dianalisis untuk memprediksi area mana yang kemungkinan memiliki lebih banyak kasus Covid-19," kata peneliti dari King Mongkut's University of Technology, Surapong Rattanakul dikutip dari Bangkok Post pada Sabtu (2/4).

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Reporter: Muhamad Fajar Riyandanu

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan